Di ruang-ruang kelas perguruan tinggi hari ini, para dosen dihadapkan pada dilema klasik yang tak kunjung usai: bagaimana mengajarkan teori-teori lama yang lahir dari konteks abad ke-20 kepada generasi mahasiswa yang hidup dalam realitas abad ke-21, bahkan tengah bersiap menghadapi kompleksitas dunia kerja abad ke-22?
Sebagai akademisi, kita sering terjebak dalam romantisme sejarah keilmuan. Kita ajarkan teori-teori besar seperti behaviorisme dari Watson, teori belajar sosial dari Bandura, teori kognitif Piaget, atau teori konstruktivisme Vygotsky dengan penuh kebanggaan atas warisan intelektual tersebut. Namun, pertanyaan kritis yang harus kita ajukan adalah: apakah mahasiswa memahami relevansinya untuk konteks kerja dan kehidupan masa depan mereka?
Pertanyaan ini bukan sekadar provokasi intelektual. Ini adalah gugatan atas praktik pedagogik yang stagnan dan terlalu berkutat pada teks, bukan pada konteks. Sebab hari ini, dunia kerja tak hanya menuntut pengetahuan, tetapi juga kompetensi berpikir kritis, kolaborasi, fleksibilitas kognitif, dan literasi digital yang semuanya tak bisa diajarkan hanya dengan menjejali mahasiswa dengan teori tanpa pengalaman aplikatif.
Seringkali kita menyudutkan teori lama sebagai usang. Padahal, tidak ada teori yang mati, yang ada adalah teori yang ditinggalkan karena tak lagi dimaknai secara kontekstual. Ambil contoh sederhana: teori behaviorisme sering dianggap tidak relevan di tengah era kecerdasan buatan dan pembelajaran adaptif. Tapi jika kita menelaah lebih jauh, justru reinforcement learning salah satu pilar penting dalam kecerdasan buatan berakar dari prinsip-prinsip behavioristik.
Masalahnya bukan pada teorinya, melainkan pada cara kita mengajarkannya. Ketika dosen hanya mengulang slide dari tahun ke tahun, tanpa mengaitkan dengan perkembangan industri, tren global, dan realitas sosial, maka teori menjadi kerangka kosong. Dosen pun menjelma sebagai penghafal kurikulum, bukan fasilitator pemaknaan.
Sebaliknya, ketika teori digunakan sebagai alat baca terhadap fenomena kekinian misalnya menggunakan teori atribusi untuk memahami fenomena quiet quitting di dunia kerja, atau teori motivasi Maslow untuk membedah dinamika kerja remote maka teori lama pun bisa hidup kembali, bahkan lebih tajam dalam analisisnya.
Mahasiswa hari ini bukanlah wadah kosong yang menanti diisi. Mereka adalah entitas aktif yang sejak kecil sudah terbiasa mengakses informasi, membandingkan perspektif, dan menciptakan konten. Jika kita memperlakukan mereka seperti siswa era 80-an, maka kita gagal memahami siapa mereka sebenarnya.
Dunia kerja masa depan yang diwarnai oleh disrupsi digital, perubahan iklim, dan dinamika multikultural membutuhkan lulusan yang mampu berpikir lintas batas disiplin, mengelola ketidakpastian, dan membangun makna dalam ambiguitas. Keterampilan seperti design thinking, literasi data, hingga kecerdasan emosional menjadi kebutuhan yang tak bisa ditunda.
Di sinilah peran teori belajar masa lalu bisa menjelma sebagai fondasi penting, jika dan hanya jika dosen mampu menjembatani antara teori dan praktik dengan cara yang kreatif, reflektif, dan transformatif. Misalnya, alih-alih hanya menjelaskan tentang zona proksimal perkembangan (ZPD) ala Vygotsky, dosen bisa menggunakannya untuk merancang mentoring system dalam proyek lintas angkatan di kampus.
Atau, alih-alih hanya membedah tahap-tahap kognitif Piaget, dosen bisa mengajak mahasiswa mengevaluasi bagaimana tahapan perkembangan itu relevan dalam mendesain aplikasi edukasi berbasis AI yang menyesuaikan dengan usia dan kapasitas kognitif pengguna.
Dalam pengajaran teori belajar, pendekatan pasif sudah tidak relevan. Mengapa tidak mengubah ruang kelas menjadi laboratorium interaksi? Misalnya, mengajarkan teori belajar sosial bukan hanya lewat ceramah, tetapi dengan mengamati konten media sosial dan menganalisis bagaimana modeling dan reinforcement terjadi di sana.
Dosen juga bisa mengadakan Focus Group Discussion (FGD) dengan alumni dan stakeholder industri untuk membedah bagaimana teori-teori belajar yang dipelajari di bangku kuliah benar-benar diterapkan, dimodifikasi, atau bahkan ditinggalkan dalam praktik kerja nyata. Kegiatan ini bukan hanya memperkaya perspektif mahasiswa, tapi juga membuka ruang evaluasi kurikulum secara berkelanjutan.
Simulasi dan studi kasus juga bisa menjadi jembatan antara teori dan realitas kerja. Misalnya, mahasiswa diminta merancang pelatihan karyawan berbasis teori kognitif dan teori andragogi, lalu mempresentasikannya ke HR profesional. Dengan cara ini, teori tak hanya tinggal dalam jurnal dan buku, tetapi menjadi bagian dari living knowledge yang membentuk kompetensi profesional mahasiswa.
Visi besar dari pengajaran teori bukanlah untuk menciptakan penghafal ulung yang lulus dengan IPK tinggi, melainkan pembelajar sepanjang hayat (lifelong learners) yang mampu menggunakan pengetahuan sebagai alat untuk memahami, menilai, dan mengubah realitas.
Ini berarti dosen harus merancang pembelajaran yang menantang mahasiswa untuk berpikir, bertanya, berdialog, berefleksi, dan bertindak. Mahasiswa harus dilatih untuk memetakan relevansi teori dalam kasus nyata, mengkritisi asumsi dasarnya, dan bahkan mengembangkan teori baru berdasarkan temuan empiris atau praktik profesional.
Dengan kata lain, mengajarkan teori masa lalu adalah jalan untuk melatih kemampuan epistemik mahasiswa yaitu kemampuan untuk memahami bagaimana pengetahuan dikonstruksi, dibuktikan, dan digunakan. Ini adalah modal penting untuk menghadapi dunia kerja masa depan yang tidak menjanjikan stabilitas, tetapi justru menuntut kapasitas adaptif dan pembelajaran berkelanjutan.
Peran dosen dalam konteks ini tidak lagi sebagai pusat informasi, melainkan sebagai fasilitator pembelajaran, kurator pengetahuan, dan mentor transformatif. Dosen harus mampu mengelola dinamika kelas sebagai ruang sosial yang memicu rasa ingin tahu, dialog kritis, dan eksplorasi makna.
Menjadi fasilitator berarti membuka ruang untuk partisipasi aktif mahasiswa dalam membangun makna terhadap teori. Menjadi kurator berarti memilih teori dan bahan ajar yang relevan dengan konteks masa kini dan masa depan. Menjadi mentor transformatif berarti mendampingi mahasiswa menemukan relevansi personal dan profesional dari setiap konsep yang dipelajari.
Tugas ini memang berat. Tapi inilah esensi profesi akademik yang sesungguhnya: bukan hanya mendidik mahasiswa untuk lulus, tetapi menyiapkan mereka untuk hidup.
Teori belajar masa lalu bukanlah artefak museum yang hanya layak dikenang. Ia adalah warisan intelektual yang masih bisa menjawab tantangan hari ini dan esok asal kita sebagai dosen mampu memaknainya dengan cara yang reflektif dan kontekstual.
Di tengah gempuran teknologi, globalisasi, dan ketidakpastian dunia kerja, peran dosen sebagai jembatan antara teori dan praktik menjadi semakin krusial. Kita harus berhenti mengajar untuk mengejar kurikulum, dan mulai mengajar untuk membentuk manusia merdeka yang mampu berpikir kritis, bertindak etis, dan berkontribusi nyata dalam kehidupan.
Karena pada akhirnya, mahasiswa tidak akan mengingat semua teori yang kita ajarkan. Tapi mereka akan mengingat bagaimana teori itu membantu mereka memahami dunia, mengenali dirinya, dan mengambil keputusan yang bermakna dalam hidup.
Dan bukankah itu inti dari pendidikan sejati?