Bangun pagi bukan karena alarm, tapi karena beban hidup yang beratnya nggak pernah ikut tidur lelap. Begitulah hari-hari Kate Garrett (Julianne Moore) dalam Film Echo Valley, thriller psikologis terbaru rilisan Apple TV+ yang disutradarai Michael Pearce dan ditulis Brad Ingelsby.
Di balik pemandangan tenang peternakan kuda yang Kate Garrett urus sendiri, dunia Kate hancur perlahan. Pasangannya yang dia cintai meninggal dunia beberapa bulan lalu, dan satu-satunya anaknya, Claire (Sydney Sweeney), terjebak dalam pusaran adiksi dan hubungan abusif yang membuatnya sering menghilang dan muncul hanya ketika butuh uang atau pertolongan darurat.
Namun seperti namanya, lembah yang menjadi latar film ini adalah gema dari masa lalu dan masa kini yang terus bergema dalam jiwa Kate. Dan pada akhirnya menyeret penonton dalam spiral emosi yang muram tapi sebenarnya memikat.
Sebagus apa film ini? Sini kepoin!
Impresi Selepas Nonton Film Echo Valley
Awalnya, ‘Echo Valley’ yang tayang sejak 13 Juni 2025, bermain kayak melodrama berat yang membawa beban luka keluarga di setiap adegannya.
Ingelsby, yang sebelumnya masuk dalam tim Series Mare of Easttown, kali ini menghadirkan kisah perempuan tangguh yang tersudut oleh keadaan. Mengejutkannya, di pertengahan film, cerita ini menukik tajam menjadi thriller lho.
Saat scene Claire kembali pulang dalam kondisi kalut dan mengenakan baju berlumur darah—darah yang bukan miliknya. Di bagasi mobilnya, tergeletak tubuh pria yang tampak sudah nggak bernyawa.
Maka, sebuah keputusan genting harus dibuat. Apa yang harus dilakukan Kate Garrett (seorang ibu) untuk menyelamatkan anaknya kali ini? Dan di balik latar peternakan yang sepi dan hening, banyak rahasia kelam yang menyeruak. Ketegangan makin tinggi saat muncul tokoh misterius bernama Jackie Lyman (Domhnall Gleeson), yang memperumit semuanya.
Di saat itulah Sutradara Michael Pearce menyuntikkan ketegangan ala noir. Sayangnya, perubahan nuansanya terasa terlalu mendadak. Filmnya seperti terlalu banyak menumpuk tragedi dalam waktu singkat tanpa memberi cukup ruang bernapas, apalagi pendalaman yang layak untuk transformasi karakter yang drastis.
Kendati begitu, nggak bisa disangkal, nyawa utama Film Echo Valley terletak pada dua pemeran utamanya. Julianne Moore tampil seperti biasanya, kece! Dia memainkan Kate dengan fisik yang letih, bak bahu yang turun menahan dunia, dan tatapan kosong yang menyimpan duka mendalam. Dia nggak perlu banyak bicara untuk menjelaskan kesakitannya. Cukup dari caranya berdiri, menatap jendela, atau menyisir rambut kuda dengan tangan gemetar.
Sydney Sweeney juga ngasih performa terbaiknya sejauh ini. Karakter Claire ibarat badai yang nggak terprediksi. Ya, dia bisa lembut dan merengek, di saat lain berteriak memaki ibunya dengan brutal. Transisi emosinya tajam dan membuat diriku ikut gamang. Apakah Claire adalah korban, pelaku, atau keduanya?
Namun tetap, kekurangan terbesar film ini adalah penuhnya beban tragedi tanpa jeda. Mungkin ‘Echo Valley’ akan jauh lebih kuat kalau dibuat series terbatas, dengan lebih banyak waktu untuk mendalami tiap luka, tiap pilihan, tiap konsekuensi. Dalam format film ±105 menit, semuanya terasa terlalu padat dan berat, sampai-sampai klimaksnya kehilangan rasa emosional.
Jelas ya? ‘Echo Valley’ tuh bukan film yang sempurna. Filmnya lebih tertuju pada potret menyakitkan tentang cinta seorang ibu yang nggak pernah lelah, walau hatinya koyak berkali-kali. Tentang bagaimana kehilangan bisa mengubah seseorang menjadi bayangan dirinya, dan tentang bagaimana rasa sayang yang nggak berbalas tetap mendorongnya untuk bertahan.
Buat Sobat Yoursay yang lagi mencari tontonan thriller dengan akting kelas atas dan narasi emosional, ‘Echo Valley” wajib banget ditonton. Terlepas ini bukan film yang menyenangkan, bukan berarti harus diabaikan.
Skor: 3/5
Baca Juga
-
Padel: Olahraga Hits yang Naik Daun di Kalangan Gen Z
-
Cita-Cita Profesional Gen Z Melalui Futsal
-
Lembaga Sensor Film Menggila, Jakarta World Cinema Dibantai!
-
Iklan Presiden Prabowo di Layar Lebar, Bioskop Jadi Panggung Politik?
-
Cewek vs Cowok di Lapangan Futsal: Gaya Main yang Sama tapi Beda Warnanya
Artikel Terkait
-
Review Film Jalan Pulang: Teror Sosok Misterius yang Penuh Dendam
-
Rahasia Gelap 'Blood Brothers: Bara Naga Terungkap! Konspirasi dan Pengkhianatan di Balik Layar
-
5 Fakta Menarik Elio, Film Garapan Pixar Tentang Bocah Introvert
-
Review Film The Unholy Trinity: Western Alegoris yang Kurang Menggigit
-
Kolaborasi Epik Klinik Kecantikan dan Industri Film: Bikin Talent Glow Up dari Dalam dan Luar
Ulasan
-
Like A Rolling Stone (2024): Sebuah Refleksi untuk Kaum Perempuan
-
Apakah Sahabat Bisa Jadi Cinta? Jawaban Umi Astuti dalam To Be Loved Up
-
Novel Yujin, Yujin Resmi Diterjemahkan ke Bahasa Indonesia: Kenapa Harus Baca?
-
'INSIDE OUT' oleh DAY6: Keberanian Ungkapkan Cinta yang Lama Terpendam
-
Melogram: Cerita Band Sekolah yang Jadi Lebih dari Sekadar Musik
Terkini
-
Di Setiap Pertandingan Futsal, Adakah Masa Depan Gen Z yang Menjanjikan?
-
Fenomena 'Kaya Lewat Jalur Gemini': Jalan Pintas Gaul ala Netizen
-
Ungkap Masa Lalu Twilight, Spy x Family Season 3 Siap Tayang 4 Oktober 2025
-
Identitas Mana yang Lebih Nyata: Nama di WhatsApp atau Jabatan di LinkedIn?
-
Sosok Ida Yulidina, Dulu Mantan Model Kini Jadi Istri Purbaya Yudhi Sadewa