Standar Kecantikan yang Kian Menyiksa

Hernawan | Christof
Standar Kecantikan yang Kian Menyiksa
Ilustrasi standar kecantikan (cottonbro/Pexels).

Bibir tipis merona, pipi tirus berlekuk, hidung mancung, dagu sedikit tajam, kulit seputih salju, dengan rambut lurus jatuh mengkilau kini sudah menjadi gambaran ideal dan memenuhi kriteria cantik masa kini. Inipun masih disertai dengan syarat postur badan yang langsing, tubuh tinggi semampai,  dihias buah dada berisi, serta pantat yang kencang, menambah lagi deretan persyaratan predikat cantik tersebut. Seolah dengan beragam atribut fisik menawan tersebut, seorang wanita baru pantas disebut dengan sebutan “cantik”.

Seiring dengan pergeseran zaman dan perubahan gaya hidup, saat ini, tuntutan dan standarisasi kecantikan juga lambat laun semakin bergeser. Pandangan dan cara berfikir sosial masyarakat kini perlahan berubah menciptakan sebuah ekspektasi dan persona sebuah kecantikan tersendiri dari masa ke masa. Di sisi lain, ini memberikan tuntutan atau kekangan bagi wanita wanita masa kini untuk berlomba memenuhi ekspektasi yang kian tak masuk akal tersebut.

Jika ingin mengkaji lebih dalam, standar kecantikan ini memang lahir dari berbagai faktor. Di antaranya adalah berkembangnya iklim kapitalisme dan industri media massa yang tumbuh subur. Di satu sisi yang sama, ini juga dibarengi dengan kapitalisme dan industri produk kecantikan yang sama pesatnya. Bisa dilihat dari produk media saat ini seperti film, drama, majalah, tabloid, surat kabar, konten media sosial, atau sinteron yang tiap hari kita konsumsi, selalu memajang dan mengharuskan peran serta sosok wanita dengan gambaran yang sudah disebut sebelumnya.

Belum lagi deretan iklan yang tak hanya melulu produk kecantikan, namun sudah merambah iklan secara luas seperti produk bumbu masak, mi instan, sepatu, kacamata, bahkan iklan rokok sekalipun sudah tentu menggaet peran wanita dengan gambaran tersebut. Tujuannya pasti sudah tentu guna memancing dan memikat penonton untuk tetap antusias dan bertahan melihat tayangan yang disajikan.

Tren ini disambar dan digarap dengan baik oleh industri produk kecantikan dan kosmetik layaknya pemutih wajah, susu pelangsing, shampoo, bedak, gincu perona, dan setumpuk produk kosmetik lainnya yang juga berlomba menampilkan dan mengagungkan fisik seorang wanita ideal yang kini semakin menancap dalam alam kesadaran, memori, hingga merubah cara berpikir masyarakat. Belum lagi ditambah semarak kontes-kontes kecantikan, ratu, putri, atau duta di sana sini. Diperparah lagi globalisasi yang kian meluas, membuka kanal dan saluran media informasi makin menjalar serta menancapkan imajinasi wanita cantik itu ke tiap sudut.

Tentu saja lagi-lagi kalangan kapitalis lah yang mereguk keuntungan besar dari fenomena dan tren standar kecantikan bentukan ini, dengan datangnya tamu-tamu baru di salon kecantikan atau praktek spa, ramainya bisnis bedah wajah, dan operasi plastik hingga larisnya produk make up kosmetik yang terus diburu oleh kaum wanita.

Seolah mereka sedang membuat kedai produk dan jasa yang akan terus dicari dan dicari demi memuaskan sebuah hasrat yang tak berujung. Kecantikan sudah menjelma wajah menjadi komoditi dan bisnis komersial, demi menambah pundi pundi keuntungan bagi segelintir koorporasi.

Di sisi lain, muncul pergeseran pandangan dan nilai tertentu di masyarakat secara luas. Baik di kalangan muda, remaja bahkan orang tua. Tak hanya kalangan laki laki yang mendamba dan memuja atribut kecantikan tersebu,  namun juga kalangan wanita yang terobsesi dan seakan membenani diri demi meraih mimpi citra diri hanya bertumpu fisik sempurna tanpa cela.

Bahkan bagi mereka yang memang dari lahir cukup beruntung memiliki perangkat gen fisik yang dipandang layak tersebut, tetap saja belum merasa puas dengan yang dimiliki. Tak bisa dibayangkan betapa menderitanya kaum perempuan masa kini, mereka kian menjadi sulit merasa percaya dan puas diri. Bahkan untuk menerima diri sendiri sepenuhnya saja rasanya sangat sulit dengan beban ekspektasi yang terbangun kuat sekarang. 

Tak jarang sikap diskriminasi juga muncul di tataran sosial masyarakat, baik di kampus, perkantoran, organisasi, lingkungan pergaulan, birokrasi, bahkan tempat pelayanan publik. Mereka yang memiliki paras aduhai seolah diberi perlakuan berbeda dibandingkan mereka yang biasa biasa saja.

Yah apa mau dikata, kalangan perempuan saat ini memang harus bisa menyeimbangkan diri dan menanamkan prinsip sekuat baja. Bahwa kecantikan tak hanya melulu soal paras menawan nan menyihir mata, namun mereka yang memiliki kualitas diri yang patut dibanggakan. Mungkin terdengar kuno dan klasik, namun ini bisa jadi sebuah pesan moral dan sangat bermakna jika hari ini, kita harus merubah cara berfikir kita bahwa segudang prestasi lebih hebat daripada sibuk merias dan menjual pesona semata.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak