Di suatu pagi, saya kesal sampai teriak marah-marah. Sebabnya adalah saya menemukan sekawanan ayam milik tetangga sedang mematok daun aglonema suksom dan kochin merah yang saya rawat berbulan-bulan. Tanaman-tanaman ini sementara saya jemur di pekarangan rumah. Teriakan saya membuat penghuni rumah berhamburan keluar bersama. Suami dan anak-anak bergegas mengambil sendal maupun batu melempari gerombolan perusak itu dari segala arah.
Kalau tadi pelakunya adalah ayam kate peliharaan kami, tentu reaksi berbeda yang terjadi. Seperti saat ayam kate betina mengerami telurnya di atas bunga gloxinia hingga bunga dan daunya habis hanya menyisakan umbi. Saat itu, saya hanya mengomel pelan sembari mengelus dada, menahan diri untuk tidak tersulut emosi. Suami dan anak-anak juga tak melempar batu, tetapi memanggil ayam itu, dibelai, diberi makan sambil diceramahi untuk tak boleh mengeram di dalam pot lagi.
Masa sih ayam yang sudah dipelihara sejak berwujud telur, diberi makan tiap hari, dan disediakan kandang besi, tega dilempari. Kalau kaki ayamnya patah atau ayamnya mati, kami juga yang rugi.
***
Di hari yang lain, saya sibuk mengulik file dalam laptop, Google Drive, Gmail, dan dokumen dalam aplikasi Google Classroom demi mencari tugas salah seorang mahasiswa yang tidak ada. Dia adalah seorang mahasiswa yang saya tahu cerdas dan selalu rajin mengumpulkan tugas. Saya khawatir kurang teliti dan tugasnya terlewati saat koreksi. Setelah mata perih, saya baru berhenti mencari. Meskipun tak lazim, mahasiswa tersebut memang terbukti tak pernah mengirimkan tugas makalah Farmakoterapi.
Di urutan daftar rekap nilai itu, ada juga mahasiswa yang terdata belum punya nilai tugas. Tapi bagi mereka, saya tidak perlu mengecek setiap file atau link berulang kali. Cukup sekali memeriksa dan saya bisa sangat yakin jika memang mereka tidak mengerjakan tugas hanya dari mengonfirmasi nama yang tertera. Nama-nama tersebut, saya kenali sebagai mahasiswa yang memang dari awal kuliah malas. Wajar jika proses belajar mereka tidak tuntas.
Jika semua mahasiswa tugasnya harus saya cek berulang kali seperti mahasiswa yang saya anggap cerdas tadi, bisa-bisa waktu saya habis hanya untuk mengoreksi tugas. Kapan saya punya waktu untuk melakukan pengabdian masyarakat, penelitian, atau menulis artikel ilmiah untuk dipublikasi ke jurnal internasional bereputasi? Saya harus efisien bekerja di tengah waktu dan tenaga yang terbatas.
***
Di sebuah acara kondangan sebelum masa pandemi, saya dan teman-teman sudah hadir tepat setelah Isya dengan menggunakan kebaya dengan warna senada sebagai tamu undangan. Di kartu undangan tertera bahwa resepsi akan dimulai pukul 20.00 WIT. Ada beberapa tamu yang terlambat datang, harus berdiri di samping tenda karena kehabisan kursi.
Acaranya baru dimulai jam 22.00 WIT. Kami dan tamu undangan lain yang menempati kursi belakang dan berdiri, harus menunggu hampir dua jam sampai habis topik perbincangan dan make-up luntur karena keringatan. Acaranya terlambat dimulai karena menunggu seluruh pejabat yang diundang memenuhi meja bundar yang sudah disiapkan pada deretan terdepan.
Saat sesi jabat tangan dan foto dengan pengantin, para undangan kehormatan justru mendapat kesempatan untuk maju terlebih dahulu. Sementara kami yang hadir tepat waktu, harus antre, berdesak-desakan untuk menyalami orang tua dan pasangan yang berbahagia. Pengaturan berbeda ini katanya harus dilakukan oleh tuan rumah agar pesta berjalan teratur dan elegan.
***
Dalam kehidupan sehari-hari, kita kerap dihadapkan pada peristiwa yang mengharuskan kita bersikap toleran. Tetapi pada keadaan yang berbeda, peristiwa yang sama dapat kita sikapi dengan cara sebaliknya. Penyebabnya karena ketidaksamaan konteks "siapa" atau "apa" yang berlaku.
Tak dapat dipungkiri, identitas seseorang atau sesuatu mempengaruhi cara kita bereaksi atas aksi yang teramati. Cara menyikapi anak merajuk misalnya. Di saat ngambek, Abang anak kami yang sulung, cukup diajak main game bersama, amarahnya sudah menguap entah kemana. Namun, jika yang ngambek adalah Ade, anak kami yang kedua, tidak ada bujukan yang ampuh selain pelukan atau belaian di kepala. Bahasa kasih tiap anak memang beda, masa harus diperlakukan sama.
Ya, perilaku berstandar ganda adalah sesuatu yang lekat dengan keseharian kita. Standar ganda merupakan sebuah keadaan di mana kita memberikan penilaian, reaksi, perilaku, atau sikap yang berbeda kepada seseorang atau suatu kelompok tertentu pada sebuah kasus yang sama. Perilaku ini dianggap mencederai prinsip keadilan. Memang sulit melepaskan diri dari sikap ini jika menyangkut orang yang kita sayang, kerabat dekat, seseorang yang dipandang hebat, apalagi yang punya posisi kuat seperti pejabat. Saya adalah pelaku standar ganda, bisa jadi Anda juga.
Maka dari itu, kita harusnya bisa memahami saat ada perlakuan berbeda yang dipertontonkan oleh penguasa pada warganya. Misalnya, ada pejabat yang cukup minta maaf saat melakukan pelanggaran protokol kesehatan, sementara yang bukan pejabat, harus menjadi terdakwa yang disidang berkali-kali atau bagi rakyat biasa, langsung digunduli dan mendekam dalam tahanan selama berhari-hari.
Kita juga harus berempati saat wakil rakyat mendapat fasilitas kesehatan khusus untuk Corona, padahal rakyatnya harus antre di emperan rumah sakit dan berakhir dengan meregang nyawa. Pejabat negara memang istimewa, kebijakan pembangunan bangsa ada di tangan mereka, wajar jika mereka diperlakukan berbeda. Warga biasa tidak usah nyinyir berlebihan, anggap saja ini toleransi dalam bernegara.
Kita selakyaknya memaklumi bahwa identitas atau status seseorang memang sangat berpengaruh terhadap bagaimana cara dia diperlakukan. Jangan terlalu percaya dengan slogan “Semua warga negara sama derajatnya di mata hukum”. Bukankah semua anak juga sama di mata orang tua? Semua mahasiswa sama di mata dosen? Itu normatifnya, praktiknya apakah Anda seperti itu? Kebhinekaan saja katanya bersayap.
Pada setiap peristiwa yang menyangkut relasi, selalu ada ruang-ruang negosiasi dan toleransi. Semua ini dilakukan agar sesuatu berjalan sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan, juga menghindari benturan atau menciptakan keteraturan. Tentu saja ukuran keteraturan ini berpihak pada kepentingan seseorang atau sekelompok orang yang punya kuasa.
Oleh karena itu, jika kita hanya warga biasa, bukan siapa-siapa, tidak punya apa-apa, tidak memiliki status sosial penting di mana-mana, kita harus tahu diri dan berbesar hati jika suatu ketika merasa menjadi korban perlakuan yang tidak adil oleh penguasa. Toh keadilan bukanlah memperlakukan sesuatu sama rata tetapi menempatkan sesuatu sesuai porsinya.
Sebagai sesama praktisi standar ganda, jangan terlalu keras meneriakkan ketidakadilan “penguasa” saat kita bukan “siapa-siapa”. Selain bahaya, masa depan juga tidak bisa diduga. Jangan-jangan jika kelak kita yang bukan “siapa-siapa” ini ditakdirkan menjadi “penguasa”, praktik standar ganda makin subur kita pelihara.