Erick Thohir, dan Masa Kelam Inter Milan yang Hantui Timnas Indonesia

Sekar Anindyah Lamase | Rana Fayola R.
Erick Thohir, dan Masa Kelam Inter Milan yang Hantui Timnas Indonesia
Ketua Umum PSSI, Erick Thohir. (Instagram/erickthohir)

Selama kariernya sebagai pengelola klub sepak bola maupun federasi nasional, Erick Thohir tidak lepas dari sorotan publik. Beberapa catatan jejak kelam selama masa kepemimpinannya di Inter Milan antara 2013 hingga 2018 kembali mencuat ke permukaan, terutama setelah Timnas Indonesia U-23 tersingkir di babak kualifikasi Piala Asia U-23 2026.

Kegagalan ini menjadi momen reflektif bagi publik sepak bola Tanah Air yang melihat adanya pola kegagalan yang mirip antara dua masa kepemimpinan Erick tersebut. Di Inter Milan, pria yang juga menjabat sebagai Ketua Dikenal dikenal sebagai sosok yang ambisius.

Namun, sederet keputusan kontroversial membuat masa jabatannya di klub raksasa Italia itu dinilai kurang sukses. Salah satu momen yang paling disorot adalah pemecatan Roberto Mancini secara tiba-tiba jelang musim baru. Ironisnya, Mancini kemudian justru membawa Timnas Italia menjadi juara Euro 2020, sebuah pencapaian yang mempermalukan keputusan masa lalu Erick.

Kesalahan tidak berhenti sampai di situ. Pilihan untuk menunjuk Frank de Boer sebagai pelatih pengganti justru memperburuk keadaan. Frank de Boer hanya mampu bertahan selama 14 pertandingan sebelum dipecat, meninggalkan catatan minor yang menjadi bahan olok-olok media olahraga Eropa saat itu.

Kekacauan internal juga menjadi bagian dari kisah Erick di Inter. Ia beberapa kali tertangkap kamera tertidur saat pertandingan penting berlangsung, sebuah citra yang menimbulkan pertanyaan besar mengenai komitmen dan kepemimpinannya sebagai presiden klub.

Tak hanya soal perilaku, pemahaman Erick terhadap sejarah klub juga menuai kritik. Pernah dalam sebuah wawancara, ia menyebut “Trio Belanda” sebagai bagian dari sejarah Inter Milan, padahal julukan tersebut sejatinya milik rival sekota, AC Milan. Kesalahan ini dianggap fatal dan menunjukkan kurangnya keterlibatan emosional dan wawasan sejarah terhadap klub yang ia pimpin.

Di sisi lain, meski sempat memperbaiki aspek keuangan dan manajemen internal klub, masa kepemimpinan Erick justru diwarnai dengan kemunduran prestasi. Inter Milan mengalami kekeringan trofi dan nilai saham klub pun merosot. Tak heran jika sebagian kalangan menyebutnya sebagai "presiden boneka" karena banyaknya keputusan yang dinilai tidak independen.

Kritik atas masa lalunya kembali mencuat ke publik setelah kegagalan Timnas Indonesia U-23 di ajang kualifikasi Piala Asia U-23 2026. Kekalahan tipis 0-1 dari Korea Selatan bukan hanya berarti kegagalan lolos, tapi juga pemantik perbandingan masa lalu dengan Inter Milan. Banyak yang menilai Erick kembali mengulang kesalahan-kesalahan serupa, meskipun dalam konteks yang berbeda.

Erick Thohir sendiri menanggapi kegagalan ini dengan menyebut bahwa tim telah menunjukkan kerja keras dan menyebut kekalahan sebagai "kekalahan terhormat". Namun pernyataan ini justru mengundang kritik, karena dianggap tidak mengindikasikan adanya evaluasi mendalam dan akuntabilitas atas hasil yang mengecewakan tersebut.

Ia kemudian menyerahkan evaluasi menyeluruh kepada Direktur Teknik PSSI, Alexander Zwiers, untuk meninjau aspek persiapan dan kualifikasi. Erick juga mengklaim telah membahas pembinaan jangka panjang dengan Komite Eksekutif PSSI, namun belum ada detail konkret yang disampaikan ke publik.

Pola Berulang, Timnas Indonesia Berpotensi Senasib dengan Inter Milan?

Melihat dua momen penting ini, publik mulai mempertanyakan apakah Erick Thohir sedang mengulangi pola kegagalan yang sama. Di Inter Milan, kegagalan diawali dengan keputusan-keputusan teknis yang salah dan berujung pada runtuhnya performa tim. Kini, dengan Timnas Indonesia, ada kekhawatiran bahwa langkah-langkah strategis yang diambil juga tidak cukup kuat untuk menjawab tantangan.

Walaupun konteks klub dan tim nasional berbeda, banyak pihak menyoroti bahwa gaya kepemimpinan Erick yang cenderung simbolik dan kurang teknokratis, justru berpotensi kembali membawa Timnas Indonesia pada era stagnasi jika tidak segera dikoreksi.

Perbandingan ini mungkin dianggap tidak sepenuhnya adil. Namun dalam dunia sepak bola, hasil tetap menjadi tolok ukur utama. Apalagi jika kegagalan yang terjadi sekarang sangat mengingatkan pada kegagalan masa lalu yang sudah pernah jadi pelajaran.

Erick Thohir, meskipun dikenal sebagai tokoh yang aktif membenahi sistem, tetap dinilai belum mampu membawa hasil konkret yang memuaskan dalam hal prestasi. Janji-janji pembenahan, strategi jangka panjang, dan evaluasi teknis harus segera dikonkretkan agar tidak mengulangi "jejak kelam" yang dulu mencoreng namanya di Inter Milan.

Tak sedikit pengamat sepak bola yang menilai bahwa saat ini adalah waktu krusial bagi Erick dan PSSI untuk menunjukkan arah baru yang jelas. Jika tidak, kekhawatiran publik bahwa Timnas Indonesia akan mengalami nasib serupa dengan Inter Milan di era Thohir bisa saja jadi kenyataan.

Langkah-langkah perbaikan harus dilakukan secara menyeluruh dan terukur, bukan hanya dengan komunikasi di media, tetapi dengan tindakan nyata yang menyentuh akar masalah sepak bola nasional: pembinaan, kompetisi, dan kualitas pelatih.

Erick mungkin memiliki niat baik, tetapi niat saja tidak cukup. Dunia sepak bola membutuhkan pemimpin yang bukan hanya berani, tapi juga paham strategi, sejarah, dan kebutuhan teknis di lapangan. Jika tidak, nama besar yang ia miliki hanya akan menjadi beban, bukan solusi.

CEK BERITA DAN ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak