Usia 40 tahun memang sudah tidaklah muda. Di usia ini, banyak orang seringkali dipenuhi ekspektasi baik dari sendiri atau orang lain.
Ini adalah fase kehidupan yang kerap kali dianggap sebagai puncak kedewasaan, masa di mana seseorang sudah seharusnya "tahu arah", stabil secara finansial, mapan secara emosional, dan bijak dalam segala keputusan.
Namun realitasnya tidak selalu semulus itu. Justru di usia inilah, banyak orang merasa lebih mudah cemas, merasa tertinggal, dan mempertanyakan kembali jalan hidup yang telah dipilih.
Buku Umur 40, Kok Gini Amat? yang ditulis oleh Han Sung Hee, seorang psikiater sekaligus ibu, hadir sebagai pelukan hangat di tengah kegelisahan ini.
Lewat 38 catatan reflektif, Han Sung Hee mencoba menyampaikan pesan yang begitu personal dan penuh empati kepada putrinya, dan tentu saja kepada para pembaca yang tengah atau akan menginjak usia empat puluhan.
Tanpa terkesan menggurui, pesan yang disampaikan pada setiap halaman terasa seperti obrolan santai antara ibu dan anaknya.
Ia membahas hal-hal mendasar namun sering kita lupakan, yaitu pentingnya merawat tubuh, menjaga kesehatan jiwa, membangun hubungan yang tulus, dan tentu saja berdamai dengan ekspektasi sosial yang sering kali terasa menyesakkan.
Salah satu hal menarik disini adalah pembahasan mengenai usia 40 yang sudah dianggap rentan.
Bukan karena kurang pengalaman, tapi karena beban tanggung jawab yang menumpuk, tapi mengurus anak, mengurus orang tua yang mulai menua, menyeimbangkan karier dan kehidupan pribadi, hingga menghadapi kenyataan bahwa tidak semua mimpi bisa terwujud.
Han Sung Hee tidak menawarkan solusi instan. Ia mengajak kita untuk berhenti sejenak, meninjau ulang hidup, lalu melangkah lagi dengan cara yang lebih sadar.
Ia mengingatkan bahwa tidak mengapa jika saat ini kita belum mencapai standar “sukses” menurut orang lain. Tidak apa-apa kalau masih sering bingung atau merasa belum cukup.
Di dunia yang sibuk dan penuh tekanan, beristirahat bukanlah kemunduran, melainkan sebuah keharusan.
Kita diingatkan untuk lebih peduli pada diri sendiri, bukan dalam bentuk egoisme, tetapi sebagai upaya menyayangi dan memahami diri sebelum memberikan cinta dan energi pada orang lain.
Buku ini turut mengingatkan pentingnya membangun tiga pondasi utama sebagai bekal menghadapi masa tua, antara lain ubuh yang sehat, kondisi keuangan yang stabil, dan pikiran yang kuat.
Semua itu menjadi persiapan kita menghadapi hidup di masa depan yang tidak bisa ditebak.
Hal menarik lainnya adalah sudut pandang yang digunakan penulis. Ia memposisikan dirinya sebagai seorang wanita yang pernah di usia 40 tahun. Segala pengalaman hidupnya itu kemudian ia tulis dalam sebuah buku.
Kita seolah ditemani oleh seorang sahabat yang lebih berpengalaman, yang berkata, “Kamu tidak sendirian. Semua orang pernah merasa seperti ini. Dan semuanya akan baik-baik saja.”
Buku ini pas untuk siapa saja yang sedang menjalani fase penuh kebimbangan di usia paruh baya, atau bagi mereka yang ingin menyongsong usia 40 dengan hati yang lebih lapang dan pikiran yang lebih damai.
Tidak hanya perempuan, laki-laki pun bisa mendapatkan banyak pelajaran dari buku ini.
Dengan bahasa yang ringan namun bermakna, Umur 40, Kok Gini Amat? menjadi teman seperjalanan yang menenangkan.
Sebuah pengingat bahwa hidup bukan perlombaan, dan setiap orang punya waktunya masing-masing.
Bahwa merasa ‘cukup’ sering kali jauh lebih bermakna daripada terus-menerus mengejar kesempurnaan yang tak pernah ada ujungnya.
Buku ini bukan sekadar kumpulan petuah, tapi seperti cermin yang mengajak kita menengok ke dalam.
Mengenali lagi diri sendiri, memahami apa yang benar-benar kita perlukan, dan menemukan cara untuk menjalani hidup dengan hati yang lebih tenang dan penuh rasa terima kasih.
Baca Juga
-
Serunai Maut II, Perang Terakhir di Pulau Jengka dan Simbol Kejahatan
-
Serunai Maut: Ketika Mitos, Iman, dan Logika Bertarung di Pulau Jengka
-
Refleksi Diri lewat Berpayung Tuhan, Saat Kematian Mengajarkan Arti Hidup
-
Ketika Omelan Mama Jadi Bentuk Kasih Sayang di Buku Mama 050
-
Novel Semesta Terakhir untuk Kita: Ketika Ego dan Persahabatan Bertarung
Artikel Terkait
-
Ulasan Buku Kokoro: Menyelaraskan Hati dan Pikiran untuk Hidup Lebih Baik
-
Ulasan Novel Evermore: Kisah Rumit yang Bikin Nyesek Sekaligus Gregetan!
-
Ulasan Novel Matahari Terbenam, Potret Sunyi dari Dunia Pasca Perang
-
Ulasan Film Superman 2025: Keren, Emosional, dan Bikin Nostalgia!
-
6 Kunci 'Misteri Pembunuhan Ruang Tertutup' Diplomat Arya Daru Pangayunan
Ulasan
-
Membaca Drama 'Genie, Make a Wish' Lewat Lensa Pengasuhan Kolektif
-
Review Film Ballad of a Small Player: Visual Ciamik tapi Kesan Akhir Kosong
-
The Principles Of Power: Rahasia Memanipulasi Orang Lain di Segala Situasi
-
Review Film Dongji Rescue: Kisah Heroisme Lautan yang Menggetarkan
-
Les Temptes de la Vie: Ketika Musik, Paris, dan Badai Hidup Menyatu
Terkini
-
Sosok Benjamin Paulus Octavianus, Dokter Spesialis Paru yang Jadi Wamenkes
-
Auto Ganteng Maksimal! 3 Ide Outfit Keren ala Mas Bree yang Bisa Kamu Tiru
-
Hari Kesehatan Jiwa Sedunia 2025: Kesehatan Mental Hak Semua Orang
-
Harus Diakui, Timnas Indonesia Kerap Kehilangan Identitas Permainan di Era Patrick Kluivert
-
Curhatan Anya Geraldine, Sering Dikirimi Video Siksa Kubur oleh Sang Ibu