Biasanya, kalau dengar ‘Final Destination’, yang langsung kebayang itu ya adegan kematian sadis dan brutal, diiringi suara logam patah atau benda tajam yang tiba-tiba nyasar ke tubuh korban.
Namun, di ‘Final Destination - Bloodlines’ besutan Sutradara Zach Lipovsky dan Adam B. Stein, yang sedang tayang di bioskop, aku merasa ada sesuatu yang jauh lebih dalam dari sekadar horor fisik.
Film ini ngasih ruang buat sesuatu yang nggak pernah terlalu diperhatikan sebelumnya, yakni hubungan keluarga.
Yup, ini kali pertama dalam waralaba ini aku benar-benar peduli sama karakter-karakternya. Bukan cuma karena mereka takut mati, tapi karena mereka saling terhubung.
Ada darah, ada kenangan, ada luka lama yang belum sembuh. Dan semuanya berputar di sekitar Stefani (diperankan Kaitlyn Santa Juana) dan keluarga besarnya yang awalnya berjarak satu sama lain.
Baik secara emosional maupun jarak. Stefani bukan tokoh final girl tipikal. Dia bukan cewek tangguh yang dari awal sudah siap berantem sama maut.
Dia lebih ke remaja yang dibebani mimpi buruk tentang neneknya, Iris, yang dianggap gila sama keluarga setelah selamat dari reruntuhan menara di tahun 1968. Dan dari situlah semuanya mulai.
Perlahan, kita diperkenalkan ke dunia keluarga yang penuh celah: Ada ibu yang lama menghilang (Darlene diperankan Rya Kihlstedt), paman yang keras kepala tapi peduli (Howard diperankan Alex Zahara), dan saudara-saudara yang terasa kayak orang asing walau masih satu darah (Charlie, Erik, Bobby, Julia, yang masing-masing diperankan sama Teo Briones, Richard Harmon, Owen Patrick Joyner, dan Anna Lore)
Hal yang aku suka, film ini nggak buru-buru bikin mereka jadi “keluarga kompak”. Justru konflik mereka realistis. Darlene yang dulu meninggalkan Stefani tanpa penjelasan, sekarang harus menghadapi anak yang asing sama dirinya.
Howard, sebagai figur paman (adiknya Darlene), merasa bertanggung jawab atas generasi baru yang mulai dihantui kematian, tapi dia juga punya dendam masa lalu. Ada ketegangan yang bikin interaksi mereka terasa hidup, bahkan di tengah ancaman maut.
Lalu ada Erik, sepupu yang awalnya kelihatan cuek dan sinis. Namun, makin lama, dia justru yang paling nekat mencari cara buat menyelamatkan keluarganya.
Dia kayak anti-hero yang pelan-pelan tumbuh jadi orang yang kita andalkan. Dinamika kayak gini bikin filmnya punya lapisan emosional yang jarang aku temukan di film horor remaja. Biasanya, karakter hanya ada buat dihitung, siapa duluan yang mati?
Nah, di ‘Bloodlines’, mereka benar-benar terasa seperti satu unit yang berusaha bertahan bersama.
Bahkan ketika satu per satu mulai tumbang, rasa kehilangannya nggak cuma buat shock factor. Ada momen-momen kehilangan yang terasa getir, terutama karena kita tahu para karakter sudah mulai belajar percaya satu sama lain.
Mereka bukan lagi sekelompok remaja acak yang saling nggak kenal dan cuma kebetulan satu nasib. Mereka ini keluarga, dan itu bikin semua rasa takut jadi lebih personal.
Hal yang bikin makin menyentuh, film ini kayak menyampaikan pesan kalah kematian bukan cuma urusan individu. Kadang, yang kena dampaknya ya seluruh jaringan relasi di sekitar orang itu.
Kematian jadi pemicu buat membuka luka lama, buat jujur, bahkan buat memaafkan. Di tengah semua darah dan tragedi, justru muncul ruang buat penyembuhan. Aneh, ya? Justru, buatku itu bagian paling kuat dari ‘Bloodlines’.
Dan ending-nya? Tanpa spoiler, aku bisa katakan, hubungan antar karakter punya peran penting dalam keputusan besar yang diambil. ‘Final Destination’ yang dulu hanya soal lari dari kematian, sekarang juga jadi soal menghadapi kehidupan, terutama kehidupan yang diwarnai trauma keluarga.
Di sini kita diajak bertanya, apakah kita bisa benar-benar lepas dari masa lalu keluarga kita? Atau justru kita harus berdamai dengannya, biarpun maut udah menunggu di tikungan?
Intinya, ‘Final Destination - Bloodlines’ berhasil menyuntikkan sesuatu yang baru dalam formula lamanya. Selamat nonton, ya!
BACA BERITA ATAU ARTIKEL LAINNYA DI SINI
Baca Juga
-
Film Rangga & Cinta Gagal Bikin Sinefil Jatuh Cinta Lagi?
-
Tayang di Noice! 'Film Gak Nikah Gapapa Kan?' Bakal Mengaduk-aduk Emosimu
-
Sosok Ketiga: Lintrik, Film Horor Tentang Pelet dan Gairah Perselingkuhan
-
Review Film Jembatan Shiratal Mustaqim: Horor Moral yang Mirip Sinetron
-
Daya Pikat Film Good Boy, Melihat Setan dari Mata Seekor Anjing
Artikel Terkait
Ulasan
-
Rumah Tangga: Mengintip Kehangatan dan Kejujuran di Balik Pintu Keluarga
-
Review Film Jembatan Shiratal Mustaqim: Horor Moral yang Mirip Sinetron
-
Membaca Drama 'Genie, Make a Wish' Lewat Lensa Pengasuhan Kolektif
-
Review Film Ballad of a Small Player: Visual Ciamik tapi Kesan Akhir Kosong
-
The Principles Of Power: Rahasia Memanipulasi Orang Lain di Segala Situasi
Terkini
-
Mental Pemain Timnas Indonesia Hancur Lebur usai Kandas di Ronde Keempat
-
4 Serum dengan Kandungan Ginseng Ampuh Atasi Penuaan dan Wajah Kusam
-
Refleksi Satu Tahun Komunikasi Publik Pemerintahan Presiden Prabowo
-
Kreator Frieren: Beyond Journeys End Hiatus Lagi karena Masalah Kesehatan
-
Fakta Ironis Patrick Kluivert, Tak Mampu Dapatkan 1 Poin Pun saat Bertanding di Luar Kandang!