Kalau Sobat Yoursay suka film animasi yang beda dari biasanya dan punya rasa eksotis ala Eropa dan Afrika Utara, ‘The Rabbi’s Cat’ yang tayang di KlikFilm bisa jadi pilihan yang menarik. Film ini merupakan adaptasi dari seri novel grafis karya Joann Sfar, yang juga langsung menyutradarai versi animasinya.
Menyelami film ini seperti membuka jendela kecil ke sebuah dunia yang penuh warna, budaya, dan pemikiran yang cukup kompleks, tapi juga dibumbui humor gelap yang unik. Penasaran dengan kisahnya? Yuk, bahas bareng!
Sekilas tentang Film The Rabbi’s Cat
Kisahnya akan membawa Sobat Yoursay ke Aljir, ibukota Aljazair pada tahun kira-kira 1930-an, tepatnya di lingkungan komunitas Yahudi. Di sana, seekor kucing (yang nggak punya nama) hidup bersama sosok rabbi dan putrinya, Zlabiya.
Suatu hari, setelah secara nggak sengaja memakan burung kakaktua yang bisa bicara, kucing itu tiba-tiba mendapatkan kemampuan berbicara. Tentunya hal ini bikin keluarga si rabbi heboh.
Si kucing dengan cerdik dan sarkastis mulai mempertanyakan ajaran agama dan dunia manusia, sekaligus berusaha mendapatkan bar mitzvah untuk dirinya sendiri. Dari situ, petualangan berkembang menjadi pencarian kota legendaris di Ethiopia yang konon dihuni oleh komunitas Yahudi kulit hitam.
Bisa se-plot twist gitu ya petualangannya?
Impresi Selepas Nonton Film The Rabbi’s Cat
Saat pertama kali nonton, hal yang paling mencolok buatku adalah gaya animasinya. ‘The Rabbi’s Cat’ tampil dengan visual yang nggak mulus seperti animasi mainstream kebanyakan, malah cenderung kasar dan penuh dengan detail surealis yang terasa cocok dengan nuansa cerita dan latar budaya Afrika Utara.
Karakter manusianya digambar dengan sederhana tapi ekspresif, sedangkan si kucing malah penuh detail dan ekspresi yang banyak, dan itu jadi keunikan film ini. Sebagian mungkin perlu waktu beradaptasi jika biasanya menonton animasi Jepang atau produksi besar Hollywood.
Musiknya juga jadi salah satu nilai plus. Olivier Daviaud bersama Amsterdam Klezmer Band berhasil menyajikan soundtrack yang memadukan unsur musik klezmer khas Yahudi, musik Timur Tengah, dan warna musik Afrika Utara. Perpaduan ini sangat pas dan membuat suasana film terasa hidup, dari bagian yang lucu sampai dramatis. Musiknya punya dinamika yang membuat perjalanan cerita semakin seru.
Kalau dari sisi karakter, aku suka banget dengan si kucing. Dia lucu, sarkastis, dan cerdas, selalu ngasih komentar pedas tapi menggelitik soal agama dan kehidupan. Dialognya bikin aku beberapa kali tertawa sekaligus mikir soal banyak hal. Misalnya, waktu dia minta bar mitzvah karena merasa ‘sudah berumur’ dalam hitungan tahun manusia, padahal dia baru tujuh tahun dalam hitungan kucing. Atau saat dia nanya ke rabbi, “Bisa nggak kasih aku gambar Tuhan?” sebagai cara mempertanyakan konsep Tuhan yang diajarkan manusia.
Sayangnya, aku merasa cerita ini agak terlalu padat dan terburu-buru. Film berdurasi ±100 menit tapi menumpuk terlalu banyak karakter dan subplot yang membuatku kadang bingung harus fokus ke mana. Beberapa bagian terasa kurang berkembang, dan aku merasa kehilangan konteks di beberapa titik, terutama soal asal-usul kemampuan bicara si kucing setelah memakan burung kakaktua itu. Apakah burungnya ajaib? Atau ini semacam karunia ilahi? Film ini nggak menjelaskan hal itu dengan jelas.
Yang paling mengecewakan buatku, terkait bagaimana film ini menampilkan komunitas Yahudi kulit hitam di Ethiopia. Karakter mereka digambarkan dengan stereotip yang cukup menyakitkan, dengan kulit sangat gelap, hidung besar, dan atribut yang terasa berlebihan sampai mengarah ke citra rasis. Aku tahu Joann Sfar sendiri berdarah Yahudi dan Aljazair, jadi ini terasa janggal dan sedikit bertentangan dengan nuansa film yang lain. Bahkan ada momen yang terasa seperti “Black guy dies first” yang cukup klise dan bikin film jadi terasa kurang peka secara budaya. Hal ini sangat disayangkan mengingat seharusnya film ini bisa lebih bijak dan sensitif.
Ending film ini menurutku juga kurang memuaskan. Film ini nggak benar-benar ngasih titik akhir yang kuat, melainkan berakhir dengan menggantung. Setelah petualangan mereka, aku berharap ada semacam penutup atau perenungan, tapi malah terasa kayak setengah jalan. Ini membuat keseluruhan film jadi agak mengambang dan kurang memuaskan.
Jadi, kalau aku harus bilang secara jujur, ‘The Rabbi’s Cat’ punya banyak potensi dan beberapa hal yang aku benar-benar nikmati seperti musik dan karakter kucingnya. Namun sayangnya, film ini juga banyak kekurangan terutama dari segi plot dan isu stereotip yang cukup serius.
Buat yang suka animasi indie dengan cerita budaya yang unik, film ini bisa dicoba. Namun, untuk penonton yang sensitif sama representasi etnis, mungkin perlu bersiap untuk pengalaman yang agak campur aduk.
Skor: 3/5
Baca Juga
-
Review Film The Winter Lake: Ketika Rahasia Mengapung ke Permukaan
-
Film Roman Dendam: Balas Dendam Luka Lama yang Menyingkap Konspirasi Besar
-
Review Film Barron's Cove: Kematian Anak dan Amarah Ayah
-
Review Film We Are Guardians: Dokumenter tentang Kerusakan Hutan yang Miris
-
Review Film The Life of Chuck: Puzzle Hidup yang Terurai dari Akhir
Artikel Terkait
-
7 Rekomendasi Film Terbaik Garapan A24, Genre Horor Beri Pengalaman Unik
-
Review Film Predator Killer of Killers: Saat Pemburu Jadi yang Diburu
-
Efek Nyata Bikin Ngilu, Sinopsis Together, Film Horor Baru Dave Franco dan Alison Brie yang Dipuji
-
5 Rekomendasi Film Korea untuk Kamu yang Ingin Keluar dari Zona Nyaman
-
Ini Perbedaan Film How to Train Your Dragon Versi Live Action dan Animasi
Ulasan
-
Cerita Tentang Kutukan Keluarga dan Sihir Tua di Novel a Pinch of Magic
-
Kebun Mawar Situhapa, Menyaksikan Koleksi Bunga Hias dengan View Pegunungan
-
Perjalanan Seorang Ibu Tunggal Menemukan Cinta dalam Novel bertajuk Sawyer
-
Review Series The King of Pigs, Kisah Balas Dendam dari Luka yang Terpendam
-
Review Film The Winter Lake: Ketika Rahasia Mengapung ke Permukaan
Terkini
-
Terungkap! Masa Depan Timnas Vietnam Mulai Diragukan Publik Gara-gara Ini
-
Pakai Kostum Ikonis, David Corenswet Curhat Sulitnya Perankan Superman
-
4 OOTD Manis ala Lee Jae In yang Bikin Gaya Makin Menawan
-
Sat Set! Intip 4 Daily Look Park Yoon Ho yang Cocok Buat Ngampus
-
Sinopsis Mercy for None, Ambisi Kejam So Ji-sub Kembali ke Dunia Mafia