Hayuning Ratri Hapsari | Athar Farha
Poster I Love You My Teacher (Instagram/ creator.pictures)
Athar Farha

Ada hal-hal yang sebaiknya nggak dilanggar. Hanya saja, dunia hiburan sering kali tertarik sama hal-hal terlarang, yang bikin deg-degan, bikin mikir, dan kadang bikin penonton penasaran. Nah, vertical series (dalam format portrait bukan horizontal) berjudul: ‘I Love You, My Teacher’ adalah salah satu contohnya.

Series ini dibintangi Gandhi Fernando yang sekaligus juga produsernya lewat rumah produksi Creator Pictures, bekerja sama dengan Kuro Films. Dia berperan sebagai Malik, guru di SMA Harmony yang punya kehidupan cukup kompleks. Lawan mainnya adalah Anna, siswi muda yang baru saja patah hati setelah putus cinta. 

Cerita mereka dimulai dari suatu malam kelam yang berujung fatal. Pertemuan di bar kecil yang seharusnya jadi tempat melupakan luka, malah jadi awal dari hubungan yang mustahil.

Seiring waktu, hubungan Malik dan Anna makin dekat. Keduanya saling berbagi rahasia, luka, dan perhatian. Namun, semua buyar begitu Anna sadar kalau pria dewasa yang dia cintai ternyata gurunya sendiri.

Series ini punya format 20 episode vertikal, jadi memang dirancang untuk ditonton lewat ponsel. Semua episodenya dirilis sekaligus di aplikasi MyTelkomsel. Gaya sinematiknya kemungkinan dibuat ringkas dan padat, biar pas buat konsumsi cepat ala generasi yang hidup di antara scroll dan swipe.

Sampai di situ, sinopsisnya kelihatan kayak kisah romansa menarik. Sayangnya kalau ditarik lebih dalam, ‘I Love You, My Teacher’ tuh nyentuh wilayah yang jauh lebih sensitif, yakni soal relasi kuasa, batas moral, dan persepsi cinta di antara usia yang nggak seimbang.

Perlu Sobat Yoursay pahami. Judulnya sendiri sudah problematik, tapi cerdas secara marketing. ‘I Love You, My Teacher’ itu catchy, gampang diingat, dan langsung memancing rasa ingin tahu.

Namun di sisi lain, juga menyentuh garis yang riskan. Cinta antara murid dan guru bukan hal baru di fiksi. Dari Jepang sampai Korea pun pernah main kisah di ranah ini. Cuma ya gitu, di konteks sosial kita, itu tabu. 

Guru punya posisi sebagai figur otoritas dan panutan, sementara murid masih dalam proses tumbuh dan mencari jati diri. Begitu relasi itu diromantisasi, bisa menimbulkan bias persepsi di penonton muda yang belum bisa membedakan mana fiksi, mana etika.

Jujurly, paham banget kok kalau pembuatnya, Joel Jefferson dan Gandhi Fernando, mungkin ingin menggali sisi emosional dari hubungan yang impossible ini. Mereka mungkin mau menampilkan cinta yang nggak ideal tapi jujur, dua manusia yang terluka dan nyari pelarian satu sama lain.

Hanya saja, konteksnya penting banget. Saat yang satu adalah guru dan yang lain siswi, nggak bisa cuma dibilang ‘mereka sama-sama jatuh cinta’. Ada ketimpangan kuasa di sana, dan itu bukan sekadar bumbu konflik, tapi inti moral yang seharusnya dihadapi serius.

Terlepas dari itu, aku selalu percaya bahwa film atau series boleh bahas tema gelap, tapi harus paham tanggung jawab narasinya. Kalau hanya dijadikan sensasi, apalagi romantisasi hubungan nggak sehat, maka efeknya bisa bahaya.

Nah, kalau ceritanya justru menunjukkan bagaimana hubungan semacam ini bisa membawa konsekuensi besar, misalnya dari rasa bersalah, stigma, hingga kehancuran personal, maka di situ letak nilai artistiknya. Cerita bisa tetap mengguncang, tapi punya arah yang jelas.

Masalahnya, di era short attention span kayak sekarang, banyak yang sengaja bikin hook sensasional buat viral. Dan aku khawatir, ‘I Love You, My Teacher’ jatuh ke wilayah itu. Dari judul, poster, sampai sinopsisnya, semuanya dibuat seolah-olah mau bikin orang bilang, “Hah? Guru pacaran sama muridnya?” 

Padahal, sebagai penulis, aku tahu betapa kuatnya peran bahasa visual dalam membentuk persepsi. Kalau dari awal framing-nya adalah romansa terlarang yang menggairahkan, alih-alih tragedi emosional yang bikin mikir pembelajarannya, maka maknanya bisa kabur. 

Aku berharap Joel Jefferson sebagai sutradara bisa ngasih kedalaman pada karakter Anna, supaya penonton bisa melihatnya bukan sebagai gadis yang ‘menggoda gurunya’, tapi sebagai remaja yang rapuh dan salah langkah karena trauma cinta. Begitu juga Malik, harus ditampilkan sebagai manusia yang bersalah, bukan sosok romantik yang dimaklumi.

Kalau eksekusinya cermat, sebenarnya tema ini bisa kuat banget. Cinta yang muncul di situasi salah, rasa bersalah yang menumpuk, dan kehancuran perlahan. Itu semua bahan bakar drama yang solid. Cuma ya gitu, keberanian harus diimbangi dengan kepekaan. Soalnya kita hidup di masa ketika cerita bisa menginspirasi, tapi juga bisa menormalisasi.

Oke deh. Akhir kata. Judulnya memang menggoda, tapi di balik itu ada PR moral besar terkait bagaimana menampilkan kisah terlarang tanpa menghapus garis batas antara cinta dan penyalahgunaan. Aku harap semua pihak yang terlibat sadar akan tanggung jawab itu.