CERPEN: Lelaki Berbaju Hitam dan Ular-ular Kobra

M. Reza Sulaiman | Tika Maya Sari
CERPEN: Lelaki Berbaju Hitam dan Ular-ular Kobra
ilustrasi sampul cerpen hutan dan ular kobra (Gemini AI/ Nano Banana)

"Bangunlah, kau tidak mau jatuh ke sungai dan dimakan buaya, kan?”

Erika membuka mata dan mendapati ada sesosok lelaki asing tampak berjongkok di depannya. “Kamu siapa?”

Lelaki tadi memilih berdiri seraya mengulurkan tangan, meminta Erika untuk bangkit dari rebahan. “Bangunlah dulu. Bajumu kotor kena tanah.”

Erika meraih tangan sosok di depannya seraya memasang kewaspadaan tingkat tiga. Siapa dia? Manusia atau jejadian? Mencoba abai pada penampilan lelaki tadi yang bak aktor-aktor luar negeri. Tubuh tinggi tegapnya dibalut kaus polo hitam yang dilengkapi jaket kulit hitam, celana panjang hitam, serta sepatu olahraga senada. Pokoknya serba hitam, begitu kontras dengan warna kulitnya yang putih.

Namun, ada keanehan yang sempat tertangkap, yakni wajah lelaki tadi tidak tampak jelas. Seolah ada kabut tipis yang menyembunyikan parasnya, kecuali garis rahangnya yang kokoh dan sudut bibir yang tertarik sedikit.

“Jangan berdiam lama-lama di sini. Ada buaya besar di sungai itu,” tukasnya sembari berbalik badan dan melangkah pergi.

Erika membulatkan matanya sebelum mengejar lelaki tadi. “Tunggu dulu, kamu ini siapa? Ini di mana, coba?!”

Sambil mengejar langkah lelaki tadi yang lebar, Erika mengedarkan pandangan hanya untuk mendapati rimbun dedaunan dan cahaya matahari yang menembus celah-celah kanopi daun. Pepohonan besar tampak teduh, lengkap dengan hewan-hewan kecil macam tupai mengintip dari dahan-dahan.

“Ini… hutan?” ucap Erika tidak percaya. “Jangan-jangan aku isekai?!”

“Kau terlalu banyak membaca cerita omong kosong,” sahut lelaki di depan. “Jangan khawatir, ini hanya hutan.”

“Ini hanya hutan, kamu bilang?!” Erika berteriak nyaring. “Aku perempuan dan kamu lelaki. Dua orang beda gender di hutan sepi begini?! Mendingan aku ketemu beruang!”

Lelaki tadi hanya terkekeh. “Tenanglah dulu. Ini hanya hutan kecil di dekat rumahmu.”

“Hutan kecil dekat rumahku?” bisik Erika bertanya pada dirinya sendiri. “Nggak ada hutan di dekat rumahku. Jangan melantur.”

“Coba ingat-ingat.”

Erika mencoba mencerna omongan lelaki tadi sambil terus mengikutinya. Mereka melintasi jalan setapak dengan daun-daun kering yang tertiup angin. Ada aroma tanah basah dan lembap kayu-kayu lapuk yang berpadu dengan humus dedaunan yang mulai membusuk. Sepintas, terciumlah aroma semerbak manis segar dari buah mangga yang telah masak di beberapa sudut.

Sekali lagi angin bertiup dan menerbangkan benih-benih pohon wadang dan buah-buah mahoni. Hal itu menciptakan ilusi confetti alami yang menenangkan jiwa dan harapan baru.

“Ini mirip dengan hutan kecil di dekat sungai perbatasan desa, deh, kayaknya,” gumam Erika. “Orang itu manusia apa siluman, ya?”

“Kita sampai.”

Erika melongo kala mendapati kerumunan orang di pinggir sungai yang sedang asyik mengadakan perlombaan macam Agustusan. Beberapa bocah bersiap lomba kelereng dan ada gepuk bantal sengit. Ada juga penjual jajanan murah meriah, seperti telur gulung, rujak buah, es limun, sampai penjaja kopi starling.

“Kayak kenal?” gumam Erika saat melihat ada beberapa orang yang dia kenal.

Otaknya bekerja keras untuk mengetahui situasi dan lokasinya saat ini. Lelaki tadi yang kini malah mengantre beli telur gulung bilang bahwa hutan ini ada di dekat rumah Erika. Kehadiran sungai jernih ini, jembatan beton kecil yang familier, ditambah ada jalan kampung yang menghubungkan utara dan selatan, seharusnya ada makam sesepuh desa di dekat sini. Maka jelaslah bahwa dia barangkali ‘berpetualang’ via mimpi.

Masalahnya, lelaki yang bersamanya mencurigakan!

“Mau telur gulung? Ada bihun di dalamnya?” tawar lelaki tadi.

“Uhm, nggak, deh. Makasih.” Erika mengamati lelaki tadi terang-terangan. Dia khawatir kalau sosok menawan di depannya ini adalah jejadian. “Aku masih kenyang.”

“Kau takut ini adalah telur busuk dan cacing, sebagaimana cerita tentang jejadian?”

Erika terdiam syok. Bagaimana mungkin lelaki itu tahu isi pikirannya?

“Yah, jangan mudah percaya pada siapa pun yang kau temui. Di duniamu atau dunia mimpi.”

“Jadi, kamu nggak bisa dipercaya, ya?” tanya Erika. “Kamu manusia atau bukan?”

Lelaki tadi terkekeh renyah sebelum membalikkan badan dan melangkah lebar-lebar. Erika spontan mengikutinya, dan kini mereka berjalan dalam keheningan, kecuali kicau burung bersahutan atau keseruan laba-laba menganyam sarang.

“Perhatikan langkahmu, ada ular kobra yang bersembunyi di dedaunan kering. Jangan sampai kau digigit.”

Mata Erika otomatis turun ke jalan setapak dan mendapati puluhan atau mungkin lebih, anak-anak ular kobra yang bersembunyi di tumpukan daun kering. “Ular kobra tidak menggigit! Mereka menyemburkan bisa!” pekiknya emosi.

Sepanjang jalan, Erika ketakutan karena kehadiran ular-ular kobra sebanyak itu. Apakah ini ada hubungannya dengan sering menonton video Panji bersama Garaga?! Sangat berbanding terbalik dengan lelaki tadi yang melangkah santai.

“Tampaknya, kita harus sudahi pertemuan ini,” ucap lelaki tadi yang kini menghentikan langkahnya.

“Maksudnya?” tanya Erika balik. “Eh, ularnya sudah nggak ada?”

“Kau tahu, tidak semua hal harus dipendam sendiri. Ada baiknya kau berbagi cerita agar bebanmu berkurang.” Lelaki tadi lalu berjongkok dan melemparkan batu kecil ke sungai. “Semakin lama kau menyimpan segala permasalahan dan kebencian, dadamu akan kian sesak dan kau akan meledak.”

Erika terdiam. Bukan karena ucapan bijak dari sosok di depannya, melainkan karena kabut hitam yang mengelilingi tubuh lelaki di depannya. Apakah benar kalau dia seorang jejadian?

“Kebencian hanya akan mengundang setan-setan untuk menyesatkan.” Lelaki itu kemudian berdiri dan menampilkan wajahnya yang asli. “Akhirnya, antara gila atau kematian yang tidak diterima.”

Erika mundur beberapa langkah saat menyadari bahwa lelaki itu adalah seorang jejadian. Matanya bukan mata manusia, melainkan hanya segaris hitam saja.

“Pulang dan maafkanlah dunia. Kau juga perlu membenahi dirimu sendiri.”

Sebelum bisa melontarkan kalimat, tubuh Erika didorong hingga tercebur ke dalam sungai. Hanya senyuman lelaki tadi yang berhasil dia tangkap, sebelum pemandangan bantal yang basah oleh air mata dan botol pil tidur yang berantakan merenggut kesadarannya.

“Gila.”

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak