Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Ardina Praf
Novel The Day We Met the Queen (goodreads.com)

The Day We Met the Queen merupakan kelanjutan dari novel populer The Boy at the Back of the Class. Novelnya masih sama yaitu menceritakan petualangan Ahmet dan teman-temannya.

Kali ini, mereka mendapat kesempatan istimewa, yaitu diundang menghadiri pesta kebun bersama Ratu di Istana Buckingham!

Bagi Ahmet, anak pengungsi dari Suriah, undangan ini bukan hanya soal bertemu Ratu Inggris, tapi tentang kesempatan menyuarakan sesuatu yang penting.

Ahmet ingin menyerahkan surat kepada Ratu demi mencari keluarganya yang hilang akibat perang.

Ahmet dan teman-temannya melakukan rencana agar surat yang mereka buat diterima oleh Ratu. Meski mereka tahu nantinya akan banyak rintangan yang akan mereka hadapi.

Di balik kisah ringan tentang pesta kebun kerajaan, The Day We Met the Queen tetap menyelipkan tema-tema serius seperti perjuangan pengungsi, makna keberanian, dan pentingnya suara anak-anak untuk hal-hal besar.

Onjali Q. Raúf lagi-lagi sukses menghadirkan cerita anak-anak yang bukan cuma seru dan menghibur, tapi juga sarat makna.

Meski ditujukan untuk anak-anak, The Day We Met the Queen menyampaikan pesan tentang kepedulian, persahabatan, dan keberanian yang relevan untuk semua usia. Karakter-karakternya pun ditulis hidup dan berkesan oleh Raúf.

Kita bisa merasakan semangat Ahmet yang hangat, ketulusan para sahabatnya, hingga betapa gugup dan antusiasnya mereka saat bersiap-siap ke istana.

Tidak ada karakter yang datar di sini. Masing-masing tokoh dibuat dengan dengan karakter yang unik dan peran pentingnya masing-masing.

Dari segi cerita, novel ini memang terasa lebih ringan dibanding The Boy at the Back of the Class, tapi justru itu yang membuatnya menyenangkan dibaca.

Petualangan menuju Istana Buckingham dikemas dengan banyak momen lucu, canggung, dan menyentuh. Ada bagian yang lucu ketika mereka salah kostum hingga panik ketahuan petugas. Bagian itu sukses mengundang tawa pembaca.

Namun di balik keceriaan itu, Raúf tetap menyelipkan isu-isu penting. Tentang bagaimana suara anak-anak juga punya hak didengar, bahkan dalam urusan serius sekalipun.

Kisah ini tentang harapan seorang anak pengungsi yang ingin menemukan keluarganya, dan keberanian sederhana untuk menyampaikan surat di pesta kebun kerajaan. Pesan yang tersampaikan terasa halus dan sampai ke pembaca dengan baik.

Ia membiarkan pembaca memahami pesan itu lewat dialog, tindakan tokoh, dan situasi yang dekat dengan keseharian anak-anak.

Dari segi gaya bahasa, The Day We Met the Queen tetap mempertahankan gaya khas Raúf yang ringan, mengalir, dan penuh humor. Tidak terlalu formal, tapi tetap rapi dan enak diikuti.

Meski tetap seru dengan petualangan kecil dan kekonyolan khas anak-anak, buku ini lebih berfungsi sebagai epilog manis bagi karakter Ahmet dan teman-temannya, ketimbang kisah yang berdiri dengan konflik baru yang kuat.

Fokusnya lebih ke menyenangkan pembaca setia yang ingin tahu kelanjutan nasib anak-anak ini, bukan menyajikan isu baru atau eksplorasi karakter yang lebih dalam.

Kalau dibaca tanpa latar The Boy at the Back of the Class, rasanya pengalaman membaca jadi kurang greget.

Hubungan antar karakter, motivasi Ahmet, bahkan momen-momen haru di pesta kebun itu akan kehilangan maknanya kalau pembaca tidak tahu kisah sebelumnya.

Secara keseluruhan, The Day We Met the Queen menjadi novel dengan cerita yang hangat dan menyenangkan.

Bagi yang suka The Boy at the Back of the Class, buku ini wajib masuk daftar baca. Bagi yang belum, ini bisa jadi pintu masuk yang pas untuk mengenal karya-karya Onjali Q. Raúf.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Ardina Praf