Laut Jawa yang dulu jadi sumber penghidupan, kini perlahan berubah jadi ancaman tersembunyi. Bukan karena gelombang besar atau cuaca ekstrem semata melainkan karena sesuatu yang tak kasat mata "mikroplastik".
Ia tak menggulung ombak tak membuat kapal karam, tapi diam-diam meresap ke jaring ikan perut biota laut dan akhirnya ke tubuh manusia. Yang terkena dampaknya paling awal adalah mereka yang tinggal paling dekat dengan laut para nelayan dan komunitas pesisir yang sejak lama menggantungkan hidup pada laut yang kian tercemar.
Dalam riset Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tahun 2023, ditemukan bahwa 89% sampel ikan konsumsi di Laut Jawa telah terkontaminasi partikel mikroplastik.
Lebih mencemaskan lagi, studi dari Universitas Diponegoro menyebut bahwa beberapa spesies tangkapan utama seperti ikan kembung, tenggiri, dan cumi-cumi mengandung mikroplastik dalam jumlah signifikan bahkan dari area tangkapan yang sehari-hari dijadikan sumber penghidupan warga pesisir Jepara, Demak, dan Tegal. Bagi nelayan, ini bukan lagi soal kualitas ikan, tapi soal keraguan konsumen yang berimbas langsung ke daya beli pasar.
Ketika ikan mulai diragukan keamanannya, harga tangkapan turun dan nelayan rugi. Beberapa dari mereka memilih tidak lagi melaut setiap hari karena hasil tak sebanding dengan biaya solar dan es.
Di sisi lain, para pengepul dan pedagang juga mulai kesulitan menjual ikan segar karena konsumen menanyakan “aman atau tidak?” Situasi ini bukan sekadar isu lingkungan, tapi sudah menjadi persoalan ekonomi dan keadilan.
Komunitas yang tidak pernah memproduksi plastik dalam jumlah besar justru harus menanggung dampak paling parah dari pola konsumsi masyarakat perkotaan.
Mikroplastik berasal dari banyak sumber limbah rumah tangga ndustri bahkan kosmetik yang mencemari sungai dan bermuara di laut. Ironisnya, kawasan pesisir yang paling miskin justru menjadi tempat akhir dari limbah masyarakat paling konsumtif.
Dan sampai hari ini, kebijakan pengendalian mikroplastik belum jadi prioritas serius. Ada program bersih-bersih pantai, tapi tidak menyentuh akar masalah. Ada edukasi ke sekolah, tapi minim intervensi terhadap sektor industri yang menyumbang polusi mikro setiap hari.
Jika masalah ini terus dibiarkan, bukan hanya ikan yang tercemar. Kepercayaan masyarakat terhadap laut sebagai sumber pangan akan runtuh.
Bukan tidak mungkin suatu hari kita mengimpor ikan dari tempat lain karena laut kita dianggap tidak layak konsumsi. Dan bagi nelayan, itu bukan sekadar kehilangan pekerjaan tapi kehilangan warisan dan jati diri yang sudah turun-temurun dijaga.
Mikroplastik mungkin kecil, tapi dampaknya sangat nyata. Partikel yang tak kasat mata itu bukan hanya mencemari perut ikan, tetapi juga menggoyang pondasi ekonomi pesisir dan kepercayaan masyarakat terhadap laut sebagai ruang hidup.
Jika negara benar-benar menganggap laut sebagai masa depan bangsa, maka perlindungannya tidak cukup berhenti pada seremoni bersih pantai atau jargon kampanye lingkungan.
Laut bukan panggung politik. Ia adalah ruang hidup yang menopang jutaan jiwa yang tak pernah bersuara lantang nelayan kecil, ibu-ibu pengolah ikan, pedagang di pasar tradisional yang kini harus menanggung beban dari konsumsi berlebihan dan pengelolaan limbah yang tak tuntas.
Sudah waktunya kebijakan perlindungan laut menyentuh aspek yang paling konkret dan paling dekat dengan warga pesisir. Perlindungan tidak boleh hanya menyasar kapal pencari ikan ilegal atau eksploitasi besar-besaran oleh kapal asing, tetapi juga harus menyasar aktivitas daratan yang pelan-pelan meracuni laut.
Industri plastik yang tak diatur dengan ketat sistem pengelolaan sampah kota yang bocor hingga perusahaan kosmetik yang masih menggunakan mikrobeads. Tanpa mengatasi akar masalah ini, maka membersihkan laut hanyalah seperti menyapu air di lantai yang terus bocor.
Nelayan kecil, yang sehari-hari turun ke laut tanpa sonar tanpa radar dan tanpa pelindung dari polusi, kini berada dalam ancaman paling nyata. Hasil tangkapan mereka tidak hanya berkurang secara jumlah, tapi juga secara kualitas. Konsumen mulai ragu. Anak muda di kampung nelayan mulai enggan melanjutkan profesi orang tuanya.
Perlahan, laut kehilangan generasi pelindungnya. Dan ketika profesi ini ditinggalkan yang menggantikannya bisa jadi bukan manusia, tapi mesin-mesin industri ekstraktif yang lebih mementingkan untung daripada keseimbangan ekosistem.
Menjaga laut bukan soal proyek, tapi soal keberpihakan. Jika negara tidak berdiri di sisi yang paling kecil paling sunyi dan paling dekat dengan laut, maka yang akan kita wariskan bukan laut yang bersih tapi laut yang kosong kosong dari ikan, kosong dari nelayan, dan kosong dari harapan.