Pandemi Covid-19 di Indonesia telah berjalan lebih dari dua tahun lamanya. Hingga sampai saat ini, pandemi tersebut belum juga minggat dan kapan berakhir umurnya bisa bertahan. Pengaruhnya pun terhadap lini kehidupan manusia, masih kita rasakan dampaknya yang luar biasa sampai sekarang ini.
Termasuk pengaruhnya terhadap dunia pendidikan yang masih menerapkan sistem belajar online. Meskipun, ada wacana bahwa sekolah dan kampus akan di buka pada semester depan, namun apabila kasus Covid-19 masih terus melonjak naik, maka tidak menutup kemungkinan pemerintah akan menunda lagi wacana itu.
Kurang lebih dua tahun menjalani sistem kuliah online, sehingga aktivitas tersebut seakan lumrah kita rasakan dan menerimanya dengan baik. Akibat sistem kuliah online, mahasiswa tentu dituntut untuk dapat belajar secara mandiri dan mempunyai inisiatif dalam mengembangkan segala potensi dan wawasannya. Karena apabila mahasiswa tidak berperilaku demikian, maka tentu bakalan sulit dalam mengahadapi kondisi yang terjadi.
Walaupun, sistem kuliah online yang sudah berjalan ini memiliki banyak keterbatasan, akan tetapi tidak ada pilihan lain selama pandemi masih bertebaran di sekitar kita. Karena masalah tersebut, bukan hanya ingin menerapkan agar laju sistem pendidikan tetap mampu tertransfer dengan baik, tetapi di sisi lain juga mesti dapat mengatasi penyebaran Covid-19 secara massif. Sehingga kadang kala dapat menjadi sebuah tindakan yang dilematis.
Tentu semua orang memiliki pengalaman dalam hal menempuh pendidikan selama pandemi Covid-19 melanda, saya pun demikian. Terutama bagi mereka yang daerahnya masih sulit menjangkau akses jaringan internet, tentu ada banyak liku-liku cerita yang mereka dapat ceritakan dan rasakan selama menjalani pembelajaran secara online.
Sedikit cerita dari saya selama menjalani perkuliahan di masa pandemi. Saya tinggal di daerah pelosok yang sulit mengakses jaringan internet, sebuah daerah pegunungan bernama desa Todang-Todang, kabupaten Polewali Mandar.
Sedangkan, letak kampus saya sebenarnya berada di kabupaten Majene. Adapun jarak antara kampus dan rumah saya berkisar sekitar 20 km saja. Iya, meskipun agak dekat sih, namun nyatanya bahwa daerah saya termasuk bagian pelosok yang sulit mengakses jaringan.
Saat menjalani perkuliahan, tentu bukan hal mudah bagi saya seperti yang dirasakan mahasiswa pada umumnya di perkotaan. Keluar dari rumah menuju bukit untuk bisa mendapatkan akses jaringan yang bagus agar dapat mengikuti perkuliahan.
Dan aktivitas seperti itulah rutin saya alami selama menjalani perkuliahan online. Mungkin ada banyak mahasiswa yang mengalami kondisi seperti saya, bahkan bisa saja mereka lebih sulit dibandingkan yang saya rasakan.
Tantangannya karena informasi kadang kala tidak cepat bisa didapatkan mengingat tidak selamanya handphone selalu terkoneksi internet. Tantangan lain juga yang mesti saya hadapi, kalau sementara kuliah namun tiba-tiba hujan turun, maka tentu harus meninggalkan perkuliahan karena tidak ada tempat berteduh, walaupun kuliahnya belum selesai.
Ya, namanya juga kuliah di kebun karena tidak bisa kalau berada di rumah. Hal seperti itu juga yang kadang kala dapat membuat saya merasa kesal karena sangat terbatas, apalagi kalau ingin ikut secara rutin pada kegiatan webinar. Ampun deh.
Kondisi belajar dari rumah tentu tidaklah sama saat di kampus. Kampus memang disediakan sebagai wadah untuk belajar, bersosialisasi dan berorganisasi untuk mengembangkan segala potensi. Akan tetapi, kalau rumah tentu tidaklah seperti demikian. Lingkungan rumah akan dihadapkan dengan suasana yang banyak pekerjaan. Baik pekerjaan di dalam rumah itu sendiri maupun pekerjaan membantu orangtua di luar rumah.
Meskipun, tidak ada paksaan untuk harus dapat bekerja dan membantu orangtua. Akan tetapi, kondisilah yang harus memaksakan untuk tidak menutup mata melihat banyaknya pekerjaan di rumah.
Hal ini lumrah terjadi, kalau selama belajar dari rumah justru waktu lebih banyak digunakan untuk membantu dan ikut bekerja bersama orangtua. Bahkan, kondisi seperti itu juga dapat rentang terjadi anak putus sekolah dan lebih memilih ikut bekerja bersama orangtuanya. Lantas, kondisinya pun semakin darurat.
Hal itu juga yang rasakan, selain kuliah saya pun harus dapat membantu pekerjaan rumah bersama orangtua. Bekerja untuk memproduksi gula merah setiap hari sebagai pekerjaan utama dan pekerjaan yang sudah lama dijalankan oleh orangtua saya. Pekerjaan tersebut sangat membutuhkan kerjasama dari anggota.
Di satu sisi, ada yang pergi ambil 'manyang' di pohon aren, ada yang ambil kayu dan ada pula yang harus memasak aren tersebut untuk kemudian diproses menjadi gula merah. Nah, aktivitas itu rutin saya lakukan selama pandemi melanda karena diharuskan berada di rumah. Bekerja produksi gula merah sambil kuliah online yang penuh perjuangan.
Pekerjaan itu menjadi tuntutan bagi saya, karena tidak mungkin juga saya tidak ikut terlibat dan hanya melihat-lihat saja orangtua bekerja secara sendirian. Apalagi saya berada di rumah, maka tentu tuntutan untuk bekerja dan membantu akan lebih tinggi di dalam diri saya sendiri.
Oleh karena itu, selama pandemi menyerang, maka pengalaman dan tantangan yang saya alami mungkin bisa dikatakan agak sulit. Pertama, harus dapat mengikuti perkuliahan dengan baik meski dalam kondisi terbatas dengan akses jaringan, di sisi lain juga harus dapat ikut dalam pembuatan gula merah membantu orangtua, ditambah dengan kondisi orangtua yang sudah tidak sehat-sehat lagi.
Maka mau tidak mau, itulah risiko hidup yang harus saya lalui dan jalani dengan penuh semangat.