Fenomena Brain Fog: Kesulitan Fokus Akibat Sering Konsumsi Konten Receh

Hayuning Ratri Hapsari | Davina Aulia
Fenomena Brain Fog: Kesulitan Fokus Akibat Sering Konsumsi Konten Receh
Ilustrasi orang bermain media sosial (pexels.com/kaboompics.com)

Di era digital seperti sekarang, masyarakat semakin terbiasa mengakses berbagai jenis hiburan dengan cepat dan instan. Salah satu yang paling digemari adalah konten singkat di media sosial seperti TikTok, Instagram Reels, dan YouTube Shorts.

Konten berdurasi kurang dari satu menit ini disajikan dalam format visual yang menarik dan terus-menerus menggoda pengguna untuk scrolling tanpa henti. Fenomena ini bukan hanya tren hiburan biasa, melainkan sudah menjadi bagian dari rutinitas harian yang sulit dihentikan.

Sayangnya, kebiasaan ini ternyata tidak bebas risiko, salah satu dampak yang mulai terasa adalah penurunan kemampuan fokus, terutama pada generasi muda. Salah satu fenomena yang muncul dan banyak terjadi saat ini adalah Brain Fog

Definisi Brain Fog

Brain fog adalah istilah non-medis yang digunakan untuk menggambarkan kondisi seseorang merasa pikirannya “berkabut”, sulit fokus, mudah lupa, atau lamban dalam berpikir. Meskipun tidak termasuk gangguan medis resmi, brain fog sering kali menjadi gejala dari masalah fisik atau psikologis yang lebih dalam.

Bayangkan kamu sedang duduk di depan buku atau laptop, tapi tidak bisa menyerap apa yang kamu baca. Atau kamu sedang berbicara, tapi tiba-tiba lupa apa yang ingin kamu katakan. Nah, itulah gambaran umum dari brain fog.

Mekanisme Otak dan Efek Dopamin dari Konten Singkat Memicu Brain Fog

Ketika seseorang menonton konten singkat, otak akan menerima lonjakan dopamin secara instan. Dopamin adalah zat kimia yang terkait dengan rasa senang dan kepuasan. Konten yang lucu, menarik, atau mengejutkan memicu pelepasan dopamin secara cepat dan berulang.

Akibatnya, otak menjadi terbiasa mencari rangsangan serupa dalam waktu singkat. Hal ini membuat seseorang cenderung tidak sabar ketika dihadapkan pada aktivitas yang membutuhkan konsentrasi lebih panjang, seperti membaca buku, menyelesaikan tugas, atau mendengarkan penjelasan dalam kelas atau rapat. Otak seakan "dilatih" untuk fokus hanya dalam durasi pendek.

Secara tidak sadar hal ini telah merambah dalam keseharian kita. Bahkan terkadang kita beranggapan hal tersebut merupakan masalah 'sepele', mulai dari karena lingkungan belajar yang kurang nyaman, suara berisik, dan lain sebagainya. Padahal bisa jadi, kamu mengalami brain fog. 

Attention Span yang Semakin Pendek

Banyak penelitian menunjukkan bahwa attention span (rentang perhatian) manusia kini semakin menurun. Sebuah studi dari Microsoft pada tahun 2015 bahkan menyatakan bahwa rata-rata rentang perhatian manusia telah turun menjadi 8 detik, lebih pendek dari ikan mas.

Meski studi ini sempat diperdebatkan, fakta bahwa banyak orang kesulitan mempertahankan perhatian dalam waktu lama tetap terasa nyata. Kebiasaan menggulir layar untuk berpindah dari satu video ke video lain dalam hitungan detik melatih otak untuk cepat bosan dan segera mencari rangsangan baru, bukan mendalami atau memahami informasi secara mendalam.

Dampak pada Kinerja Akademik dan Produktivitas

Penurunan kemampuan fokus berdampak langsung pada performa akademik dan produktivitas kerja. Banyak pelajar dan mahasiswa mengeluhkan kesulitan belajar karena sulit berkonsentrasi, terutama saat harus membaca materi panjang atau mengerjakan tugas yang memerlukan pemikiran mendalam.

Di lingkungan kerja, karyawan yang terbiasa teralihkan oleh notifikasi atau keinginan untuk membuka media sosial cenderung mengalami task switching, yaitu berpindah-pindah dari satu tugas ke tugas lain tanpa menyelesaikan satu pun secara optimal. Ini menyebabkan kualitas kerja menurun dan waktu yang terbuang lebih banyak.

Ketergantungan Digital dan Gejala Mental Lainnya

Lebih dari sekadar menurunnya fokus, kebiasaan scroll konten singkat juga berpotensi menyebabkan ketergantungan digital. Banyak orang merasa gelisah jika tidak membuka media sosial dalam beberapa jam saja.

Bahkan, doomscrolling, atau kebiasaan terus menerus menggulir konten tanpa tujuan jelas bisa menjadi pelarian dari stres, cemas, atau rasa bosan. Ini memperburuk kondisi psikologis seseorang karena membuat otak terus berada dalam keadaan hyperstimulation, yang pada akhirnya menurunkan kualitas tidur, memperparah kecemasan, dan bahkan memicu depresi ringan.

Penurunan kemampuan fokus akibat kebiasaan scroll konten singkat bukanlah hal yang sepele. Ini adalah konsekuensi dari gaya hidup digital yang tidak seimbang. Agar kita tidak terus-menerus terjebak dalam siklus konsumsi cepat, penting untuk mulai menyadari kebiasaan ini dan mengatur ulang pola interaksi kita dengan media sosial.

Cobalah menerapkan digital detox, mematikan notifikasi, atau menjadwalkan waktu khusus untuk membuka aplikasi hiburan.

Selain itu, latih kembali otak untuk terbiasa dengan aktivitas yang memerlukan konsentrasi, seperti membaca buku, meditasi, atau menulis jurnal. Dengan langkah kecil ini, kita bisa mengembalikan kemampuan fokus dan menjadi lebih 'hadir' dalam setiap aktivitas yang kita jalani.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak