Bayangkan dunia modern yang tiba-tiba diguncang oleh tragedi tak masuk akal, kematian beramai-ramai di atas feri mewah yang berlabuh di Pulau Jengka.
Tanpa saksi hidup, tanpa petunjuk jelas. Kasus misterius ini menjadi sorotan dunia dan menarik perhatian dua penyiasat utama, Henry Mikail dan Iman Nadrah. Namun, semakin dalam mereka menyelidiki, semakin aneh benang merah yang mereka temukan.
Semua petunjuk mengarah pada sesuatu yang mustahil dijelaskan secara logika, Serunai Maut, sebuah mitos kuno yang diyakini menjadi penyebab tragedi itu.
Penduduk pulau mempercayai bahwa Serunai Maut, adalah alat pemanggil “penjaga” Pulau Jengka, entitas misterius yang menuntut darah sebagai bayaran.
“Jangan hidupkan lampu,” begitu pesan mereka. Karena cahaya dipercaya mampu membangunkan sesuatu yang seharusnya tetap tertidur.
Henry yang rasional menolak mempercayai hal-hal gaib, tapi keadaan memaksanya untuk melibatkan Iman Falah, seorang tokoh agama dengan pengetahuan spiritual yang dalam.
Dari sinilah, penyelidikan mereka berubah menjadi pertarungan antara logika dan kepercayaan, antara iman dan ketakutan, antara hidup dan maut.
Leena Syiha sekali lagi membuktikan kemampuannya meramu kisah misteri dengan bumbu spiritual dan kepercayaan lokal.
Novel ini bukan sekadar thriller biasa, tetapi juga menggali sisi gelap keyakinan manusia terhadap hal-hal yang tak kasatmata.
Kelebihan paling mencolok dari Serunai Maut adalah kemampuannya membangun atmosfer tegang dan mencekam sejak halaman pertama.
Adegan pembuka di feri benar-benar menggigit, penuh ketegangan dan rasa ingin tahu. Pembaca langsung dilempar ke dunia misterius yang samar antara realitas dan mitos.
Selain itu, karakter-karakternya hidup dan berlapis. Henry Mikail, yang skeptis tapi tetap berani, berlawanan sempurna dengan Iman Falah, sosok berwibawa yang meyakini bahwa tidak semua bisa dijelaskan oleh sains.
Sementara Iman Nadrah menjadi jembatan antara dua dunia: dunia logika dan dunia gaib. Interaksi ketiganya membuat konflik cerita terasa natural dan dinamis.
Novel ini juga unggul dalam riset budaya dan mitologi lokal. Leena Syiha tidak asal menakut-nakuti, melainkan memadukan unsur mistik dengan akar kepercayaan masyarakat yang masih kental di banyak tempat.
Hasilnya, pembaca seperti diajak masuk ke kisah yang bisa saja benar-benar terjadi di dunia nyata.
Meski seru, ada beberapa bagian yang terasa terlalu padat dengan istilah spiritual dan latar mitologis, sehingga pembaca awam mungkin memerlukan waktu untuk mencerna.
Tempo cerita di pertengahan juga sedikit melambat karena banyaknya dialog penjelasan.
Selain itu, akhir cerita terasa agak terburu-buru. Konflik besar yang dibangun sejak awal diselesaikan dengan cepat, membuat pembaca merasa belum puas menikmati klimaksnya.
Namun, secara keseluruhan, ini tidak mengurangi kekuatan atmosfer misterinya. Leena Syiha menggunakan gaya bahasa yang tajam, visual, dan penuh intensitas emosional.
Setiap deskripsi terasa hidup, pembaca bisa merasakan dinginnya malam di Pulau Jengka atau bisikan seram yang muncul di tengah gelap.
Kalimat-kalimatnya mengalir ringan namun menyimpan makna dalam. Ada keseimbangan antara narasi modern dan nuansa sastra, membuat novel ini nyaman dibaca tapi tetap punya “gigitan” khas thriller spiritual.
Di balik misteri dan kengerian, Serunai Maut menyampaikan pesan yang kuat tentang iman dan batas logika manusia.
Novel ini mengingatkan bahwa tidak semua yang tak terlihat itu tidak nyata, dan tidak semua yang nyata bisa dijelaskan oleh sains.
Leena Syiha juga menyoroti bagaimana kepercayaan yang salah arah bisa menghancurkan akidah dan membuka jalan bagi kegelapan.
Pada akhirnya, novel ini mengajak pembaca merenung, tentang hubungan manusia dengan kekuatan yang lebih besar, dan bagaimana ketakutan bisa tumbuh ketika iman mulai goyah.
Serunai Maut adalah perpaduan menegangkan antara misteri, mitos, dan spiritualitas. Bagi penggemar kisah penyiasatan yang dibumbui elemen gaib dan kepercayaan lokal, novel ini akan jadi pengalaman membaca yang menegangkan sekaligus menggugah pikiran.
CEK BERITA DAN ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Baca Juga
-
Refleksi Diri lewat Berpayung Tuhan, Saat Kematian Mengajarkan Arti Hidup
-
Ketika Omelan Mama Jadi Bentuk Kasih Sayang di Buku Mama 050
-
Novel Semesta Terakhir untuk Kita: Ketika Ego dan Persahabatan Bertarung
-
Buku The Productive Muslim: Menggabungkan Iman dalam Produktivitas Muslim
-
Ulasan Buku Dont Be Sad, Motivasi Islami yang Menenangkan Jiwa
Artikel Terkait
-
Refleksi Diri lewat Berpayung Tuhan, Saat Kematian Mengajarkan Arti Hidup
-
Ketika Omelan Mama Jadi Bentuk Kasih Sayang di Buku Mama 050
-
5 Alasan Gachiakuta Wajib Ditonton, Anime Misteri Relate dengan Kehidupan!
-
Ulasan Buku "House of Sky and Breath", Kisah Romansa Antrologi Perang
-
Novel Semesta Terakhir untuk Kita: Ketika Ego dan Persahabatan Bertarung
Ulasan
-
Review Film Rest Area: Ketika Singgah Jadi Awal Petaka Maut!
-
Review Film Human Resource: Saat Punya Anak Bukan Lagi Hak Personal
-
Review Film Rangga & Cinta: Cerita dari Gen Milenial yang Melintas Dua Generasi
-
Refleksi Diri lewat Berpayung Tuhan, Saat Kematian Mengajarkan Arti Hidup
-
Ulasan Buku "House of Sky and Breath", Kisah Romansa Antrologi Perang
Terkini
-
Siapa Bjorka yang Asli? Ketika Panggung Siber Menjadi Panggung Sandiwara
-
Mengenal Gamofobia: Tanda, Alasan, dan Cara Mengatasi Rasa Takut Menikah
-
Jelang Usia 46 Tahun, Muzdalifah Jadi Pejuang Garis Dua Melalui Bayi Tabung
-
Bikin Salfok Banget! 4 Ide Clean Outfit ala Lee Joo Ahn yang Simple
-
Jadi Sorotan, Cincin Lamaran El Rumi untuk Syifa Hadju Senilai Rp1 Miliar