Oleh Tosca Santoso
Hari-hari ini, sedang terjadi pergulatan sangat intens, di antara pembuat kebijakan tentang cara mengelola hutan di Jawa. Apakah hutan di Jawa akan terus dipercayakan hanya kepada Perhutani, atau negara mengalokasikan sebagian hutan Jawa untuk dikelola kelompok tani hutan yang memerlukannya. Dari satu entitas pengelola (Perhutani), ke banyak entitas kecil yang lebih membutuhkan dan hidup dekat dengan hutan mereka.
Sesungguhnya, gagasan tentang menata ulang pengelolaan hutan Jawa sudah lama muncul di kalangan pegiat hutan. Yayasan Arupa, 2014, pernah menerbitkan “Rekonfigurasi Hutan Jawa: Sebuah Peta Jalan Usulan CSO”. Antara lain, mengandung rekomendasi agar negara mempercayai petani setara dengan Perhutani, dalam mengelola hutan di Jawa. Ide yang terus hidup, dan menemukan momentum baru di awal tahun ini, ketika Presiden Jokowi mengeluarkan Peraturan Pemerintah No 23/2021 tentang penyelenggaraan kehutanan. Yang di antaranya menentukan sebagian hutan untuk penggunaan khusus: perhutanan sosial.
Kebijakan itu diterjemahkan Menteri LHK, dengan mengangkat Peta Indikatif Area Perhutanan Sosial (PIAPS), sebagai area perhutanan sosial. Alias, hutan yang akan dikelola khusus. Luasnya di Jawa hampir 900.000 ha. Hutan itu, nantinya diberikan kepada kelompok tani hutan, tanpa lewat Perhutani.
Model perhutanan sosial di Jawa, selama ini selalu tiga pihak: KLHK-Perhutani-petani. Nantinya cukup: KLHK-Kelompok Tani. Tanpa perantara. Menteri LHK berwenang mengatur alokasi penggunaan hutan itu, sebagai turunan dari PP yang baru terbit.
Di lain pihak, Perhutani mengelola hutan Jawa itu dasarnya PP juga: PP No 72/ Tahun 2010. Lewat PP itu, negara memberi mandat kepada Perhutani untuk mengelola hutan di Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat dan Banten. Kecuali hutan konservasi yang berada dalam pengelolaan taman nasional-taman nasional. Luas hutan Jawa yang dipercayakan kepada Perhutani itu 2 juta ha lebih. Kalau ada perubahan luas, harus dilakukan lewat PP (pasal 3, ayat 2).
Niat politik, kebijakan yang baik, seringkali memang terhambat oleh aturan yang saling bertabarakan di bawahnya. Itu sebabnya, revisi PP 72/2010 perlu segera dilakukan, agar dasar hukum pengelolaan hutan Jawa menjadi lebih rapi dan efektif pelaksanaanya. Erick Thohir, Menteri Negara BUMN, berperan penting dalam revisi PP tentang Perhutani itu. Ia berkesempatan menata ulang pengelolaan hutan di Jawa yang lestari, dan memberi manfaat untuk orang banyak. Tiga hal berikut boleh dipertimbangkan:
Pertama, perhutani dapat lebih fokus, bila ia dibebaskan dari tanggung jawab mengelola warga sekitar hutan. Dengan begitu, Perhutani dapat memusatkan daya mengejar visinya sebagai perusahaan kehutanan terkemuka di dunia.
Ia tak perlu lagi banyak konflik tenurial dengan warga sekitar hutan. Juga terbebas dari ekses pengelolaan hutan bersama masyarakat. Pendeknya lebih fokus, bisa inovatif mengembangkan usaha.
Kalaupun dengan area kelola yang lebih sempit (karena dikurangi 900.000 ha untuk perhutanan sosial), skala bisnis Perhutani tidak otomatis akan berkurang. Malah bisa meningkat, kalau berhasil menemukan bisnis kehutanan yang produktif dan bernilai tinggi.
Sebagai perbandingan, Tahun 2019 dengan area konsesi 2 juta ha lebih, nilai penjualan Perhutani Rp 4,14 trilyun. Kurang lebih sama dengan pendapatan PT Great Giant Pineapple di Lampung, walaupun perusahaan swasta ini hanya memegang konsesi 32 ribu ha. Jadi, luas lahan bukan faktor utama keberhasilan usaha kehutanan atau perkebunan.
Kedua, perhutanan sosial sejak digalakkan 2016 terbukti menghidupkan ekonomi warga tepi hutan. Banyak contoh pernah ditulis tentang keberhasilan kelompok tani hutan. Tidak hanya mengenai ekonomi yang bergeliat, tapi juga kiprah mereka merawat hutan.
Petani yang hidup di tepi hutan, dan menggantungkan nasib keluarganya di sana, akan lebih sungguh-sungguh menjaga hutan dibanding siapapun yang jauh dari hutan itu. Perhutanan sosial telah diberikan kepada hampir sejuta keluarga di Indonesia, dengan area yang dipercayakan 4,5 juta ha. Khusus di Jawa, sebanyak 470 ribu ha sudah diberikan kepada kelompok tani hutan.
Ini perlu segera diteruskan hingga 900 ribu ha, yang mungkin akan berdampak pada sejuta lebih keluarga tani di Jawa. Agar lebih efektif, izin perhutanan sosial di Jawa hendaknya langsung dikelola dengan skema: KLHK-petani. Tanpa perantara.
Sebagian dari kisah perhutanan sosial itu, pernah saya tulis dan dapat diunduh bebas di situs: www.kopisarongge.com. “Lima Hutan, Satu Cerita.” Koran Tempo tiap tahun mengadakan pemilihan tokoh perhutanan sosial, dengan mengangkat inspirasi warga tepi hutan itu menggerakkan ekonomi dan menjaga hutan.
Dengan dukungan permodalan, antara lain dari BPDLH dan bank-bank negara, perhutanan sosial dapat menjadi sektor ekonomi yang bergerak dari bawah. Ini janji politik Presiden Jokowi yang harus segera dituntaskan. Waktu tidak banyak lagi, sementara target 12,7 juta ha perhutanan sosial baru tercapai 35%.
Ketiga, hutan adalah penyangga kehidupan bersama. Sayangnya, pengelolaan selama ini tidak berhasil menahan laju deforestasi dan degradasi hutan di Jawa. Catatan Forest Wacth Indonesia, pada kurun 2000-2009, hutan di Jawa berkurang seluas 1,383 juta ha.
Kalau laju deforestasi ini tidak direm, hutan Jawa segera akan tinggal cerita. Ini momentum yang bagus untuk menata ulang pengelolaan hutan di Jawa. Hutan tidak dipercayakan hanya kepada satu entitas saja, tetapi melibatkan lebih banyak orang untuk bertanggung jawab merawatnya.
Kelompok tani hutan, Bumdes, Lembaga pengelola hutan desa, pengelola HTR atau HKm, adalah berbagai subyek yang dapat mengajukan diri merawat hutan, dalam skema perhutanan sosial.
Semuanya mendapat izin langsung dari KLHK. Mereka akan lebih giat menjaga hutan, sebab hutan adalah sumber penghidupannya. Ada pepatah dalam berbagai versi di masyarakat tepi hutan, yang intinya mengatakan: hutan terjaga, warga sejahtera.
Prinsip itu boleh memandu cara kita mengelola hutan, termasuk hutan di Jawa.
Tosca Santoso,
Petani Kopi Sarongge