Netflix kembali menghadirkan sebuah serial drama thriller bertema bencana alam berjudul La Palma. Dirilis pada Desember 2024, miniseri asal Norwegia ini langsung menarik perhatian saya, bukan hanya karena judulnya yang terdengar eksotis, tapi juga karena latar ceritanya yang diangkat dari kejadian nyata, yaitu letusan gunung berapi Cumbre Vieja di pulau La Palma, Kepulauan Canary.
Saat saya mulai menonton, ekspektasi saya sederhana—saya hanya ingin menikmati tontonan penuh ketegangan, tanpa banyak memikirkan drama keluarga. Tapi ternyata, La Palma menawarkan lebih dari itu.
Sinopsis
La Palma mengisahkan tentang keluarga Norwegia yang sedang berlibur di pulau La Palma ketika gunung berapi mulai menunjukkan tanda-tanda akan meletus. Mereka yang awalnya hanya ingin menikmati liburan santai mendadak terjebak dalam kekacauan: jalan-jalan ditutup, warga panik, dan informasi simpang siur soal kemungkinan tsunami.
Hal yang menarik, serial ini tidak hanya menyoroti upaya fisik mereka untuk selamat, tapi juga konflik emosional dalam keluarga itu sendiri—mulai dari masalah komunikasi, ego, hingga rahasia lama yang tiba-tiba mencuat di tengah situasi genting.
Saya pribadi suka bagaimana serial ini memadukan ketegangan bencana dengan dinamika keluarga. Di satu sisi, kita dibuat cemas dengan ancaman letusan dan tsunami.
Di sisi lain, kita diajak menyelami hubungan para karakter yang semakin diuji ketika mereka berada dalam situasi hidup dan mati. Ini bukan hanya cerita tentang “bagaimana cara selamat”, tapi juga “apa yang akan kita lakukan kalau waktu kita terbatas.”
Review
Hal pertama yang patut diacungi jempol dari La Palma adalah sinematografinya. Pemandangan pulau La Palma yang indah berhasil ditangkap dengan sangat baik—mulai dari tebing-tebing curam, pantai berpasir hitam, hingga aliran lava yang perlahan mendekat.
Efek visual letusan gunung berapi dan tsunami terasa cukup meyakinkan untuk ukuran serial, meski tidak se-epik film-film blockbuster Hollywood. Namun justru karena tidak terlalu berlebihan, kesan “nyata” itu tetap terjaga.
Selain itu, akting para pemainnya juga solid. Saya terutama terkesan dengan karakter sang ibu yang diperankan dengan emosi yang pas. Dia harus tetap tenang demi anak-anaknya, padahal dalam dirinya sendiri juga ketakutan.
Hubungan antara ayah, ibu, dan anak-anak mereka ditampilkan secara natural, membuat saya ikut peduli dengan nasib mereka. Tidak terasa dibuat-buat atau berlebihan, tapi juga tidak datar.
Meski begitu, saya merasa La Palma punya beberapa kelemahan. Dengan hanya empat episode, beberapa subplot terasa kurang dieksplorasi. Misalnya, ada karakter penduduk lokal yang sempat muncul dan seperti akan memiliki peran penting, tapi kemudian menghilang begitu saja.
Saya juga berharap ada lebih banyak latar belakang tentang warga pulau itu sendiri, bukan hanya fokus pada keluarga wisatawan.
Beberapa dialog juga terdengar agak klise di telinga saya, terutama di momen-momen emosional. Ada kalimat-kalimat yang terasa seperti “sudah sering kita dengar” di film atau serial bertema bencana.
Selain itu, penyelesaian ceritanya terkesan agak tergesa. Saya merasa ending-nya bisa lebih kuat kalau diberi satu episode tambahan untuk memperdalam resolusi konflik.
Kalau kamu mencari tontonan yang menggabungkan drama keluarga dengan ketegangan bencana, La Palma bisa jadi pilihan menarik.
Dengan durasi total sekitar 3 jam, ini adalah miniseri yang cukup ringkas tapi tetap intens. Visualnya indah, ceritanya emosional, dan meski ada beberapa bagian yang terasa terburu-buru, pengalaman menontonnya tetap memuaskan.
Saya merekomendasikan La Palma buat kamu yang suka drama dengan latar bencana, atau buat kamu yang ingin melihat bagaimana hubungan antar manusia diuji saat berada di ujung tanduk. Bukan serial yang sempurna, tapi cukup memberikan kesan mendalam.
Rating: 9,5/10
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS
Baca Juga
-
Penggusuran Digital: Saat Kelompok Rentan Hilang dari Narasi Publik
-
Penjarahan yang Membunuh Pesan: Apa Kabar Demokrasi Jalanan?
-
Pembangunan Hilir vs Pembangunan Hulu: Benarkah Desa Ikut Sejahtera?
-
Reading Tracker dan Obsesi Kuantitas: Apa Kabarnya Kenikmatan Membaca?
-
FOMO Literasi: Ketika Membaca Berubah Jadi Ajang Pamer dan Tekanan Sosial
Artikel Terkait
-
Sinopsis Sorop, Film Garapan Sutrada Upi Avianto yang Kini Bisa Disaksikan di Netflix
-
Xiaomi TV A Pro Series 2026 Segera Hadir ke RI, Smart TV 4K QLED Harga Mulai Rp 3 Jutaan
-
Kim Tae Ri dan Hong Kyung Debut Dubbing di Film Animasi Lost in Starlight
-
Asus ExpertBook P Series, Laptop Bisnis Aman Tersiram Air, Jatuh, hingga Terinjak Tak Sengaja
-
Dibintangi Abe Moore dan Nadya Ulya, Series MOU Love Angkat Kisah Unik Percintaan Anak SMA
Ulasan
-
SEVENTEEN Ajak Memaknai Cinta dan Bahagia dalam Lagu 'Candy'
-
Sakura Jayakarta: Bunga yang Tumbuh di Tengah Bara Penjajahan
-
Film Tuhan Izinkan Aku Berdosa: Membongkar Patriarki dan Kekerasan Simbolik
-
Review Film The Thursday Murder Club: Aksi Detektif Lansia Mengupas Kasus
-
Review Film Maryam: Teror dan Cinta Gaib yang Mengikat Jiwa!
Terkini
-
Dumb oleh Doh Kyung Soo Feat. Penomeco: Pura-pura Kuat dalam Ketidakpastian
-
Yurike Sanger, Istri Rahasia Soekarno yang Wafat di Usia 81 Tahun
-
Tren Liburan 2025: Bukan Lagi Soal Foto, Wisatawan Lebih Butuh Pengalaman Unik dan Autentik
-
Kalahkan aespa, Haechan NCT Raih Trofi Pertama Lagu 'CRZY' di Music Bank
-
4 Serum Retinol dan Green Tea untuk Anti-Aging Atasi Kerutan Minim Iritasi