CERPEN: Aku Memilihmu Hari Ini dan Nanti

Hayuning Ratri Hapsari | Imas Hanifah N
CERPEN: Aku Memilihmu Hari Ini dan Nanti
Ilustrasi laki-laki dan perempuan saling menatap satu sama lain. (Pixabay/Kei_Therapeutic_Art)

Televisi di rumah Andrea terbakar. Entah apa yang terjadi, tapi demi keamanan di hari-hari selanjutnya, perempuan itu bersama adiknya yang bernama David, memilih pindah ke sebuah rumah kecil di pinggir kota, di dekat rumah tempat teman masa kecil Andrea, seorang lelaki berkulit tan yang manis, yaitu Paul. Paul adalah seorang guru bahasa Jerman dan katanya, sedikit-sedikit bisa bahasa Jepang.

Saat pertama kali masuk ke dalam mobil pindahan, David sedikit merengek. Ia baru berpamitan dengan teman-temannya yang lain dan mulai menangis. Namun, saat Andrea mencoba memberinya kata-kata penghiburan, David justru mengatakan hal yang membuat Andrea ingin tertawa. 

“Aku tidak bersedih karena harus meninggalkan mereka, aku sangat sedih dengan kenyataan bahwa kita pindah rumah karena televisi di rumah kita terbakar.”

Sambil terus menyetir, Andrea benar-benar berusaha keras menahan diri untuk tidak tertawa. David menjadi lebih sensitif untuk hal-hal semacam itu, sejak orang tua mereka berpisah. Rasa malu, ketidakpercayaan diri, ketakutan dinilai rendah, dan banyak hal lainnya. Menekan ia dan Andrea ke dalam mimpi-mimpi buruk tentang penerimaan yang penuh keraguan di hadapan orang-orang banyak.

“Kau tahu? Itu bukan sekedar televisi yang terbakar, itu saluran yang rusak. Rumah itu tidak layak. Jika kemarin televisi kita yang terbakar, mungkin besok atau lusa, barang elektronik lainnya juga berakhir serupa. Itu mengerikan, bukan?”

David tidak menjawab dan sibuk menulis sesuatu di jendela mobil dengan uap yang ia hembuskan dari mulut. Kebiasaan yang sulit dihilangkan, tapi Andrea tak akan melarang. 

Menuju rumah di pinggir kota, David tampak lebih ceria. Ia bahkan menghabiskan beberapa makanan ringan, sambil sesekali bersenandung riang. Andrea merasa lega.

Selanjutnya, tanpa Andrea duga, keluarga Paul menyambut ia dan adiknya saat sampai di depan rumah yang mereka tuju. Reaksi pertama kali yang Andrea tunjukkan tentu adalah rasa heran. Siapa dirinya, sehingga pantas disambut sedemikian rupa? 

Paul tersenyum lebar, manis, dan tanpa beban. Ibu dan ayahnya merangkul Andrea dan David erat-erat, lalu berkata bahwa rumahnya sudah dibersihkan, sudah disiapkan, tinggal dirapikan saja, dipadukan dengan barang-barang bawaan. 

Sesaat hanya ada saling sapa dan ibu Paul tak henti memuji kecantikan alami Andrea, walaupun jauh di lubuk hatinya, Andrea merasa itu berlebihan. Ia tidak sempat merias diri sebenarnya.

Tidak begitu lama, orang tua Paul pamit, sedangkan Paul membantu beres-beres dan Andrea hanya duduk bersama David, menghabiskan makanan yang dimasak orang tua Paul.

“Aku merasa tidak enak, aku akan mengajak keluargamu makan malam setelah semuanya siap,” ujar Andrea.

“Ini sudah menjadi kebiasaan. Untuk tetangga, kami sering melakukannya.”

Andrea tersenyum, merasa istimewa, meskipun mungkin Paul dan keluarganya memperlakukan orang lain pun sama baiknya, tapi Andrea tetap bersyukur untuk itu.

Hal menyenangkan lainnya adalah tengang David. Selalu sulit baginya untuk beradaptasi dengan lingkungan baru, tapi dengan Paul dan keluarganya, David sedikit lebih lunak. 

***

Hari-hari berikutnya, Paul dan orang tuanya tidak pernah berhenti membantu Andrea dalam hal apa pun. Dan sebagai gantinya, Andrea juga selalu berusaha untuk melakukan hal yang sama, meskipun itu berupa bantuan-bantuan kecil, seperti menyingkirkan sampah di depan rumah mereka, atau mengirim sarapan sederhana. Andrea selalu berpikir kalau semua yang ia lakukan masih tak sebanding dengan semua bantuan yang diberikan oleh Paul dan keluarganya. 

Suatu ketika, Paul berpamitan kepada Andrea, tapi bukan pamitan yang biasa. Sesuatu yang besar seperti mengganjal di tenggorokan Paul ketika berbicara tentang rencana kepergiannya.

“Andrea, aku akan segera menikah,” katanya agak tersendat-sendat.

“Bagus untukmu. Tapi, ada apa dengan ekspresi itu?” Andrea sedikit bercanda, tapi sekaligus penasaran, sebab Paul tampak tidak bahagia dengan rencananya sendiri.

“Aku tidak menyukainya. Ini semacam perjodohan. Orang tuaku, walaupun tampak sangat memikirkan anak-anaknya, mereka masih berpikiran kolot.”

Andrea mulai memahami letak masalahnya. Namun, mampukah ia membantu? Ia juga bingung harus bagaimana.

“Apa kau tidak mau mencoba mencintainya? Banyak orang yang belajar jatuh cinta kepada seseorang dan itu bisa saja berhasil.”

“Sebenarnya, aku ....”

Kalimat Paul tertahan, ia justru mendekat dan memberikan kecupan di pipi Andrea yang seketika membuat Andrea membeku. 

“Aku mencintaimu.”

Andrea tidak bisa berkata-kata, hingga akhirnya ia hanya mendorong Paul keluar dari rumah dan menutup pintunya rapat-rapat. Tidak, pikir Andrea. Ia tidak akan pernah menerima Paul, sampai kapan pun. 

Sebelumnya, Andrea sangat yakin kalau ia tidak akan pernah jatuh cinta kepada Paul. Namun, sepeninggalnya Paul, Andrea merasakan getaran-getaran itu dan tentu saja, ia yang percaya bahwa tahu diri adalah bagian terpenting dalam hidup, tak akan membiarkan getaran itu tumbuh menjadi suara.

Di hari-hari berikutnya, Andrea sudah menentukan pilihan. Ia menjaga jarak dengan Paul, bicara seperlunya, dan berusaha menjalani hidup dengan tenang.

Waktu pun berlalu begitu cepat. Paul menikah dengan perempuan pilihan orang tuanya, dan pindah ke kota lain. Andrea juga dengan kesadaran penuh, mulai membuka hati kepada yang lain, tapi sayangnya tak pernah berhasil.

***

Lima tahun kemudian, Paul pulang kembali ke kota, ke rumah orang tuanya, tapi tidak dengan istrinya. Ia datang sendirian. Dan Andrea tidak banyak bertanya, walaupun pada akhirnya ia tahu kalau Paul sudah bercerai. Ia justru berencana untuk pindah ke kota lain. Keuangannya sudah mulai lancar sejak mendapatkan pekerjaan tetap satu tahun yang lalu. Ia ingin rumah yang agak besar dan nyaman. David juga menginginkan hal yang sama.

Namun, sebelum pergi, saat Andrea berpamitan ke rumah Paul, Paul mengungkapkan semuanya. Di hadapan ayah dan ibunya, ia bicara soal rasa sukanya terhadap Andrea dan alasan mengapa ia bercerai. 

“Sekarang, kalian tahu. Aku tidak pernah bahagia semenjak menikah,” katanya dengan suara yang berat. Ia hampir menangis. 

Andrea tidak ingin lebih lama berada di sana dan berniat untuk kabur saja, tapi ibu Paul menahannya. Namun, tidak ada yang bisa Andrea katakan, selain bahwa ia tidak memiliki perasaan lebih kepada Paul. 

Dulu, iya. Namun setelah lima tahun, ia tidak merasakan apa-apa lagi. Ia berhasil menyelesaikan perasaannya kepada Paul, tanpa mengabarkannya kepada siapa pun. 

“Seperti kau, aku juga tidak mau menerima paksaan.”

Lalu Andrea pergi, bersama David, ke kota lain, hidup di sana selama puluhan tahun lamanya, tidak menikah, dan menyaksikan David tumbuh dengan baik, memiliki keluarga, anak-anak yang lucu, dan Andrea tidak pernah menyesali apa pun. Tidak akan pernah. 

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak