Film horor sekuel sering kali jatuh ke dalam jebakan pengulangan formula yang sama, tetapi Black Phone 2 berhasil menawarkan pendekatan segar yang lebih ambisius.
Disutradarai oleh Scott Derrickson, yang juga menggarap film pertamanya pada 2021, sekuel ini melanjutkan kisah trauma dan supranatural yang diadaptasi dari cerita pendek Joe Hill (putra Stephen King).
Jika The Black Phone pertama fokus pada penculikan anak-anak oleh seorang pembunuh berjuluk The Grabber, maka bagian kedua ini mengeksplorasi dampak jangka panjang dari peristiwa mengerikan itu.
Film ini tidak hanya menggunakan jump scare sederhana, tetapi menciptakan ketegangan melalui unsur psikologis dan penghormatan kepada film horor klasik seperti A Nightmare on Elm Street.
Cerita berlatar tahun 1982, empat tahun setelah kejadian di film pertama. Finney Blake (Mason Thames), kini berusia 17 tahun, masih berjuang dengan trauma pasca-penculikannya. Ia mencoba menjalani kehidupan normal sebagai remaja, tapi bayang-bayang masa lalu terus menghantuinya.
Sementara itu, adiknya, Gwen (Madeleine McGraw), mulai mengalami mimpi buruk yang melibatkan telepon hitam misterius—alat ikonik dari film sebelumnya.
Mimpi-mimpi ini membawanya ke visi tentang tiga anak laki-laki yang diburu di sebuah kamp musim dingin bernama Alpine Lake. Di sana, Gwen menemukan hubungan mengejutkan antara The Grabber dan sejarah keluarganya sendiri. Bersama Finney, mereka harus menghadapi ancaman yang kini lebih kuat bahkan setelah kematiannya.
Plot ini menghindari spoiler besar, tapi cukup untuk mengatakan bahwa Derrickson dan penulis skenario C. Robert Cargill berhasil mengubah antagonis menjadi sosok seperti Freddy Krueger, yang beroperasi di alam mimpi dan realitas.
Salah satu kekuatan utama Black Phone 2 adalah penampilan para aktornya. Ethan Hawke kembali sebagai The Grabber, dan kali ini ia tampil lebih liar dan menyeramkan.
Di balik topeng setan yang ikonik, Hawke menyuntikkan nuansa kegilaan yang membuat karakternya terasa lebih kuat di alam gaib. Mason Thames sebagai Finney menunjukkan perkembangan karakter yang matang; ia bukan lagi korban tak berdaya, melainkan remaja yang marah dan trauma, yang diekspresikan melalui adegan-adegan emosional yang intens.
Madeleine McGraw sebagai Gwen menjadi pusat cerita kali ini, dan aktris muda ini berhasil menyampaikan ketakutan serta keberanian dengan meyakinkan. Tambahan seperti Demián Bichir sebagai pengawas kamp Mando membawa elemen spiritualitas, menambahkan lapisan teologis tentang iman, dosa, dan kejahatan.
Jeremy Davies sebagai ayah mereka, Terrence, juga memberikan performa yang menyentuh, menggambarkan perjuangan keluarga pasca-tragedi.
Review Film Black Phone 2
Secara visual, Derrickson membawa tekstur analog yang evocatif, menggunakan Super 8 dan Super 16 untuk urutan mimpi yang suram. Adegan-adegan di kamp Alpine Lake, dengan danau beku dan hutan bersalju, menciptakan atmosfer dingin yang sempurna untuk horor.
Film ini lebih besar dan lebih berdarah daripada pendahulunya, dengan set piece klimaks di atas es yang inovatif dan mendebarkan.
Tema trauma penyintas menjadi pusat, di mana Derrickson mengeksplorasi bagaimana luka masa lalu memengaruhi kehidupan sehari-hari. Ini membuat film tidak hanya menyeramkan, tapi juga menyentuh hati, mirip dengan pendekatannya di Sinister atau The Exorcism of Emily Rose.
Pengaruh dari film horor 80-an terasa kuat, tapi Derrickson menyuntikkannya dengan gaya punk rock yang segar, membuat sekuel ini terasa seperti evolusi daripada repetisi. Akan tetapi, Black Phone 2 bukan tanpa kelemahan.
Menurutku sih film ini terlalu panjang dan lambat di bagian tengah, dengan dialog ekspositori yang bertele-tele. Elemen agama—seperti referensi Alkitab dan peran iman dalam melawan kejahatan—kadang terasa dipaksakan, memberikan nuansa "after-school special" yang mengurangi intensitas horornya.
Beberapa aktor pendukung tampil kurang meyakinkan, dan jump scare di sejumlah adegan terasa klise. Walaupun konsepnya menarik, pelaksanaannya tidak selalu berhasil, sehingga film ini memperoleh rating beragam: 71% di Rotten Tomatoes dan 57 di Metacritic. Buat kamu penggemar film yang pertama, ini mungkin terasa mengecewakan karena tidak sefokus dan menyeramkan seperti aslinya.
Di Indonesia, Black Phone 2 tayang di bioskop mulai 15 Oktober 2025, didistribusikan oleh Universal Pictures Indonesia. Ini lebih awal dari rilis AS pada 17 Oktober 2025, memberikan kesempatan buat kamu untuk merasakan terornya lebih dulu.
Film ini rated R karena kekerasan, bahasa kasar, dan elemen supranatural yang intens, jadi cocok untuk penonton dewasa yang menyukai horor psikologis.
Overall, Black Phone 2 adalah sekuel yang berani dan chilling, meski tidak sempurna. Ia berhasil memperluas mitologi The Grabber tanpa merusak akhir film pertama, sambil menawarkan pesan tentang penyembuhan trauma dan kekuatan keluarga.
Kalau kamu penggemar horor dengan kedalaman, film ini layak ditonton di bioskop besar untuk efek maksimal. Rating dari aku: 7/10. Dengan durasi 114 menit, ini adalah perjalanan mencekam yang akan membuatmu berpikir dua kali sebelum menjawab telepon yang berdering.
CEK BERITA DAN ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Baca Juga
-
Review Film Shelby Oaks: Debut Horor yang Menggoda, tapi Belum Sempurna
-
Review Film Getih Ireng: Obsesi Memiliki Anak yang Berujung Malapetaka!
-
Review Film The Toxic Avenger: Remake yang Penuh Tawa dan Kritik Sosial!
-
Review Film Tumbal Darah: Teror Persalinan yang Menggugat Batas Kemanusiaan
-
Netflix Rilis Abadi Nan Jaya: Zombie Lokal dengan Sentuhan Budaya yang Bikin Penasaran!
Artikel Terkait
-
Setelah 45 Tahun, Film The Shining Bakal Ditayangkan dalam Format IMAX
-
Review Film Murder Report: Wawancara Gila Menguji Batas Akal dan Nurani
-
Review Film Shelby Oaks: Debut Horor yang Menggoda, tapi Belum Sempurna
-
Usung Tema Natal, Netflix Tengah Siapkan Film A Dog's Perfect Christmas
-
Jeremy Renner Tegaskan Tak Akan Tampil di Dua Film Avengers Mendatang
Ulasan
-
Review Film Murder Report: Wawancara Gila Menguji Batas Akal dan Nurani
-
Review Film Shelby Oaks: Debut Horor yang Menggoda, tapi Belum Sempurna
-
Misteri Berbahaya di Balik Sekolah Impian dalam Novel Secret High School
-
Ulasan Novel Bukan Nikah Biasa: Rasa Nyaman yang Tak Tergantikan
-
Review Alice in Borderland Season 3: Kembali Bermain antara Hidup dan Mati
Terkini
-
Meski Pahit, Kita Harus Setuju Kritik Alex Pastoor Soal Kompetisi Lokal!
-
Susul Rekor Gelar Minions, Kim Won Ho/Seo Seung Jae Ingin Ciptakan Sejarah
-
FIFA Matchday November dan Pengalaman Pertama Indra Sjafri Melatih Timnas Senior KW Super
-
Deddy Corbuzier dan Sabrina Cerai, tapi Tetap Tulis Pesan Penuh Cinta
-
Piala Dunia U-17: Tak Sulit, Ini Skenario Lolos Fase Grup Timnas Indonesia