Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Ardina Praf
Novel Before We Say Goodbye (goodreads.com)

Toshikazu Kawaguchi kembali lagi dengan seri keempat dari Before the Coffee Gets Cold, berjudul Before We Say Goodbye.

Kali ini, kafe ajaib Funiculi Funicula masih menjadi panggung utama, tempat di mana waktu bisa diputar kembali selama kopi masih hangat dan aturan kafe dipatuhi.

Seperti tiga novel sebelumnya, Kawaguchi menghadirkan empat kisah baru tentang pelanggan yang ingin memperbaiki sesuatu dari masa lalu, atau sekadar mengucapkan perpisahan yang tak sempat disampaikan.

Latar cerita masih bertempat di kafe mungil yang menawarkan keajaiban: memungkinkan siapa pun yang datang untuk kembali ke masa lalu.

Meski begitu, aturan kafe tetap tak berubah. Perjalanan hanya bisa dilakukan dari kursi tertentu, pengunjung dilarang meninggalkan kafe selama proses berlangsung, dan mereka wajib kembali sebelum kopi yang disajikan kehilangan hangatnya.

Buku ini menyajikan empat kisah baru, masing-masing dengan premis yang menjanjikan. Namun, dibandingkan dengan tiga novel sebelumnya, Before We Say Goodbye terasa kurang memberikan kejutan.

Strukturnya masih mengikuti pola yang sama, yaitu seorang tokoh datang dengan beban emosi dari masa lalu, melakukan perjalanan waktu dengan harapan menemukan jawaban, lalu kembali dengan sejumput pemahaman atau rasa lega di hati.

Alurnya bisa dibilang cukup bisa ditebak, dan bagi pembaca setia seri ini, rasa repetitif mungkin mulai terasa. Banyak bagian seolah menggemakan ritme emosional dan konflik dari buku-buku sebelumnya.

Salah satu hal yang paling menonjol dan cukup mengganggu adalah bagaimana tokoh-tokoh perempuan digambarkan.

Alih-alih menjadi sosok yang kompleks dan hidup, mereka lebih sering hadir sebagai penopang emosi para tokoh laki-laki.

Peran mereka cenderung pasif, bahkan kadang terasa seperti pelengkap. Dibandingkan dengan seri sebelumnya yang menyoroti emosi perempuan dengan cukup mendalam, buku keempat ini terasa mundur beberapa langkah.

Dari sisi teknis, narasi Kawaguchi tetap punya sentuhan lembut yang khas. Kalimat-kalimatnya tidak berbelit, suasana kafe tetap terasa hangat dan familiar, seperti tempat di mana waktu seolah berjalan lebih lambat.

Meski begitu, ada beberapa bagian yang perlu digali lebih dalam. Latar belakang keluarga tokoh-tokohnya, misalnya, hanya disinggung sepintas tanpa benar-benar memberi ruang untuk tumbuh dan memberi warna emosional yang lebih kaya.

Namun bukan berarti buku ini tidak menarik. Latar cerita masih bertempat di kafe mungil yang menawarkan keajaiban: memungkinkan siapa pun yang datang untuk kembali ke masa lalu. Meski begitu, aturan kafe tetap tak berubah.

Perjalanan hanya bisa dilakukan dari kursi tertentu, pengunjung dilarang meninggalkan kafe selama proses berlangsung, dan mereka wajib kembali sebelum kopi yang disajikan kehilangan hangatnya.

Kafe ini masih menjadi tempat orang datang bukan untuk memperbaiki masa lalu, tapi untuk memahami, memaafkan, dan kadang hanya untuk bisa berkata “selamat tinggal” dengan lebih tenang.

Dalam dunia yang serba cepat dan penuh distraksi, kisah-kisah sederhana seperti ini tetap memberi ruang untuk bernapas dan merenung.

Meskipun penjelasan soal aturan kafe kali ini terasa agak tipis dan kurang digali, inti ceritanya masih memikat, dimana pertemuan singkat yang mengubah cara pandang seseorang terhadap kenangan dan kehilangan.

Pada akhirnya, Before We Say Goodbye mungkin bukan seri terbaik dari semesta Before the Coffee Gets Cold, tapi ia tetap layak dibaca, terutama bagi mereka yang sudah mengikuti kisah Funiculi Funicula dari awal.

Meski sudah tidak menawarkan kejutan besar, buku ini tetap menyampaikan satu pesan sederhana namun kuat: bahwa terkadang, yang kita butuhkan bukan perubahan, tapi keberanian untuk menerima dan melangkah maju.

Ardina Praf