Scroll untuk membaca artikel
Sekar Anindyah Lamase | Anggia Khofifah P
The Starling Girl (IMDb)

Dalam dunia perfilman, kisah remaja yang tumbuh di lingkungan religius kerap digambarkan secara hitam-putih: antara taat atau sesat. Namun, 'The Starling Girl' hadir sebagai pengecualian. Di tangan sutradara Laurel Parmet, film ini menawarkan pandangan yang lebih kompleks dan manusiawi.

Mengisahkan perjalanan seorang gadis muda di komunitas Kristen fundamentalis di Kentucky, film ini tak hanya membahas isu trauma religius dan penyalahgunaan kekuasaan, tetapi juga menangkap emosi-emosi halus seperti rasa ingin tahu, hasrat, dan kebingungan dalam pencarian jati diri.

Sinopsis

Jem Starling (diperankan oleh Eliza Scanlen) adalah remaja 17 tahun yang hidup dalam keluarga religius dan komunitas gereja yang sangat konservatif. Sebagai anak sulung, ia diharapkan menjadi teladan dan membantu mengurus rumah.

Hidup Jem dipenuhi aturan: berpakaian sopan, menjaga sikap, dan menjauh dari segala bentuk godaan duniawi.

Segalanya berubah ketika Owen (diperankan oleh Lewis Pullman), pemimpin muda gereja yang baru kembali dari misi ke luar negeri, hadir dalam hidup Jem. Owen yang karismatik dan perhatian menarik hati Jem, dan tanpa sadar, ia terlibat dalam hubungan yang seharusnya terlarang—dengan sosok yang justru dianggap sebagai panutan rohani.

Ketika rumor tentang mereka mulai menyebar, Jem dihadapkan pada pilihan besar: tunduk pada aturan, atau membebaskan diri dari dunia yang membentuknya sejak kecil.

Review

'The Starling Girl' adalah film coming-of-age yang menyayat hati, dengan tema yang jarang dieksplorasi secara seimbang: tentang gadis muda yang tidak diberi ruang untuk mengenal dirinya sendiri. Laurel Parmet tak sekadar mengkritik agama, tapi menggambarkan dinamika internal komunitas religius yang kerap lebih mengutamakan ketaatan ketimbang kasih sayang.

Jem mewakili banyak remaja perempuan yang diajarkan bahwa tubuh mereka sumber dosa, bahwa keinginan pribadi harus ditekan demi kehendak Tuhan, dan bahwa kebahagiaan duniawi adalah sesuatu yang memalukan.

Saat Jem merasakan perhatian dan ketertarikan pada Owen, ia tidak punya bekal emosional maupun pengetahuan untuk membedakan antara cinta dan dosa.

Salah satu kekuatan film ini adalah bagaimana Parmet membiarkan kita memahami Jem tanpa menghakiminya. Kita diajak menyelami batin seorang gadis yang sedang jatuh cinta—meski pada pria dewasa yang telah menikah dan menyalahgunakan kekuasaan rohaninya.

Scanlen tampil mengesankan sebagai Jem. Aktingnya menyampaikan kegelisahan yang mendalam, bahkan tanpa banyak dialog. Lewis Pullman juga berhasil memerankan Owen dengan ambiguitas moral yang mengganggu: tampak tulus di permukaan, namun perlahan menunjukkan sisi manipulatif yang dibungkus dengan dalih spiritual.

Film ini juga menyoroti bagaimana budaya patriarki dan misogini dapat dilanggengkan oleh perempuan sendiri—seperti ibu Jem dan para perempuan dewasa lainnya yang justru ikut menekan generasi muda.

Kesimpulan

'The Starling Girl' adalah film yang tenang tapi menghantam, pelan namun menyisakan bekas. Lewat kisah Jem, film ini menunjukkan bahwa bahaya bisa datang bukan hanya dari luar, tapi juga dari ajaran yang dijalankan tanpa ruang untuk bertanya.

Lebih dari sekadar kritik terhadap agama atau pemuka agama, film ini menekankan pentingnya ruang aman bagi setiap individu, khususnya anak muda, untuk mengenal dan menerima diri mereka sendiri tanpa rasa bersalah.

Kalau kamu tertarik dengan film yang membahas isu keagamaan dan dinamika psikologis remaja, 'The Starling Girl' layak untuk ditonton. Cocok untuk siapa pun yang pernah merasa terjebak dalam aturan yang tak pernah mereka pilih sendiri. Film ini bisa disaksikan di Netflix!

CEK BERITA DAN ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Anggia Khofifah P