Sekar Anindyah Lamase | Inggrid Tiana
Buku Maafkan Kami Ya Nak (Dok. pribadi/Inggrid Tiana)
Inggrid Tiana

Menjadi orang tua adalah sebuah perjalanan panjang yang penuh tantangan, pengorbanan, sekaligus pembelajaran. Namun, sering kali di balik usaha dan kasih sayang yang diberikan, terselip kesalahpahaman antara orang tua dan anak. BukuMaafkan Kami Ya Nak” karya Mas Koko Ganteng mencoba mengurai risalah tersebut dengan cara yang menyentuh hati, sederhana, dan jujur.

Sejak halaman awal, pembaca akan diajak masuk ke ruang perasaan yang jarang terucap. Pertanyaan sederhana namun penuh makna seperti, “Bapak, Ibu, aku penasaran. Apakah kehidupan menjadi orang tua yang kalian jalani sejalan dengan ekspektasi kalian sewaktu kecil?” membuka pintu refleksi yang dalam.

Pertanyaan ini bukan hanya ditujukan pada tokoh di dalam buku, tetapi juga seakan mengetuk hati para pembaca untuk merenung tentang hubungan mereka sendiri dengan orang tua.

Buku ini menghadirkan sudut pandang ganda, dari sisi anak yang sering kali merasa kurang dimengerti, dan dari sisi orang tua yang juga berjuang menghadapi hidup. Di satu sisi, anak-anak bertanya-tanya mengapa orang tua kadang terlihat dingin, sibuk, atau bahkan kurang ekspresif dalam menunjukkan cinta.

Namun di sisi lain, buku ini juga menyingkap bahwa orang tua sebenarnya tengah berusaha keras, tidak hanya untuk anak-anaknya, tetapi juga untuk dirinya sendiri agar tetap bertahan menghadapi realitas.

Mas Koko Ganteng menulis dengan gaya yang sederhana, tidak bertele-tele, dan terasa sangat dekat dengan pengalaman pembaca. Buku ini tidak berusaha menjadi puitis berlebihan, melainkan menggunakan bahasa sehari-hari yang akrab, sehingga siapa pun bisa merasakan pesan yang ingin disampaikan. Justru karena kesederhanaannya itulah buku ini begitu mengena.

Salah satu kelebihan buku ini adalah bagaimana ia menggambarkan bahasa cinta dalam keluarga. Tidak semua orang tua terbiasa mengucapkan kata sayang atau memberikan pelukan hangat. Bagi sebagian orang tua, bahasa cinta mereka bisa berupa bekerja keras untuk membiayai sekolah anak, memasakkan makanan, atau sekadar memastikan anaknya bisa tidur dengan nyaman.

Di masa kecil, anak mungkin tidak paham bentuk cinta seperti itu. Tetapi seiring bertambahnya usia, barulah kita menyadari bahwa cinta tidak selalu hadir dalam kata-kata, melainkan dalam tindakan yang mungkin terlihat biasa saja.

Buku ini juga menjadi semacam jembatan bagi pembaca untuk memahami bahwa hubungan keluarga bukan hanya tentang kasih sayang, tetapi juga tentang komunikasi dan pengertian.

Sebagai anak, kita sering kali ingin dimengerti tanpa berusaha memahami orang tua. Sebaliknya, sebagai orang tua, ada kalanya terlalu fokus memberi tanpa benar-benar mendengarkan suara hati anak. Di sinilah buku ini terasa penting, menyadarkan kita bahwa cinta dalam keluarga membutuhkan dua arah.

Selain menyentuh hati, buku “Maafkan Kami Ya Nak” juga membuka mata kita bahwa orang tua adalah manusia biasa yang tidak luput dari rasa lelah, kecewa, bahkan kehilangan arah. Mereka pun pernah menjadi anak yang punya mimpi, lalu tumbuh dewasa dengan membawa beban ekspektasi hidup. Mereka mungkin tidak selalu sempurna, tetapi di balik itu semua, ada cinta yang terus mereka usahakan.

Membaca buku ini terasa seperti bercakap langsung dengan hati sendiri. Ada kalanya kita merasa ingin menangis, terutama ketika menyadari betapa seringnya kita salah memahami niat baik orang tua.

Namun, di sisi lain, buku ini juga memberikan harapan. Harapan bahwa dengan komunikasi yang lebih baik, pemahaman yang lebih luas, serta kesediaan untuk menerima satu sama lain, hubungan dalam keluarga bisa lebih hangat dan tulus.

Buku ini cocok dibaca oleh siapa saja. Bagi anak muda, buku ini membantu memahami alasan di balik sikap orang tua yang kadang terasa keras. Bagi para orang tua, buku ini menjadi pengingat bahwa anak-anak juga memiliki perasaan yang butuh didengar dan dihargai. Dan bagi siapa pun yang tengah mencari makna keluarga, buku ini bisa menjadi teman refleksi yang menghangatkan hati.

Buju “Maafkan Kami Ya Nak” bukan sekadar kumpulan kata-kata indah, melainkan cermin yang membuat kita berani melihat sisi lain dari keluarga yang selama ini mungkin terabaikan. Dengan bahasanya yang sederhana namun penuh makna, buku ini berhasil membuka ruang dialog dalam diri pembacanya.

Hidup sebagai orang tua maupun anak memang bukan perkara mudah. Tetapi seperti pesan utama buku ini, cinta selalu hadir meski kadang tak terucap. Dan mungkin, dengan membaca buku ini, kita bisa lebih berani mengatakan apa yang selama ini tertahan, “Bapak, Ibu, aku juga sayang kalian.”

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS