Polemik Manusia Silver yang Menuai Pro dan Kontra

Hernawan | Nindi Anjani
Polemik Manusia Silver yang Menuai Pro dan Kontra
Salah satu manusia silver di Kota Padang, Sumatera Barat. [Dok.Antara]

Apa yang terlintas di pikiran Anda ketika mendengar manusia silver? Tentu sudah tidak asing lagi ketika kita mendengar manusia silver. Ya, manusia silver adalah seseorang yang kerap kita jumpai di sekitar ruas jalan, dengan raga penuh cat atau bubuk silver. Manusia silver yang kerap kita jumpai di antaranya anak-anak, remaja, dan usia dewasa. 

Manusia silver rela berpanas-panasan dan bertelanjang dada dengan menyisakan celana pendek berwarna hitam. Mereka hampir mewarnai seluruh badannya dengan bubuk silver, baik dari kaki, badan, tangan, wajah bahkan sampai rambut, terlebih lagi mereka biasanya tidak beralaskan sandal. 

Manusia silver pada awalnya lahir di Kota Bandung, sebagai salah satu komunitas kegiatan yang bertajuk bakti sosial atau sedekah terhadap anak jalanan, anak yatim piatu, dan orang-orang membutuhkan.

Akan tetapi, lama kelamaan, manusia silver tumbuh sebagai sumber penghidupan dan mata pencaharian di kalangan masyarakat. Terlebih lagi, sekarang manusia silver gencar berada di seluruh penjuru kota di Indonesia, tidak terkecuali kota-kota besar. Biasanya kita dapat menjumpai manusia silver di pemberhentian lampu merah atau tempat-tempat wisata.

Fenomena manusia silver merupakan sebuah dilema dalam kondisi sosial masyarakat. Jika diamati lebih lanjut, manusia silver ini adalah sebuah pelarian masyarakat yang kehilangan pekerjaan. Terlebih di tengah pandemi covid-19, banyak orang yang terpaksa harus di-PHK atau pengurangan jumlah karyawan. Kondisi inilah yang menuntut mereka untuk dapat bertahan hidup di tengah keterbatasan yang ada. 

Mirisnya, kabar terbaru, manusia silver ini tidak hanya terjadi pada anak-anak dan dewasa. Namun, bayi pun dieksploitasi untuk menjadi profesi ini. Bayi tersebut dicat silver, lalu diajak mengais rezeki oleh orang tuanya di bawah terik matahari dan kepadatan kota. 

Kedatangan manusia silver ini menuai argumen pro dan kontra di dalam masyarakat. Banyak masyarakat yang menyangkal bahwa manusia silver bukanlah ‘seniman’, melainkan sebagai salah satu bentuk ‘mengemis dengan gaya’.

Manusia silver yang berpantomim atau berdiri layaknya patung bukanlah hiburan atau  kreativitas. Mereka berasumsi bahwa tindakan yang dilakukan oleh manusia silver merupakan salah satu bentuk aktivitas pemerasan. 

Adapun argumen lain tentang manusia silver adalah merusak pemandangan kota. Pasalnya, masyarakat tidak menjumpai sekali saja, bahkan ada yang menjumpai dua sampai sekian kali selama perjalanan.

Menurutnya, keberadaan manusia silver ini sangat mengganggu pemandangan kota yang bersih dan asri. Mereka menilai manusia silver hanyalah menambah hiruk pikuk kota dan membuat kemacetan. Ditambahkan pula manusia silver ini kurang sedap dipandang dan cenderung memilih human statue, beda dari museum-museum yang secara resmi dan tidak menganggu karena lebih tertata serta tersusun rapi. 

Berangkat dari beberapa penolakan, ada pula yang menambahkan bahwa manusia silver merupakan sebuah seni kreativitas dengan menarik simpatisan masyarakat, lalu memberikan sejumlah uang kepada kotak milik mereka.

Beberapa dari mereka masih memercayai bahwa manusia silver merupakan sebuah komunitas untuk membantu banyak orang yang kekurangan. Sehingga, masyarakat merasa iba dan respect terhadap perbuatan tersebut. 

Masyarakat yang menekuni profesi ini menganggap sebagai mata pencaharian untuk memenuhi kebutuhan hidup. Mereka mengesampingkan dampak yang diakibatkan dari bubuk silver ini. Pada awalnya, mungkin terasa perih dan panas, tetapi lama kelamaan mereka menikmati profesi ini untuk mencukupi kebutuhan keluarga di rumah.

Menurut para ahli kesehatan dan dinas sosial, manusia silver ini telah terlampau membahayakan. Pasalnya, pewarna yang digunakan mengandung sejumlah bahan kimia, yang dapat menyebabkan kanker kulit di kemudian harinya. Oleh sebab itu, kehadiran manusia silver kerap mendapatkan larangan sebagai profesi. 

Akan tetapi, manusia silver ini, meski mengetahui bahaya penggunaan cat, tetap berkelit bahwa upayanya untuk kebutuhan makan dan peduli sesama. Selama ini, mereka tidak pernah mengalami keluhan penyakit kulit atau merasa alergi. Menurut pengakuan, jika benar cat yang digunakan dapat menyebabkan kanker atau penyakit kulit, buktinya mereka baik-baik saja, tidak mengalami gangguan apapun sampai saat ini.

Dengan demikian, pada akhirnya manusia silver bukanlah jenis pekerjaan yang baik dan diperbolehkan, terlebih mereka bertarung dengan kesehatannya. Mungkin beberapa masyarakat kehilangan mata pencaharian. Namun, menjadi manusia silver bukanlah profesi yang baik. Sebab pada akhirnya, mereka menjadi dimudahkan dan terkesan meminta-minta dengan penghasilan yang tak seberapa.

Jadi, pemerintah seharusnya lebih melek dan terbuka dengan fenomena sosial di kelas bawah seperti ini, dengan mengadakan pelatihan kerja, menambah atau memperluas lapangan pekerjaan. Para pelaku profesi ini juga tidak usah takut dengan hal-hal yang baru, mereka harus memulai dan mencoba. 

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak