Dari Beragam Latar Jadi Satu Tim: Futsal untuk Semua

Hernawan | Desi Nurcahyati
Dari Beragam Latar Jadi Satu Tim: Futsal untuk Semua
Bermain Futsal di Lapangan (Pexels/Laura Rincon)

Futsal dilakukan di lapangan yang kecil, namun persaudaraan yang terasa tentunya luas. Futsal tidak hanya permainan, tetapi juga medium sosial yang menyatukan individu dari berbagai latar belakang. Di satu lapangan, anak dari desa dan kota, siswa SMA dan vocational school, serta pelajar lintas agama dan budaya bisa berbagi ruang yang setara. Selama bola bergerak, status sosial atau latar belakang ekonomi tidak lagi menjadi batasan. Futsal membangun inklusivitas sosial melalui interaksi direktif secara instan dan toleran.

Di tengah dunia yang semakin terpecah oleh perbedaan status sosial, latar belakang pendidikan, dan budaya, olahraga kerap menjadi ruang netral yang mampu merangkul semua kalangan. Salah satu olahraga yang paling inklusif di lingkungan pelajar dan komunitas saat ini adalah futsal. Dengan ukuran lapangan yang ringkas, jumlah pemain yang tidak banyak, serta gaya permainan yang cepat dan penuh interaksi, futsal menciptakan ruang sosial di mana siapa pun dapat saling mengenal, bekerja sama, dan tumbuh bersama-sama tanpa memandang latar belakang mereka.

Turnamen seperti AXIS Nation Cup 2025 (ANC 2025) menjadi contoh nyata bagaimana futsal dapat menembus sekat-sekat sosial dan administratif. Dalam satu laga, kita bisa menyaksikan siswa dari SMA negeri di kota besar berhadapan dengan peserta dari madrasah kecil di pelosok daerah. Namun saat peluit pertandingan berbunyi, semua perbedaan itu tak lagi penting. Yang utama adalah bagaimana mereka bermain, menyusun strategi, dan menunjukkan rasa hormat satu sama lain di lapangan.

Futsal mampu meruntuhkan batas-batas sosial yang biasanya muncul dalam situasi formal. Di atas lapangan, setiap pemain punya kesempatan yang sama, baik untuk mencetak gol, melakukan kesalahan, maupun menjadi penentu kemenangan tim. Inilah kekuatan futsal sebagai ruang inklusif, tak peduli latar belakang sekolah, jenis perlengkapan yang dipakai, atau status sosial, semua orang setara selama permainan berlangsung.

Pierre Bourdieu (1984) menyebut bahwa olahraga merupakan arena sosial di mana nilai-nilai dan kebiasaan hidup bisa dibentuk dan dinegosiasikan ulang. Dalam permainan futsal, para remaja belajar menyesuaikan cara berkomunikasi, menghargai perbedaan, dan membangun identitas sebagai bagian dari tim, bukan lagi sebagai individu yang membawa latar belakang masing-masing.

Praktik inklusi dalam futsal bisa hadir dalam bentuk-bentuk sederhana namun bermakna dalam. Misalnya, peserta dari daerah terpencil yang tidak membawa peralatan lengkap lalu dipinjami sepatu oleh peserta lain. Atau kisah peserta dari luar pulau yang belajar sapaan dalam bahasa daerah rekan setimnya. Momen-momen ini mungkin tidak tercatat dalam statistik pertandingan, tapi dampaknya jauh lebih dalam yaitu memanusiakan satu sama lain.

Menurut Prabowo et al. (2020) dalam jurnal Asian Exercise and Sport Science Journal, komunitas futsal di Sragen mencerminkan nilai-nilai sosial yang kuat, seperti kerja sama, tanggung jawab, dan persahabatan. Penelitian tersebut tentu menunjukkan bahwa olahraga ini tidak hanya memperkuat fisik, tetapi juga menjadi tempat bagi individu untuk membangun identitas sosial dan relasi antarkelompok.

Merasa diterima dan dihargai dalam tim futsal memberi pengaruh besar bagi remaja, terutama ketika mereka sedang membentuk jati diri. Bagi pelajar, hal ini sangat penting karena masa remaja kerap diwarnai oleh tekanan sosial dan rasa tidak percaya diri. Kebersamaan dalam tim memberikan rasa aman dan dukungan yang dibutuhkan untuk tumbuh secara emosional.

Seperti menyatukan Indonesia lewat bola. Di negara yang penuh keragaman seperti Indonesia, futsal bisa menjadi jembatan persatuan yang nyata. Ukuran lapangan futsal yang kecil, berukuran 25×15 meter menjadi ruang pertemuan di mana budaya, bahasa, dan kebiasaan dari berbagai daerah bisa berbaur secara damai dan produktif. Tak berlebihan jika menyebut futsal sebagai gambaran nyata dari semangat kebhinekaan yang bergerak aktif.

Turnamen nasional seperti ANC 2025 yang digagas oleh AXIS, menjadi wadah ideal untuk memperkuat semangat tersebut. Tak hanya melalui sistem pertandingan yang adil, tapi juga dengan memberi ruang bagi inklusi yang lebih luas, misalnya melibatkan siswa difabel, memberi kesempatan kepada wasit perempuan, atau menghadirkan sesi pertukaran budaya antar daerah sebelum pertandingan dimulai.

Futsal bukan hanya tentang menang atau kalah, bukan pula soal teknik atau taktik semata. Futsal adalah ruang tempat anak-anak muda belajar menghapus batas, menerima perbedaan, dan membangun semangat kolektif. Di tengah dunia yang penuh tantangan sosial, futsal menawarkan harapan dimana kebersamaan masih bisa ditemukan, bahkan di lapangan kecil yang dibatasi garis putih.

Dengan semangat tersebut, “Dari Beragam Latar Jadi Satu Tim” bukan hanya sekadar slogan, tetapi kenyataan yang hidup di setiap pertandingan futsal. Karena ketika bola mulai mengalir, yang tersisa hanyalah satu tujuan yakni untuk bermain bersama, bertumbuh bersama.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak