Setiap musim hujan, Jakarta seperti punya janji temu dengan genangan. Bukan cuma genangan air, tapi juga genangan wacana: dari ide pengangkatan gubernur berbasis kemampuan berenang, sampai ide memindahkan ibu kota karena banjir dianggap kutukan geografis. Namun seperti cinta lama yang tak bisa move on, banjir selalu datang kembali—setia, penuh dedikasi, dan entah kenapa, makin dalam.
Pekan lalu, sebuah pertemuan yang tampak menjanjikan terjadi. Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol bertemu dua gubernur yang masing-masing punya peran penting dalam teka-teki banjir Jakarta, yaitu Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung dan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi. Topik utamanya adalah solusi jangka panjang. Tapi, seperti biasa, pertanyaannya adalah, "akankah ini menjadi langkah strategis atau hanya selfie politis di antara lumpur?"
Mari kita bedah persoalan ini. Sebab untuk mengeringkan Jakarta, mungkin kita perlu menyiram logika dulu.
Di Meja Pertemuan, Hulu dan Hilir Bertatap Muka
Pertemuan strategis antara Menteri Lingkungan dan dua gubernur ini patut diapresiasi. Di negeri yang kadang lebih suka debat dibanding kolaborasi, duduk bersama saja sudah bisa dianggap revolusioner. Apalagi yang dibicarakan bukan soal seremoni pengaspalan jalan, tapi masa depan 11 juta jiwa yang setiap tahun bertaruh antara tergenang atau selamat.
Dalam pertemuan itu, disepakati rehabilitasi kawasan hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung seluas 7.000 hektare di Puncak, Bogor. Ini bukan wacana ecek-ecek. Sebab selama ini, hulu Ciliwung dibiarkan seperti playlist lagu sedih: makin lama makin menyayat, makin deras, makin menyakitkan.
Menurut riset Wang et al. (2025), solusi berbasis alam seperti restorasi meander sungai dan reforestasi lebih efektif mencegah kerusakan DAS dibanding pengerukan di hilir. Tapi ironisnya, yang sering dapat spotlight justru proyek-proyek di hilir yang bisa dipotret drone dan diunggah ke Instagram.
Jadi, saat tiga pemimpin daerah duduk satu meja dan bilang: “Yuk, kita benahi hulu!”, itu seperti mendengar trio Koes Plus sepakat bikin album baru—menggembirakan, tapi tetap butuh pembuktian lebih dari niat baik semata.
APBD Jakarta, Kas Bon Demi Ciliwung
Yang menarik dari kesepakatan ini adalah penggunaan APBD DKI Jakarta untuk membiayai rehabilitasi hulu di Bogor. Langkah ini terkesan tidak lazim, seperti kalau anak kost harus bayar cicilan rumah orang tuanya.
Namun secara logika, ini justru contoh solidaritas spasial yang cerdas. Jakarta memang korban, tapi hulu adalah penyebabnya. Dan jika korban mau bantu “terapi” si penyebab, ini semestinya jadi model baru kolaborasi antardaerah.
Sayangnya, langkah ini juga membuka peluang kritik: apakah Jakarta tidak sedang mengalihkan tanggung jawab pusat ke daerah? Atau lebih ekstrem: apakah Jakarta membayar agar wilayah tetangganya lebih “sopan” saat musim hujan tiba?
Ada aroma diplomasi darurat di sini. Tapi tak bisa dimungkiri, pendekatan ini jauh lebih bernapas dibanding pengulangan proyek pengerukan yang secara ekologis mirip diet instan—cepat turun (airnya), tapi bikin sistemik rusak (ekosistemnya).
Qi et al. (2025) menunjukkan bahwa investasi pada infrastruktur hulu seperti reservoir dan saluran pengalihan banjir lebih efektif mengurangi volume banjir di hilir. Jadi jika APBD Jakarta digunakan untuk mengobati hulu, kita mungkin sedang menyaksikan transformasi: dari anggaran berbasis ego sektoral menuju logika ekologis lintas wilayah.
Hilir Dulu, Kata sang Gubernur Kota
Namun sayangnya, narasi "utamakan hulu" belum sepenuhnya diamini oleh Gubernur DKI Jakarta. Pramono Anung, politisi berpengalaman sekaligus ahli tata kelola opini publik, memilih tetap fokus pada hilir. Bagi Pramono, pengerukan Kali Cakung dan perawatan kanal kota masih jadi prioritas. Katanya, ini respons cepat. Respons cerdas. Respons fotogenik?
Kalau boleh satir, pendekatan “hilir dulu” ini seperti orang yang membasuh lantai basah tapi membiarkan kran di atas bocor. Memang bisa mengeringkan sebentar, tapi ya tetap banjir juga esok lusa.
Shih & Lee (2024) sudah memperingatkan bahwa pengerukan sungai hanya berdampak jangka pendek dan cenderung merusak ekosistem jika dilakukan berlebihan. Tapi barangkali, proyek ini tetap digemari karena mudah ditenderkan, gampang dilihat hasilnya (walau tak lama), dan pastinya hal itu bisa jadi panggung kebijakan.
Apakah Pramono pragmatis atau sekadar populis? Entahlah. Tapi kalau kita terus memprioritaskan hilir, itu seperti menyemprot parfum ke got yang mampet—lebih wangi, tapi tetap bau.
Banjir Itu Komplikasi, Bukan Cuma Debit Air
Gubernur Pramono dengan jujur mengakui bahwa banjir Jakarta disebabkan oleh tiga sumber utama: banjir kiriman dari hulu, curah hujan tinggi lokal, dan rob dari laut utara. Ini pengakuan yang fair. Tapi seperti diagnosis dokter tanpa resep, pernyataan ini belum banyak membantu jika tidak diikuti resep konkret.
Kalau kita sepakat bahwa banjir adalah penyakit komplikasi, maka mengobatinya dengan satu jenis intervensi adalah salah resep. Pompa air yang dioperasikan 100% oleh Dinas SDA mungkin bisa meredakan genangan, tapi tidak menyelesaikan akar masalah.
Model pemodelan hidrologi terbaru bahkan menunjukkan bahwa intervensi alam seperti restorasi DAS dan perbaikan profil tanah jauh lebih jangka panjang (Wang et al., 2025). Tapi upaya-upaya ini kurang seksi untuk media dan politisi. Tak bisa dijepret oleh New York Times, tak menarik buat TikTok.
Sementara itu, Jakarta terus menenggelamkan akal sehat di antara betonisasi, proyek raksasa, dan musim hujan yang datang tanpa konfirmasi.
Hulu dan Hilir, Dua Titik Buta dalam Satu Cerita
Jakarta adalah kota yang selalu ingin solusi cepat. Tapi banjir tidak bisa diselesaikan dengan mental gojek—pesan, datang, selesai. Ia butuh rekayasa sosial, ekologis, dan politik yang sabar dan menyeluruh.
Mengandalkan pengerukan di hilir ibarat menyeka peluh tanpa menyentuh demam. Sementara, mengurusi hulu tanpa partisipasi masyarakat lokal juga akan berakhir jadi proyek papan nama: ada anggaran, tak ada dampak.
Kita perlu pendekatan hibrida: kerja sama antarpemerintah, investasi pada infrastruktur hijau, dan reformasi tata ruang yang bukan hanya kuat di kertas. Dan yang lebih penting: politik yang tidak hanya berlomba bikin proyek, tapi membangun ekosistem ketahanan bencana.
Kota ini tidak kekurangan ide. Tapi Jakarta selalu kekurangan komitmen yang tahan air. Saat pertemuan seperti antara Hanif, Pramono, dan Dedi muncul, kita punya secercah harapan. Tapi harapan saja tak cukup. Seperti Jakarta yang tak cukup hanya ditinggikan, tapi perlu juga ditenangkan.
Maka, pertanyaannya, "masihkah kita akan memilih jalan singkat lewat pengerukan, atau mulai membenahi cerita dari hulunya?"