Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Ruslan Abdul Munir
Novel Sisi Tergelap Surga Karya Brian Khrisna (Dok. Pribadi/Ruslan Abdul Munir)

Jakarta, bagi sebagian orang, adalah kota impian. Ia dipuja sebagai pusat segala kemungkinan, simbol keberhasilan, dan ruang mewah yang menjanjikan masa depan gemilang.

Namun di balik hiruk pikuk dan lampu kota yang tak pernah padam, ada sisi lain yang jarang disentuh: sisi gelap yang menjadi nadi dari kehidupan mereka yang tak memiliki privilege.

Brian Khrisna, dalam novelnya Sisi Tergelap Surga, mengajak kita menengok kehidupan orang-orang di lapisan terbawah kota, yang setiap harinya berkutat dengan kerasnya realitas dan sempitnya pilihan hidup.

Novel ini menampilkan fragmen-fragmen kehidupan dari mereka yang bertahan bukan karena diberi kemudahan, tapi karena dianugerahi ketangguhan.

Dalam salah satu bagian yang menyentuh, penulis mengatakan bahwa beberapa anak memang terlahir dalam keluarga yang berkecukupan, tapi sisanya justru lebih beruntung karena diberi hati dan tulang yang kuat untuk berusaha sendiri.

Kutipan ini tidak sekadar menyentuh, tapi juga menggugah kesadaran bahwa tidak semua keberuntungan bersumber dari materi. Keteguhan, keuletan, dan kekuatan untuk terus hidup adalah berkah yang tak kalah agung. Hidup bukan hanya tentang siapa yang punya lebih, tapi siapa yang tetap berjalan saat semuanya terasa kosong.

Dalam menghadapi hidup yang tak pasti, kadang manusia tak butuh jawaban yang sempurna. Salah satu kutipan yang lirih dalam novel ini mencerminkan kepasrahan sekaligus harapan yang paling dasar: “Tuhan, paling tidak tolong tunjukkan jalan yang salah jika tidak bisa menunjukkan padaku mana jalan yang benar.”

Ada kerendahan hati dalam kalimat itu, pengakuan akan keterbatasan manusia dalam membaca arah hidup. Terkadang, kegagalan justru menjadi petunjuk, dan jalan yang salah menjadi pelajaran yang paling jujur dalam menemukan arah yang lebih baik. Brian Khrisna menulisnya dengan tenang, tapi maknanya begitu dalam dan tajam.

Dalam narasi lain, penulis juga menggambarkan bagaimana kebahagiaan dan takdir bukan sesuatu yang bisa dijabarkan dalam logika linear. Bahwa takdir Tuhan adalah seperti persamaan matematika yang kelewat rumit, bahkan untuk dipecahkan oleh filsuf hebat sekali pun.

Kutipan ini mengingatkan kita bahwa tidak semua hal dapat dikalkulasi, termasuk kebahagiaan. Ada banyak hal dalam hidup yang hanya bisa dimengerti melalui kesabaran dan keikhlasan.

Barangkali inilah mengapa sebagian orang terlihat diam dalam penderitaannya, bukan karena mereka menyerah, tapi karena mereka sedang belajar memahami sesuatu yang lebih besar dari diri mereka sendiri.

Luka dan penderitaan hadir berulang kali dalam buku ini, tak hanya sebagai latar, tapi sebagai napas dari tokohnya. Brian Khrisna menulis bahwa hidup tak lebih dari pagelaran nestapa, yang menjalar dari satu luka ke luka lainnya.

Kalimat ini menghentak, mengungkap kenyataan yang tak romantis tentang kehidupan banyak orang: bahwa terkadang belum selesai satu persoalan, sudah datang masalah lain yang lebih berat.

Tapi justru di situlah letak kemuliaannya, karena keberanian sejati bukan tentang menghindari luka, melainkan berani melangkah meski tahu jalan itu akan menyakitkan.

Novel ini juga berbicara tentang bagaimana martabat sering kali harus dikorbankan demi bertahan hidup. Bahwa tidak semua orang bisa memilih cara yang mulia atau indah dalam mempertahankan hidupnya.

Brian Khrisna dengan lugas menggambarkan bahwa ada kalanya seseorang harus merangkak, bahkan menghirup aroma kotoran dari kaki orang lain, asal bisa terus berjalan.

Realita juga tidak selalu menghadirkan pelangi setelah badai. Penulis menyampaikan dengan jujur bahwa sesudah badai, bisa jadi yang datang justru badai lain, atau jalanan becek yang membuat langkah terasa berat.

Ungkapan ini meruntuhkan harapan klise bahwa setelah penderitaan pasti datang kebahagiaan. Tidak. Kadang yang datang justru lebih berat. Tapi justru dari sanalah kita belajar tentang kedewasaan, tentang menerima bahwa hidup tak selalu indah, tapi tetap layak dijalani.

Hidup memang penuh ketidakpastian, tetapi di balik semua itu ada tangan agung yang mengatur. Brian Khrisna membalik perspektif kita tentang "keberuntungan" dan "takdir" bahwa hidup bukan sekadar acak, melainkan serangkaian ujian dan pilihan yang harus dipertaruhkan. Dan di tengah semua itu, kepercayaan kepada Tuhan menjadi pegangan satu-satunya.

Hidup mungkin penuh luka dan jalanan becek, namun setiap langkah bahkan langkah terseok tetaplah sebuah bentuk kemenangan. Buku Sisi Tergelap Surga mengingatkan kita bahwa dalam gelapnya perjalanan hidup, selalu ada kesempatan untuk menemukan cahaya, bahkan jika cahaya itu harus kita ciptakan sendiri.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Ruslan Abdul Munir