Frustasi Sosial Mengental Kala Kabut Pandemi Menebal

Hernawan | Christof
Frustasi Sosial Mengental Kala Kabut Pandemi Menebal
Ilustrasi frustasi (Kat Jayne/Pexels).

Seolah tak bisa dihindari, meluasnya wabah covid-19 dibarengi dengan munculnya varian baru yang lebih ganas dan dengan capat menyebar ke segala penjuru. Ini melahirkan dampak dan efek serius yang ikut menyerang dan menginfeksi sendi hingga sel-sel terkecil kehidupan masyarakat.

Tak hanya dunia ekonomi yang semakin lesu dan tak bergairah, iklim dunia usaha dan investasi juga ikut terpukul dan tak berdaya. Sementara dunia perdagangan seolah kian tak pasti dan terpuruk, dunia pekerjaan yang makin tak produktif, hingga kondisi finansial dan daya beli masyarakat semakin menyusut.

Boleh dibilang, krisis multidimensional saat ini seolah tengah menghisap perlahan dalam kubangan penderitaan. Ujungnya akan lahir sebuah pusaran pelik efek lanjutan seperti meledaknya angka pengangguran, pemutusan hubungan kerja besar-besaran, angka kemiskinan yang makin membengkak, kelaparan, hingga ancaman krisis moneter. Ditambah lagi dengan kemungkinan meningkatnya aksi kejahatan dan krisis sosial akibat efek lanjutan yang terus menghantam.

Parahnya, kondisi ini seiring sejalan dengan merosotnya kondisi mental emosional, batiniah, dan pandangan hidup masyarakat secara luas. Hilangnya jaminan kepastian dan rasa aman, bertumpuknya rasa tertekan, stres, dan kecemasan, yang makin membuncah akibat derita yang berkepanjangan akan terus mengendap dan semakin mengental pekat.

Jika semua ini nantinya berakumulasi dan mencapai titik jenuhnya, tak mustahil keadaan akan mengerucut dan mengkristal pada sebuah kondisi yang makin remuk redam dan kelam yakni terjadinya depresi hingga frustasi sosial yang meluas.

Rasa lapar yang makin menjadi, hilangnya pemasukan dan pendapatan secara drastis, kemiskinan yang makin menghimpit, akan bermuara pada rasa frustasi dan depresi sosial yang terus menggumpal liar.

Frutasi sosial yang makin meluas ini akan mengkibatkan rasa ketidakberdayaan, keterpurukan, keputusasaan, pemikiran pesimistis, hingga hilangnya rasa percaya , semangat dan harapan untuk hidup layak dan normal.

Disertai dengan meledaknya angka penularan covid yang terjadi belakangan dan ketidakjelasan kapan akan berakhir, tentu akan semakin menenggelamkan masyarakat pada kondisi depresi dan frustasi sosial yang kian kelam dan suram.

Dikawatirkan frutasi sosial ini akan memicu rentetan persoalan lainnya seperti meningkatnya kasus kejahatan, konflik sosial yang mengemuka, meningkatnya angka bunuh diri, melesunya gairah produktifitas dan ekonomi, melesunya daya beli, hingga rasa ketidakpercayaan pada otoritas Negara yakni pemerintah dan aparatnya.   

Kini semua pihak dituntut harus bergandengan tangan untuk saling bahu membahu, memberikan sinar harapan dan dorongan kuat untuk meredakan depresi dan frustasi sosial ini.

Tak sepantasnya di situasi seperti ini semua pihak saling menyerang, saling gugat sana sini, melontarkan kritik dan berseteru yang akhirnya membuat kondisi masyarakat makin terpukul dan tergoncang.

Tentunya masyarakat sangat rindu dengan seruan seruan pembangkit asa, aksi peduli penuh kesetiakawanan, dan empatik, hingga sikap tenggang rasa maupun gotong royong yang akan menjadi hembusan angin sejuk di tengah gurun pasir yang gersang.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak