Ada tempat-tempat yang tak pernah masuk daftar trending destinasi liburan, tapi justru menyimpan ruang sunyi untuk merenung. Curug Anom, di kaki Natural Hill Lembang, adalah salah satunya. Ia bukan Bali dengan pantai dan pesta malamnya, bukan juga Labuan Bajo dengan eksotisme kapal pinisi. Ia hanyalah air terjun setinggi 30 meter, airnya jatuh perlahan dari dinding cadas berlumut yang sudah lama digerogoti usia.
“Anom” dalam bahasa Sunda berarti muda. Nama itu terdengar sederhana, tapi di balik kesederhanaannya ada semacam doa agar setiap yang datang bisa menemukan kembali jiwa mudanya. Saat kebanyakan orang menyaksikannya dengan mata, saya memilih menyelaminya dengan perasaan. Karena buat saya, Curug Anom bukan sekadar air jatuh dari ketinggian, melainkan perjalanan panjang menuju sebuah ruang batin yang lebih tenang.
Orang bilang, setiap tempat punya ceritanya sendiri. Curug Anom punya mitos yang diwariskan dari mulut ke mulut. Katanya, siapa yang membasuh wajah di airnya akan lebih cepat menemukan jodoh. Kalau sudah punya pasangan, hubungan itu akan langgeng. Dan kalau jodoh bukan yang dicari, maka setidaknya wajah akan tampak lebih awet muda.
Saya tertawa kecil saat mendengar mitos itu. Di zaman ketika aplikasi kencan bisa menguras dompet hanya demi swipe kanan, air terjun ini menawarkan "paket lengkap" hanya dengan membasuh wajah. Kadang, hidup memang tak perlu serumit itu.
Dengan tiket masuk Rp 25 ribu, pagi itu saya memulai langkah dari gerbang Natural Hill. Udara Lembang yang biasanya dingin terasa ramah hari itu: tidak menusuk, tidak pula terlalu hangat. Saya sengaja memilih jalur memutar, melewati persawahan dan sungai kecil, meski itu berarti waktu tempuhnya bisa satu jam. Saya ingin lebih lama berdialog dengan alam, juga dengan diri saya sendiri.
Tanah basah terasa licin di bawah alas sepatu, aroma lumpur bercampur dengan wangi daun dan embun yang belum menguap. Angin membelai padi yang bergoyang serempak, seakan menyambut kedatangan saya. Burung-burung kecil berkicau dari pucuk pohon, menambahkan harmoni pada perjalanan. Rasanya seperti berjalan masuk ke dalam sebuah lukisan hidup.
Bagi mereka yang sedang dimabuk cinta, mitos Curug Anom terdengar manis. Tapi bagi saya yang baru saja patah, mitos itu lebih mirip ujian. Apakah saya percaya bahwa air bisa menyembuhkan luka, atau saya hanya datang untuk melihat air jatuh tanpa makna?
Saya dulu percaya cinta seperti aliran sungai yang tak pernah berhenti. Tapi kenyataannya, air pun bisa surut kapan saja, tanpa perlu menunggu kemarau. Yang bertahan hanyalah cadas bebatuan tempat air itu jatuh, meski terkikis, ditumbuhi lumut, tetap setia menopang. Di Curug Anom, saya belajar: mungkin bukan cintanya yang abadi, melainkan keteguhan untuk bertahan.
Suara gemuruh air mulai terdengar ketika langkah saya mendekat. Semakin dekat, semakin jelas harmoni alam yang menyambut. Akhirnya saya tiba di bibir kolam kecil, tepat di bawah curug. Tidak ada hingar bingar, tidak ada suara manusia lain. Hanya debur air, dedaunan jatuh, dan angin yang menyapa lembut.
Saya duduk di atas batu besar, meletakkan ransel, lalu membasuh wajah dengan air dingin yang langsung menusuk pori-pori. Mungkin ini yang dimaksud mengaminkan mitos: bukan soal jodoh yang datang atau wajah yang awet muda, tapi soal keberanian untuk percaya bahwa luka bisa larut bersama aliran air.
Rasanya berbeda ketika wajah lama terbenam dalam aliran air. Ada sensasi beban yang perlahan hanyut, meski tidak seluruhnya. Seperti ditenangkan oleh bisikan alam: tidak semua luka harus sembuh sekaligus. Ada yang memang butuh waktu.
Orang-orang mungkin datang ke tempat ini dengan harapan membawa pulang sesuatu entah pasangan, keberuntungan, atau sekadar foto untuk media sosial. Saya pulang dengan sesuatu yang lain: kesadaran bahwa penyembuhan bukanlah proses instan. Ia seperti jalur trekking yang saya pilih tadi: berliku, licin, dan melelahkan. Tetapi setiap langkah tetap harus diambil, karena hanya dengan itu kita sampai.
Ada yang bilang waktu menyembuhkan. Saya percaya, tapi waktu tidak berjalan cepat. Justru terasa lambat, kadang menyebalkan. Yang bisa kita lakukan hanya berjalan bersamanya, sepelan apapun.
Air terjun mengajarkan hal sederhana: jatuh bukan berarti kalah. Air jatuh untuk melanjutkan perjalanan menuju hilir, tempat ia akhirnya pulang. Barangkali begitu juga dengan manusia. Kita jatuh bukan untuk berhenti, tapi untuk menemukan arah pulang yang sesungguhnya.
Saat berbalik meninggalkan Curug Anom, anak tangga seolah mengantar saya pulang. Matahari sudah meninggi, cahayanya menembus celah dedaunan, sawah yang tadi saya lewati kembali melambai. Seperti hendak berkata: "selamat jalan, bawalah sesuatu yang tak bisa ditimbang dengan angka."
Saya tidak membawa jodoh, tidak juga wajah yang berubah muda seketika. Tapi saya membawa perasaan tenang untuk memaafkan diri sendiri, masa lalu, dan orang-orang yang pernah melukai.
Kadang kita berkunjung bukan untuk memperoleh sesuatu, melainkan untuk meninggalkan beban yang tak lagi ingin dipanggul. Di Curug Anom, isi kepala yang sesak seakan hanyut terbawa air. Tidak semuanya, tapi cukup untuk membuat napas terasa lebih panjang, dada lebih lapang, dan langkah lebih ringan.
Baca Juga
-
Rangkap Jabatan Pejabat Publik: Krisis Etika, Krisis Lapangan Kerja
-
Sederhana tapi Berdampak: Euforia Kemerdekaan dengan Peduli Lingkungan
-
Merdeka di Tengah Krisis Iklim, Bagaimana Gen Z Menyikapinya?
-
Merdeka Sejak dalam Pakaian: Thrifting dan Strategi Alternatif Merawat Bumi
-
Intimasi dan Mental Toughness, Bagaimana Pelatih Futsal SMAN 2 Ngaglik Merawatnya?
Artikel Terkait
-
Kronologis Persib Bandung Rayu Thom Haye Sampai Jadi, Proses Alot Banget
-
Bandung Siap Wujudkan Kota Berkelanjutan Lewat Bandung Sustainability Summit 2025
-
Gila! Ambisi Thom Haye Baru Mendarat di Persib Bandung, Persija Jakarta Pantas Gemetar
-
Bojan Hodak Ungkap Kondisi Thom Haye, Belum Siap Debut Persib Bandung?
-
Kata-kata Media Internasional Kasih Fakta Eliano Reijnders Hijrah ke Persib Bandung
Ulasan
-
Review Film Princess Mononoke: Mahakarya Studio Ghibli yang Abadi
-
Review Buku Filosofi Teras: Ajaran Kuno Stoa yang Masih Relevan di Hari Ini
-
Review Film Pools: Pesta, Duka, dan Kenangan yang Tertinggal di Dasar Kolam
-
Review Film My Beloved Stranger: Kisah Penyesalan yang Mendalam
-
Ulasan Novel Mrs Spy: Perempuan Biasa dengan Misi Mematikan
Terkini
-
Sinopsis The Ideal City, Drama Terbaru Kem Hussawee dan Pinkploy Paparwadee
-
Sadis! Ustaz Evie Effendi Diduga KDRT Putrinya hingga Ponsel Dirampas
-
Futsal Fun Match: Nongkrong Sehat ala Gen Z
-
Revolusi Digital Detox: Bukan Sekadar Tren, Tapi Kebutuhan
-
4 Rekomendasi Film tentang Menemukan Tujuan Hidup, Penuh Inspirasi!