Ada satu masa dalam hidup kita, mungkin saat SMA, mungkin juga di usia dewasa, ketika semua terasa berat. Rasanya kayak dunia bergerak terlalu cepat, sementara kita tertinggal di belakang, bergulat dengan rasa takut, ragu, dan ketidakpastian yang kita sendiri nggak berani cerita ke siapa-siapa.
Ary Nilandari menangkap perasaan itu dengan begitu jujur lewat novel Take My Hand.
Bukan cuma tentang persahabatan biasa. Take My Hand bicara soal keberanian untuk bilang, "Aku butuh bantuan." Dan buat banyak dari kita, itu adalah keberanian yang rasanya jauh lebih berat dibanding sekadar menghadapi ujian sekolah.
Tentang Ren, Wening, dan Arvind: Persahabatan yang Nggak Sempurna, Tapi Nyata.
Cerita berpusat di tiga sahabat: Naren Arshadikara (Ren), Wening Ayu Rengganis (Wening), dan Arvind L. Devara (Arvind). Mereka bertiga bukan sahabat klise yang selalu kompak dan tanpa masalah. Justru, dari luar mungkin kelihatan akrab, tapi masing-masing diam-diam bergulat dengan masalah pribadi yang mereka sembunyikan satu sama lain.
Ren kelihatan kuat, mandiri, sedikit keras kepala. Tapi di balik itu, dia takut ditinggal, takut sendirian. Wening yang selalu tampil sempurna dan dewasa ternyata menanggung luka yang dalam, luka yang dia simpan rapat-rapat di balik senyumnya. Kemudian, Arvind si tukang bercanda, yang kelihatan santai banget, sebenarnya juga punya beban keluarga yang berat.
Baca dinamika mereka bertiga rasanya kayak ngelihat teman-teman kita sendiri. Nggak selalu harmonis. Kadang ada salah paham. Kadang ada jarak yang diam-diam muncul. Tapi tetap ada ketulusan, ada usaha buat saling ngerti, saling bertahan.
Tema Besar: Luka yang Tidak Selalu Harus Sembuh Sendiri
Yang aku suka banget dari Take My Hand adalah caranya ngomongin hal-hal berat dengan cara yang lembut. Ary Nilandari berani bawa tema kesehatan mental, tekanan keluarga, dan trauma, tanpa bikin pembaca merasa digurui.
Cerita ini ngajak kita buat berani mengakui bahwa:
- Kita nggak selalu bisa kuat sendirian.
- Kita boleh kok butuh orang lain.
- Mengulurkan tangan (atau menerima uluran tangan) bukan tanda kelemahan, tapi justru bentuk kekuatan.
Di dunia yang sering ngajarin kita buat "kuat sendiri", novel ini kayak pelan-pelan membisikkan, "Nggak apa-apa kok kalau kamu lagi rapuh."
Gaya Bahasa yang Hangat, Cerita yang Mengalir Tanpa Paksaan
Dari segi bahasa, Take My Hand itu enak banget dibaca. Nggak ada drama berlebihan, nggak ada dialog yang terasa dipaksain.
Semua ngalir alami, kayak ngobrol sama teman lama. Bahkan keheningan antar karakter pun punya makna sendiri. Kadang justru dari diam itu kita bisa ngerti kalau seseorang lagi berjuang.
Aku suka bagaimana Ary Nilandari membiarkan cerita berkembang pelan-pelan, memberi ruang buat pembaca ngerasain, bukan cuma ngebaca.
Nggak semua momen besar harus ditandai dengan ledakan konflik. Kadang, momen paling berkesan datang dari satu percakapan kecil, atau satu pelukan singkat, yang terasa tulus banget.
Apa yang Kuat, Apa yang Kurang?
Yang kuat banget:
- Karakterisasi yang realistis. Bikin kita gampang relate.
- Tema berat dibungkus dengan lembut.
- Gaya bercerita yang natural dan hangat.
Yang mungkin kurang buat beberapa orang:
Kalau kamu suka cerita dengan konflik gede dan klimaks dramatis, mungkin novel ini bakal terasa "terlalu tenang".
Beberapa masalah diselesaikan agak cepat, mungkin karena keterbatasan halaman.
Tapi jujur aja, buat aku pribadi, justru ketenangan itu yang bikin Take My Hand terasa lebih "masuk" ke hati.
Refleksi Pribadi: Tentang Tangan yang Kita Lupa Kita Butuhkan
Setelah selesai baca, aku sempat diem lama. Karena kenyataannya, banyak dari kita yang mungkin lupa kalau tangan-tangan itu sebenarnya selalu ada. Kita aja yang terlalu sibuk menahan semua sendirian, terlalu takut kelihatan lemah, sampai lupa kalau nggak ada salahnya meminta pertolongan.
Take My Hand ngajarin bahwa momen ketika kita berani bilang, "Aku butuh kamu," itu bukan momen kekalahan. Itu justru titik balik buat mulai sembuh.
Aku rasa, siapa pun yang pernah merasa sendirian, akan menemukan sebagian dari dirinya sendiri di novel ini.
Kalau kamu lagi cari bacaan yang bukan cuma enak dibaca, tapi juga bisa memeluk kamu diam-diam lewat ceritanya, Take My Hand adalah pilihan yang pas.
Baca Juga
-
Mickey 17: Ketika Mati Jadi Rutinitas dan Hidup Tak Lagi Sakral
-
Ujian, Keikhlasan, dan Cinta: Refleksi Islami dari Jodoh untuk Naina
-
Notifikasi Bukan Segalanya: Cara Memilih Aplikasi yang Dapat Mengganggumu
-
Hidup dalam Empati, Gaya Hidup Reflektif dari Azimah: Derita Gadis Aleppo
-
Menemukan Bintang di Langit Jiwa: Sebuah Renungan atas Novel Lucida Sidera
Artikel Terkait
-
Ulasan Buku James Karya Percival Everett: Kisah Jim yang Akhirnya Bersuara
-
Novel And Then I Heard the Quiet: Rahasia yang Terkubur di Fort Langley
-
Resensi Novel Perempuan Bayangan karya Netty Virgiantini
-
Ulasan Novel Lintang Hukum: Ketika Cinta dan Keadilan Beradu di Ruang Sidang
-
Ulasan Novel a Wizard of Earthsea, Petualangan Penyihir Muda di Earthsea
Ulasan
-
Review Den of Thieves: Cerdas, Brutal, dan Nggak Cuma Film Tembak-Tembakan
-
Ulasan Novel Bebas Tanggungan: Kisah Generasi Sandwich yang Tak Tersuarakan
-
Obelix Sea View, Wisata Lengkap untuk Liburan Keluarga di Jogja
-
Review Penjagal Iblis - Dosa Turunan: Yang Terlahir Untuk Membasmi Iblis
-
Ulasan The Family Experiment: Ketika Anak di Rekayasa Lewat Meta Children
Terkini
-
May Day: Antara Ritual Perlawanan dan Panggung Kekuasaan
-
Drakor S Line Menang Best Music di Canneseries 2025 Meski Belum Tayang
-
Memunggungi Sejarah Pendidikan Kita
-
Perjuangan Maksimal Fikri/Daniel di Sudirman Cup 2025, Sumbang Poin Penting
-
Perpisahan I.O.I di 'Downpour', Rasa Rindu yang Tak Pernah Benar-Benar Reda