Covid-19 belum usai, kebakaran hutan dan lahan (karhutla) telah mengintai. Keduanya mengancam paru-paru dan keselamatan umat manusia. Asap lintas batas (transboundary haze) akibat karhutla didokumentasikan pertama kali pada bulan Oktober 1972, seperti dilansir dari The Strait Times. Empat dekade bencana asap terjadi hampir setiap tahunnya, apakah karhutla akan kembali terulang di masa pandemi ini?
Karhutla Memperparah Covid-19
Setidaknya ada lima kaitan antara Covid-19 dan karhutla, serta mengapa Indonesia perlu bertindak sekarang untuk mencegah “festival asap” berulang di tahun pandemi. Saya menyingkatnya menjadi 5S.
Pertama, susceptibility atau kerentanan tertular virus. Ciencewicki dan Jasper (2007) menunjukkan bahwa paparan terhadap polusi udara dapat melemahkan imunitas tubuh terhadap infeksi virus pada saluran pernapasan. Makrofag, salah satu jenis sel imun tubuh manusia yang berfungsi melawan virus dengan cara “melahapnya” (fagositosis), terbukti menurun fungsinya akibat paparan polusi. Dengan melemahkan sistem imun manusia, asap karhutla berpotensi meningkatkan kerentanan seseorang tertular Covid-19.
Kedua, severity atau keparahan penyakit. Asap karhutla mengandung partikel kecil kurang dari 2.5 mikrometer (PM2.5) yang beracun bagi paru-paru dan tubuh manusia. Paparan PM2.5 meningkatkan kondisi peradangan pada paru-paru (Qing et al, 2019). Untuk mengatasi peradangan pada saluran pernapasan, reseptor angiotensin-converting enzyme 2 (ACE2)—penghasil enzim anti-inflamasi—jumlahnya meningkat.
Sedangkan, reseptor ACE2 inilah “pintu masuk” bagi virus SARS-CoV-2 penyebab Covid-19 berikatan pada sel tubuh manusia. Semakin banyak ACE2, semakin banyak virus yang dapat berikatan pada sel tubuh, maka bisa semakin parah penyakitnya. Melalui mekanisme inilah diperkirakan asap karhutla dapat memperparah kesakitan akibat Covid-19 (Comunian et al, 2020).
Di samping itu, asap karhutla juga berkaitan erat dengan penyakit-penyakit pada organ pernapasan, jantung dan pembuluh darah, serta peradangan sistemik (State of Global Air, 2019)—yang mana seluruhnya adalah komorbid dari Covid-19 itu sendiri. Artinya, jika kedua kondisi—Covid-19 dan karhutla—terjadi bersamaan, dampak kesakitannya bisa lebih parah. Bahkan, studi Wu, Nethery, et al (2020) menunjukkan bahwa peningkatan polusi PM2.5 sebesar 1 µg/m3 berasosiasi dengan 8% peningkatan kematian akibat Covid-19.
Ketiga, systems atau beban pada sistem kesehatan. Secara terpisah, baik Covid-19 maupun karhutla, meningkatkan kunjungan pasien di rumah sakit secara signifikan (Black et al, 2017). Jika keduanya datang bersamaan di tahun pandemi ini, maka kapasitas rumah sakit di Indonesia, khususnya di banyak daerah yang jumlah tempat tidurnya di bawah standar WHO, bisa jadi tak sanggup menampung lonjakan pasien yang datang. Ketika sistem kesehatan membludak, maka pasien-pasien berpotensi tidak tertangani dengan baik atau bahkan tidak tertangani sama sekali. Kondisi ini dapat berujung pada kelebihan kematian (excess deaths) pada kasus Covid-19 maupun non-Covid-19.
Keempat, spread atau penularan virus. PM2.5—yang dikandung oleh asap karhutla—dapat berfungsi sebagai “kendaraan” bagi banyak jenis virus, sehingga tersebar dan terhirup oleh manusia (Comunian et al, 2020). Jika transmisi Covid-19 juga dipengaruhi tingkat polusi, yang mana masih diteliti hingga saat ini, maka karhutla pun berpotensi meningkatkan penularan di daerah yang banyak terpapar asap.
Di samping itu, api dan asap juga memaksa banyak orang untuk mengungsi, seperti halnya ratusan pengungsi karhutla di Indonesia tahun lalu (CNN, 2019). Sarana pengungsian akibat karhutla umumnya menggunakan ruangan tertutup dan ber-AC agar asap dari luar tidak masuk ke dalam ruangan. Hal ini bertolak belakang dengan protokol pencegahan Covid-19, karena kondisi ramai-ramai di ruangan tertutup dan ber-AC justru adalah kondisi “ideal” terjadinya penyebaran super (super spreading event) pada Covid-19. Ini akan mempersulit penanganan bencana jika keduanya terjadi bersamaan.
Terakhir, self-legitimacy, yaitu pemenuhan komitmen Indonesia kepada negara-negara tetangga. Tidak hanya di Indonesia, karhutla menyebabkan masalah asap lintas batas yang berdampak pada sedikitnya 6 negara di Asia Tenggara.
Sejak karhutla terbesar tahun 2015 di Sumatera dan Kalimantan, Indonesia bersepakat dengan negara-negara ASEAN dan berkomitmen mewujudkan “ASEAN Bebas Asap 2020”, yang dituangkan dalam Roadmap on ASEAN Cooperation Towards Transboundary Haze Control with Means of Implementation pada tahun 2016. Secara berturut-turut, Indonesia juga berjanji bebas asap pada tahun 2017, serta Asian Games bebas asap tahun 2018. Kini di tahun pandemi, seiring negara-negara berwaspada dalam membuka ekonominya kembali, maka semakin besar tanggung jawab Indonesia untuk memenuhi komitmennya mencegah asap karhutla berulang, agar tidak memperparah situasi Covid-19 di ASEAN.
Menuju Better Normal
Memasuki bulan Agustus 2020, 65% wilayah di Indonesia tengah mengalami puncak musim kemarau, seperti dilansir dari siaran pers Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) pada Jumat (31/7/2020). BMKG menghimbau para pemerintah daerah, pengambil keputusan, serta masyarakat luas untuk bersiap mengantisipasi dampak kemarau, termasuk kebakaran hutan dan lahan, kekeringan, dan ketersediaan air bersih. Kini setidaknya lima provinsi telah menetapkan status siaga darurat karhutla, antara lain Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Riau, Jambi, dan Sumatera Selatan, hingga bulan September dan Oktober 2020 mendatang.
Siti Nurbaya Bakar, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, juga menyatakan kegelisahannya akan potensi bencana ganda Covid-19 dan karhutla. "Covid-19 dan karhutla tidak boleh terjadi secara bersamaan, saya sangat takut akan hal itu," katanya pada Jumat (17/7). Siti memperingatkan bahwa Indonesia perlu ekstra waspada akan potensi karhutla paling tidak hingga bulan November, dikarenakan mundurnya musim kemarau dari prediksi awal.
Pandemi memberikan kita kesempatan memasuki new normal. Jangan lagi jadikan karhutla bagian dari kehidupan normal kita, apa lagi di masa pandemi Covid-19. Mari bersama-sama menjadikan new normal ini sebagai suatu kesempatan berubah dan berupaya secara kolektif menuju better normal atau kenormalan yang lebih baik, yaitu Indonesia tanpa asap. Lindungi paru-paru dunia, demi paru-paru kita. Cegah karhutla sekarang.
Oleh: Monica Nirmala, drg, MPH
Penulis adalah alumni Harvard University, cendekia Fulbright, dan senior public health adviser di Yayasan Alam Sehat Lestari (ASRI), Kalimantan Barat.