Apakah kamu memiliki seseorang yang sangat dekat denganmu namun bukan dari kalangan keluarga? Dalam hidupnya, Jjang pernah memilikinya. Sosok tersebut adalah Bongsoon, perempuan berusia 18 tahun yang memihaknya, melindungi, menemani serta menceritakan kisah-kisah menyeramkan yang membuatnya takut sekaligus ketagihan.
Buku Kakakku, Bongsoon karya Gong Ji-young menghimpun runtutan jejak kehidupan Bongsoon yang berhasil membuat saya pada beberapa kesempatan berkaca-kaca sebab getirnya kehidupan yang dijalani oleh Bongsoon. Ia merupakan anak yatim-piatu yang sempat mengalami kekerasan dari ayah tirinya dan ditelantarkan oleh saudara ibunya hingga akhirnya ia mengikuti keluarga Jjang dan tinggal bersama mereka.
Sebagai anak berusia 5 tahun, Jjang sang anak majikan beberapa kali berpura-pura tidak peduli dan tidak mengerti agar dapat mendengar pembicaraan orang dewasa di sekitarnya. Lewat kacamata Jjang, kita dapat menyaksikan episode-episode kehidupan Bongsoon yang pada mulanya terasa baik-baik saja. Mengambil latar tahun 1960an di Seoul, Korea Selatan, saya merasa seperti terlempar ke masa tersebut sebab penulis berhasil merangkai kisah yang membuat saya seperti tengah berada di kehidupan Jjang dan Bongsoon.
Pada awalnya, keluarga Jjang sempat mengalami ketidakstabilan ekonomi. Namun ketika kestabilan telah didapat, mereka pindah ke rumah yang lebih bagus dan Bongsoon pun turut pindah bersama mereka. Namun, di sini lah jungkir balik tersebut dimulai. Bongsoon dimabuk asmara dan mulai berkurang interaksinya dengan Jjang. Jjang menyadari perubahan Bongsoon, namun ia tak mengatakan apapun perihal tersebut. Ia sibuk bermain sendiri atau berkunjung ke tempat Mija. Keadaan semakin tidak menyenangkan dan titik baliknya adalah saat ibu Jjang kehilangan berlian. Teman ibu Jjang membuat spekulasi yang akhirnya membuat Bongsoon dituduh mencuri hingga mereka menelanjangi Bongsoon untuk memeriksanya yang merupakan bentuk dari sebuah penghinaan yang menyesakkan.
Perkara berlian yang belum menemukan titik terang disambut dengan Bongsoon yang melarikan diri dengan seorang pria yang ia cintai. Namun, itu bukan akhir dari segalanya. Beberapa bulan kemudian, Bongsoon kembali dalam keadaan yang janggal hingga kejanggalan tersebut terkuak dan langkah selanjutnya kembali membuat saya frustasi.
Kembalinya Bongsoon dalam keadaan yang membuat ibu Jjang histeris tersebut menjadi pembuka kesempatan hidup yang baik untuknya, namun itu semua pada akhirnya terasa fana sebab dari sebuah kesempatan yang terasa manis tersebut memiliki kepahitan yang harus kembali ditelan oleh Bongsoon serta lagi dan lagi keluarga Jjang kembali berusaha untuk menyelamatkannya.
Kakakku, Bongsoon sebenarnya bukan hanya mengenai Bongsoon saja, namun juga tentang Jjang dan bagaimana keadaan ketika Bongsoon tak di sekitar Jjang. Seiring berjalannya cerita, tampak mengenai ketimpangan sosial, aksi perundungan dan kekerasan serta ada pula adegan yang menampilkan hal-hal yang seharusnya tidak dilakukan oleh anak berusia 5 tahun yang membuat saya mengerutkan alis dan membacanya berulang-ulang untuk memastikan bahwa saya tidak salah mencerna narasi yang disajikan.
Memang menarik menyelami kisah Bongsoon melalui perspektif Jjang, namun di satu sisi saya bertanya-tanya akan perasaan dan pikiran Bongsoon sendiri atas kehidupan yang dijalaninya. Kehidupan yang dijalaninya seolah-olah tak ada habisnya diterjang oleh penderitaan dan kesedihan. Apakah roda kehidupan tak berputar untuknya?
Selama membaca saya frustasi akan naifnya diri Bongsoon, sedih ketika dirinya merasa kecil, kesal dan marah atas sikap dan perkataan menyakitkan yang dialami oleh Bongsoon juga Jjang. Hingga akhir perasaan tersebut menetap pada diri saya dan rasa hampa turut menemani ketika kisah Bongsoon ditutup. Tidak ada akhir yang indah dan manis yang membuat lega, entah kita suka atau tidak, realitas kehidupan harus dihadapi apapun itu keadaannya.
Baca Juga
-
Review Buku Purple Eyes Karya Prisca Primasari, Bukan Kisah Romantis seperti Pada Umumnya
-
Realita Kehidupan Ketika Dewasa dalam Buku Adulthood is a Myth
-
Krisis Eksistensial dan Kekerasan dalam Buku Awan-Awan di Atas Kepala Kita
-
4 Rekomendasi Buku Nonfiksi Islami yang Cocok Dibaca di Bulan Ramadan
-
Belajar Mengendalikan Rasa Marah Lewat Buku Ketika Alina Marah
Artikel Terkait
-
4 Rekomendasi Buku Tetralogi Karya Ilana Tan yang Wajib Kamu Baca
-
Ulasan Novel A Place Called Perfect: Rahasia Tersembunyi di Kota Perfect
-
An Eternal Vow: Ketika Luka Menuntun pada Cinta yang Lain
-
Duka dan Mencuci Piring: Dua Hal yang Enggan, Tapi Tak Bisa Dihindari
-
Ulasan Novel Tujuh Kelana: Petualangan Zarra dalam Menyatukan Permata Merah
Ulasan
-
NCT DREAM Ceritakan Cinta Monyet yang Polos dan Menggebu di Lagu My First and Last
-
Gracie Abrams Utarakan Dilema Anak Sulung dalam Lirik That's So True
-
UNIS 'Swicy': Karakter Kontras dalam Jati Diri Manusia yang Patut Dirayakan
-
Wisata Bangka Belitung Tampi Air Mesu, Mancing Seru hingga Terapi Kaki
-
Lebih dari Sekadar Playlist Acak, Ini Esensi Lagu TWS Bertajuk Random Play
Terkini
-
6 Poster Karakter Pemeran Utama Drama Good Boy yang Dibintangi Kim So Hyun!
-
Antara Api Passion dan Magnet Prospek: Memilih Jurusan di Era Tren Karier
-
4 Inspirasi Outfit Harian ala Lee Jung Ha, Bikin Tampilan Makin Kece Setiap Hari
-
Menulis Jurnal sebagai Cermin Jiwa Mahasiswa di Tengah Hingar Kuliah
-
Rasa Syukur vs FoMO, Siapa yang Menang di Dunia Media Sosial?