Paris sering kali digambarkan sebagai kota penuh cinta, arsitektur memesona, dan seni yang memukau. Tapi Furies, serial aksi kriminal produksi Prancis yang tayang di Netflix, datang untuk membongkar ilusi itu.
Lewat enam keluarga mafia yang menguasai sisi gelap ibu kota, serial ini membawa penonton menyusuri lorong-lorong kelam di balik romantisme Paris. Di balik baguette dan Menara Eiffel, ada dendam, darah, dan balas budi yang dijalankan dengan hukum besi jalanan.
Sinopsis
Serial ini membuka ceritanya dengan Lyna, seorang mahasiswa hukum yang hidupnya berubah drastis setelah kematian sang ayah.
Diduga tewas akibat ulah dunia kriminal yang terorganisir, Lyna terjerumus ke dalam jalan panjang pencarian kebenaran—yang pada akhirnya menyeretnya masuk ke dalam permainan kekuasaan antara enam keluarga kriminal di Paris.
Dalam perjalanannya, ia bertemu Selma, sosok misterius yang dikenal sebagai “The Fury”, semacam penjaga keseimbangan antargeng. Di sinilah cerita menjadi lebih dari sekadar aksi balas dendam. Kisah tentang takdir, pengkhianatan, dan transformasi personal di dunia yang kejam.
Review
Salah satu kekuatan terbesar dari Furies adalah kemampuannya untuk membangun dunia yang imersif dan meyakinkan. Paris versi Furies tidak glamor, tapi brutal dan dingin. Atmosfer yang diciptakan oleh sinematografinya begitu suram, dengan warna-warna kontras gelap yang memperkuat nuansa tegang di tiap episode.
Koreografi pertarungannya juga patut diapresiasi—kasar, tak estetis, namun terasa realistis. Setiap pukulan memiliki bobot emosional, karena lebih dari sekadar kekerasan, serial ini menampilkan konflik yang sarat trauma dan sejarah.
Narasi Furies juga memperlihatkan bagaimana kekuasaan bisa beroperasi secara senyap dan kompleks. Enam keluarga mafia memiliki struktur organisasi, sistem negosiasi, bahkan konsensus. Ketika sistem ini mulai goyah karena satu insiden, konflik yang terjadi tak ubahnya perang kecil.
Menariknya, ada mekanisme “The Fury” yang diciptakan untuk menjaga kedamaian—semacam wasit kriminal. Tetapi ketika Fury sebelumnya, Selma, mulai menunjukkan tanda-tanda pergeseran idealisme, chaos pun meletus.
Di balik semua kekacauan ini, yang membuat Furies terasa segar adalah posisinya yang menempatkan dua karakter perempuan sebagai penggerak utama. Baik Lyna maupun Selma bukan sekadar tokoh yang digerakkan narasi, mereka adalah pemain aktif dengan agenda dan luka masing-masing.
Serial ini berhasil membalikkan stereotip perempuan dalam genre aksi yang sering kali hanya jadi objek penderitaan. Di sini, mereka membalas, memimpin, dan—pada akhirnya—membentuk ulang peta kekuasaan jalanan.
Namun demikian, Furies bukan tanpa cela. Alur ceritanya terkadang terlalu padat dengan subplot dan tokoh pendukung yang kurang mendapat ruang perkembangan.
Beberapa episode terasa seperti ingin menyampaikan terlalu banyak hal dalam waktu yang terbatas, sehingga beberapa momen emosional kehilangan dampaknya. Selain itu, bahasa yang digunakan dalam naskah kadang terkesan melodramatis, dan bisa mengurangi ketegangan yang seharusnya dibangun dengan lebih subtil.
Meski begitu, Furies tetap berhasil tampil sebagai tontonan yang kuat dan memikat, terutama bagi penggemar serial kriminal dengan nuansa gelap dan kompleksitas karakter yang nyata.
Serial ini menawarkan lebih dari sekadar aksi brutal—ia membawa penonton pada perjalanan emosional tentang harga balas dendam, kekuasaan, dan bagaimana seseorang berubah ketika dikhianati oleh sistem yang seharusnya melindunginya.
Jadi, jika Anda mencari tontonan yang menantang moralitas, menggugah emosi, dan penuh aksi bergaya khas Eropa, Furies adalah jawaban yang pantas. Paris dalam serial ini mungkin bukan tempat yang ingin Anda kunjungi, tapi percayalah, Anda tak akan bisa berhenti menontonnya.
Rating: 9,4/10
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS
Baca Juga
-
Harapan di Penghujung 2025: Kekecewaan Kolektif dan Ruang Refleksi Pribadi
-
Komunitas Seni sebagai Terapi Kota: Ketika Musik Menjadi Ruang Kelegaan
-
Penggusuran Digital: Saat Kelompok Rentan Hilang dari Narasi Publik
-
Penjarahan yang Membunuh Pesan: Apa Kabar Demokrasi Jalanan?
-
Pembangunan Hilir vs Pembangunan Hulu: Benarkah Desa Ikut Sejahtera?
Artikel Terkait
-
Hotman Paris Ternyata Bukan Pengacara Terkaya di Indonesia
-
Review Film Being Maria: Kisah Pilu Aktris Muda yang Dunia Lupa
-
Netflix Bagikan 6 Rekomendasi Film Lokal tanpa Reza Rahardian, Apa Saja?
-
Debut Bobby/Melati di Turnamen BWF Papan Atas, Upaya Buktikan Konsistensi
-
Ada Glass Heart, 5 Upcoming Series Jepang Netflix yang Wajib Dinantikan
Ulasan
-
Review Film The 5th Wave: Chloe Grace Moretz dan Invasi Alien dari Mata Remaja
-
Ulasan Novel Bandung After Rain: Cita Rasa Cinta dan Budaya Lokal yang Khas
-
Ulasan Buku Merasa Dekat dengan Tuhan Itu Godaan yang Berat: Kritik Sosial dan Godaan Beragama
-
Ulasan Novel I Think I Am Ugly: Stop Insecure, Kita Semua Cantik!
-
Review Film The Housemaid: Adaptasi Novel McFadden yang Trashy Fun!
Terkini
-
Song Mino WINNER Didakwa atas Dugaan Pelanggaran Wajib Militer
-
Anti Bingung Outfit Liburan, Intip 4 Look Kasual ala Minnie I-DLE ini!
-
Kerasukan Siluman Ular di dalam Kelas
-
4 Outfit Harian ala Nayeon TWICE, Gaya Hangout sampai Party Look!
-
Trailer Ditonton 15 Juta Kali, Ini Sinopsis Drama Korea The Kings Warden