Praktik buang air besar sembarangan (BABS) masih menjadi kebiasaan khususnya masyarakat pinggiran. Perilaku ini merupakan tindakan membuang tinja di sembarangan tempat seperti di sungai, ladang, semak-semak atau tempat terbuka lainnya yang dapat mencemari lingkungan.
Perilaku yang terbilang membahayakan ini, tidak hanya pada keselamatan, tapi juga kesehatan. Ternyata di Indonesia sendiri, perilaku BABS masih sangat tinggi. Berdasarkan Data Monitoring Evaluasi STBM (2011), terdapat 7.468.158 kepala keluarga yang masih buang air besar sembarangan.
Kemudian, di tahun 2018, terdapat 16.194 desa yang terverifikasi stop buang air besar sembarangan (SBS), 28 kabupaten atau kota, dan hanya 1 provinsi yaitu Yogyakarta. Serta, data dari Bappenas (2018) menyatakan bahwa masih ada 9,36% rumah tangga yang mempraktikkan BAB sembarangan baik di perkotaan maupun pedesaan.
Tentunya kita bertanya mengapa bisa demikian? Apakah penyebab sehingga masalah BABS ini masih belum bisa diselesaikan? Ya, tentunya dipengaruhi oleh berbagai faktor di antaranya; Pengetahuan, perilaku berasal dari pengetahuan. Sebab, pengetahuan adalah hasil penginderaan seseorang.
Sebagaimana sebagian besar penduduk Indonesia yang minim akan pengetahuan mengenai dampak buang air besar sembarangan dan kurangnya pengetahuan mengenai syarat jamban sehat. Oleh karena itu, ketidaktahuan ini akan berlanjut menjadi kebiasaan yang buruk.
Sikap, jika persepsi yang buruk terbangun di masyarakat kita, maka tidak usah terlalu jauh melangkah mencari solusinya. Cukup memberikan pembuktian yang mengalahkan persepsi tersebut. Sesuai dengan teori lawrence Green yang mengatakan bahwa ada 3 faktor utama yang mempengaruhi perilaku, salah satunya yaitu predisposisi. Menurut teori ini, pengetahuan dan sikap saling mempengaruhi atas apa yang dilakukan oleh seseorang.
Kepemilikan jamban, penggunaan jamban sehat di Indonesia tahun 2019, terdapat 72,3% keluarga, jamban semi permanent 18,6%, dan jamban sharing atau komunal 9,1%. Kepemilikan jamban juga biasanya dipengaruhi oleh kondisi ekonomi seseorang. Dengan banyaknya rumah yang tidak memiliki jamban, maka tentunya mempengaruhi seseorang berperilaku buang air besar sembarangan.
Ketersediaan air bersih, fasilitas dan sarana menjadi faktor pemungkin dalam perubahan perilaku. Daerah yang kesulitan akses air bersih berdampak pada perilaku BABS masyarakatnya. Salah satu contohnya, Papua.
Berdasarkan Data Badan Pusat Statistik (2019), Papua berada di urutan terendah nasional tingkat akses rumah tangga ke sanitasi aman. Hal itu berkolerasi dengan kepemilikan jamban yang hanya 43,7 persen rumah tangga menggunakan tangki septik.
Lantas, apakah dengan buang air besar sembarangan akan berdampak pada hidup saya? Tentu saja, karena buang air besar sembarangan bukan hanya merendahkan martabat manusia dan mencemari lingkungan, tetapi juga berbahaya bagi kesehatan.
Tinja yang dibuang sembarangan dihinggapi lalat, kemudian menempel di makanan dan makanan tersebut masuk dalam tubuh kita. Apa yang terjadi? Nah, itu bisa menyebabkan infeksi saluran pencernaan. Pasalnya, pada tinja ada banyak bakteri penyebab penyakit menular.
Adapun jenis penyakit yang bisa menyerang yaitu diare, kolera, tifus, disentri, penyakit cacing tambang, Hepatitis A dan E, Shistomosiasis, ascariasis, penyakit kulit, dan malnutrisi. Serta, perlu diketahui bahwa perilaku BABS bisa menjadi faktor resiko kejadian stunting. Sanitasi yang buruk menyebabkan penyakit infeksi. Kejadian ini akan menghambat pertumbuhan dan perkembangan anak.
Melihat dampak yang bisa terjadi, sudah adakah solusi dari Pemerintah kita atau diri kita pribadi yang prihatin dengan kondisi ini? Tingginya angka BABS membuat pemerintah tidak lepas tangan sebelum mengatasinya.
Bahkan di tahun 2016 hingga sekarang, dilaksanakan upaya pembangunan berkelanjutan (sustainable development goals/ SDGs) yang salah satu tujuannya yaitu menjamin ketersediaan serta pengelolaan air bersih dan sanitasi berkelanjutan untuk semua.
Kemudian, dibentuknya Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 852/MENKES/SK/IX/2008 Tentang Strategi Nasional Sanitasi Total Berbasis Masyarakat yang merupakan pendekatan dalam merubah perilaku higiene dan sanitasi, melalui pemberdayaan masyarakat dengan metode pemicuan.
Ada 3 strategi nasional yaitu, penciptaan lingkungan yang kondusif, peningkatan kebutuhan sanitasi, dan peningkatan penyediaan akses sanitasi. Hingga sekarang, program ini masih gencar dilakukan.
Pertanyaannya, mengapa angka BABS di Indonesia masih tinggi? Apakah program tersebut tidak berhasil? Tidak. Program tersebut sudah sangat bagus, tetapi dalam mengatasi permasalahan yang kompleks ini membutuhkan usaha maksimal dan waktu yang lama.
Kita harus sadar bahwa Indonesia adalah negara yang luas dan memiliki penduduk yang sangat banyak. Olehnya, butuh kesabaran dan usaha maksimal agar mencapai tujuan yang diinginkan.
Namun demikian, dalam pelaksanaan program perlu adanya komunikasi, koordinasi, dan kejujuran yang tinggi. Komunikasi yang baik akan mudah mempengaruhi sasaran dan koordinasi yang baik membuat kegiatan menjadi terstruktur. Serta, kejujuran akan mempermudah jalannya program tanpa ada kejanggalan yang menghambat.
Di samping itu, apakah kita sudah berkontribusi dalam memecahkan masalah ini? Jangan sampai kita hanya menuntut sambil menonton. Kerjasama memudahkan dan mempercepat tercapainya suatu tujuan. Oleh karena itu, partisipasi dari kita semua sangat dibutuhkan demi tercapainya pembangunan kesehatan di Indonesia. Jangan buang air besar sembarangan.