Menelisik Rintangan Penyandang Disabilitas untuk Menjadi Abdi Negara

Tri Apriyani | Zidan Adiwidyat
Menelisik Rintangan Penyandang Disabilitas untuk Menjadi Abdi Negara
Drg. Romi Syofpa Ismael (tengah) didampingi anggota Komisi VIII DPR Rieke Diah Pitaloka (kiri) berbincang dengan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo di Jakarta, Rabu (31/7/2019). ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/aww.

Hak untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak merupakan salah satu hak asasi manusia. Sebagaimana hakikat dari hak asasi manusia adalah hak yang dimiliki oleh manusia karena semata-mata ia manusia dan bukan pemberian dari masyarakat (Smith et al., 2008).

Hak ini bersifat universal atau tidak memandang suku, agama, ras, dan tidak terkecuali penyandang disabilitas. Isu pemenuhan hak untuk penyandang disabilitas di Indonesia terus berkembang. Indonesia sebagai negara hukum mengatur hak asasi manusia, termasuk hak penyandang disabilitas dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia dalam pasal 27 hingga pasal 34.

Selain itu, Indonesia juga memperkuat peraturan dalam upaya melindungi penyandang disabilitas melalui Undang-Undang No.11 Tahun 2011 tentang Ratifikasi Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas dan Undang-Undang No.8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas (Wahyuni, 2019).

Serangkaian penguatan tersebut memberikan kesempatan bagi penyandang disabilitas untuk memasuki dunia kerja dengan lebih aman dan jelas, baik di sektor privat dan publik. Dalam konteks sektor publik, terdapat beberapa cerita sukses seperti Dian seorang ASN di Kementerian Sosial yang memperoleh peringkat ketiga dalam ajang penghargaan ‘ASN Inspiratif’ pada tahun 2020 lalu (Nashrullah, 2020).

Terlepas dari keterbatasan yang dimiliki Dian, beliau mampu menunjukkan kapabilitas dan pengaruh baik dalam bekarya di bidangnya. Meskipun demikian, pada kenyataannya masih banyak sikap diskriminasi yang dihadapi oleh pekerja dan calon pekerja dengan kondisi difabel (Kustini & Dianti, 2020).

Belakangan ini terjadi beberapa kasus diskriminasi terhadap pekerja difabel seperti kasus Alde Maulana dan drg.Romi. Prosesi pelantikan kedua calon ASN tersebut dibatalkan oleh instansi pemerintah masing-masing dengan alasan ‘tidak sehat jasmani’ meskipun sudah lulus tahap seleksi (BBC Indonesia, 2019; Kampai, 2020).

Melihat dua kejadian yang kontraproduktif tersebut, perlu dibahas mengenai tantangan dalam upaya pemenuhan hak untuk bekerja bagi penyandang disabilitas khususnya di sektor publik.

Penerapannya di Lapangan

Indonesia secara hukum dan perkembangan sudah menunjukkan potensi yang baik, namun sejauh ini pada kenyataannya diskriminasi dalam dunia kerja masih terjadi. Dampaknya adalah mayoritas penyandang disabilitas hidup berada dibawah garis kemiskinan (Cahyono, 2017). Permasalahan ini berangkat dari stigma yang diberikan masyarakat kepada penyandang disabilitas.

Banyak pihak yang salah menafsirkan definisi disabilitas. Menurut UU No.19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Convention on The Right of Person with Disabilities, disabilitas adalah orang yang memiliki keterbatasan fisik, mental, intelektual, atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dan sikap masyarakatnya dapat menemui hambatan yang menyulitkan untuk berpartisipasi penuh adan efektif berdasarkan permasaan hak.

Bukan berarti penyandang disabilitas tidak bisa mengerjakan apapun. Ada jenis pekerjaan tertentu yang memang mereka tidak dapat lakukan, namun masih banyak juga jenis pekerjaan yang cocok untuk dilakukan oleh mereka.

Anggapan ini berangkat dari paradigma ableism yang masih lazim di masyarakat Indonesia. Ableism merujuk pada tindakan diskriminatif seperti pemberian komentar negatif, pelecehan, isolasi sosial, hingga kebijakan yang bersifat mengucilkan kepada penyandang disabilitas dengan harapan untuk membatasi potensinya (Yusainy et al., 2016).

Paradigma ini merusak sistem merit yang diterapkan di tempat kerja sebagaimana yang dimanatkan dalam Undang-Undang No.5 Tahun 2014 tentang ASN.

Berdasarkan penelitan Hwa dalam Wahyuni (2019), bahwa penyandang disabilitas mengalami kendala dalam proses promosi dan peningkatan upah kerja karena kondisi fisik mereka. Penilaian yang seharusnya objektif berubah menjadi subjektif (Wahyuni, 2019).

Yusainy et al dalam penelitiannya terkait stigma terhadap penyandang disabilitas di suatu universitas di Indonesia menunjukkan bahwa individu mengasosiasikan penyandang disabilitas dengan atribut negatif. Atribut negative mengacu kepada stereotip yang sering diberikan kepada penyandang disabilitas, meskipun tidak konsisten pada perilaku diskriminatif (Yusainy et al., 2016). Kondisi ini yang membatasi penyandang disabilitas untuk melakukan mobilisasi sosial melalui pekerjaan.

Kendala selanjutnya adalah belum menyeluruhnya penerapan peraturan perundang-undangan terkait penyandang disabilitas seperti UU No.8 Tahun 2016. Hal ini terlihat dari banyak sekali organisasi, seperti BUMN ataupun BUMD yang mengeluarkan iklan pekerjaan yang bersifat diskriminatif. Dalam mayoritas kriteria dan persyaratan yang tertera dalam lowongan kerja adalah ‘sehat jasmani dan rohani’.

Terkadang kriteria ini menjadi penentu utama hasil perekrutan individu, yang mana penyandang disabilitas diposisikan lebih rendah dibandingkan kandidat yang lain. Bias ini mempersempit ruang bagi penyandang disabilitas dengan kompetensi tertentu untuk berkarya sebagai ASN atau sebagai pegawai BUMN/BUMD (Aji & Haryani, 2017).

Terlepas dari adanya arah perubahan serentak di sektor publik ke arah angkatan kerja yang beragam, namun dalam proses perekrutan masih dipenuhi dengan bias serta penerimaan penyandang disabilitas hanya terkesan sebagai formalitas.

Permasalahan ini dapat berangkat dari lemahnya pengawasan terhadap penerapan UU No.8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas mengingat belum ada instansi resmi dan bertanggung jawab penuh untuk mengawasi serta mengevaluasi payung hukum tersebut. Ini terlihat dari kasus pembatalan pengangkatan beberapa calon ASN penyandang disabilitas.

Alde Maulana merupakan calon ASN BPK RI perwakilan Sumatera Barat yang hak untuk bekerjanya hilang ketika pengangkatannya dibatalkan. Alde Maulana lolos disetiap tahapan dari administrasi hingga kesehatan, bahkan sudah mengikuti diklat. Namun, BPK RI membatalkan pengangkatan dengan alasan ‘tidak sehat’ (Kampai, 2020).

Hal serupa dialami oleh drg.Romi yang pengangkatannya dibatalkan dengan alasan yang sama meskipun sudah lulus secara administrasi dan tes (BBC Indonesia, 2019). Kedua kasus diatas menunjukkan bahwa pelaksanaan jalur khusus penyandang disabilitas masih rentan akan diskriminasi. Permasalahan sistemik ini perlu diperhatikan dengan seksama dan kehadiran lembaga pengawas yang tegas sangat diperlukan.

Sejauh ini, upaya pemerintah dalam pemenuhan hak penyandang disabilitas belum mencapai tingkatan maksimal. Stigma negatif masih melekat di penyandang disabilitas yang menghambat proses pencarian serta promosi dalam dunia kerja. Banyak dari pemberi kerja merasa penyandang disabilitas tidak memiliki komptensi untuk bekerja dengan baik. Selain itu, infrastruktur di instansi/lembaga pemerintah masih belum ramah terhadap ASN dengan disabilitas sehingga rasa inklusifitas belum tumbuh.

Solusi

Berdasarkan peluang dan tantangan dijelaskan sebelumnya, perlu dilakukan sosialisasi yang menyeluruh kepada masyarakat terkait pentingnya pemenuhan hak penyandang disabilitas sesuai Undang-Undang No.8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas Sosialisasi diharapkan dapat membangun kesadaran di masyarakat terkait urgensi kesetaraan kesempatan dan hak penyandang disabilitas di Indonesia.

Berikutnya Komisi Nasional Disabilitas diharapkan dapat segera terealisasikan supaya terdapat badan independen dan legitimate yang dapat menjadi aktor utama dalam pengawasan kesetaraan hak dan kesempatan penyandang disabilitas, terutama di dunia kerja.

Berkaitan dengan Komnas Disabilitas, proses analisis jabatan yang dilakukan oleh instansi, atau lembaga negara, atau BUMN/BUMD dapat didiskusikan bersama supaya mengakomodir penyandang disabilitas. Terakhir, pembangunan infrastruktur khusus penyandang disabilitas, baik ditempat umum maupun tempat kerja harus dilaksanakan guna menumbuhkan inklusifitas dalam masyarakat.

  • Aji, A. L. D., & Haryani, T. N. (2017). Diversitas dalam Dunia Kerja: Peluang dan Tantangan bagi Disabilitas. Spirit Publik: Jurnal Administrasi Publik, 12(2), 83. https://doi.org/10.20961/sp.v12i2.16246
  • BBC Indonesia. (2019). Dokter gigi Romi, CPNS difabel yang kelulusannya dibatalkan: “Saya mampu bersaing dengan peserta umum.” BBC Indonesia. https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-49150443
  • Cahyono, S. A. . (2017). Penyandang disabilitas: menelisik layanan rehabilitasi sosial difabel pada keluarga miskin. Media Informasi Penelitian Kesejahteraan Sosial, 41(3), 239–254.
  • Kampai, J. (2020). Alde Maulana Disabilitas yang Gagal Jadi PNS BPK Ngadu ke Pemprov Sumbar. Detik.Com. https://news.detik.com/berita/d-5103689/alde-maulana-disabilitas-yang-gagal-jadi-pns-bpk-ngadu-ke-pemprov-sumbar
  • Kustini, E., & Dianti, R. (2020). Pemenuhan Hak Aparatur Sipil Negara (ASN) Penyandang Disabilitas di Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. JIMF (Jurnal Ilmiah Manajemen …, 4(1), 24–36. https://www.openjournal.unpam.ac.id/index.php/FRKM/article/view/7420
  • Nashrullah, N. (2020). Keterbatasan tak Halangi Dian, ASN Kemensos Ini Berprestasi. Republika. https://republika.co.id/berita/nasional/umum/qlbx7f320/keterbatasan-tak-halangi-dian-asn-kemensos-ini-berprestasi
  • Smith, R. K. ., Hostmaelingen, N., Ranheim, C., Arinanto, S., & Falaakh, F. (2008). Hukum Hak Asasi Manusia (HAM) (K. D. Asplund, S. Marzuki, & E. Riyadi (eds.)). PUSHAM UII.
  • Wahyuni, D. (2019). Peluang dan tantangan penyandang disabilitas di dunia kerja. Bidang Kesejahteraan Sosial Info Singkat, XI(23).
  • Yusainy, C. Al, Thohari, S., & Gustomy, R. (2016). Stop Ableism: Reduksi stigma kepada penyandang disabilitas melalui intervensi bias implisit. Jurnal Psikologi, 43(1), 1. https://doi.org/10.22146/jpsi.9168

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak