Implikasi Revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi

Hernawan | Muhammad Nadhif Ramadhani
Implikasi Revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi
[Suara.com/Ema Rohimah]

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan lembaga independen yang dimiliki Indonesia untuk memberantas tindak kejahatan korupsi. Indonesia sebagai negara yang kaya akan sumber daya alam dan manusia begitu akrab dengan budaya korupsi yang mengakar. Oleh karena itu, permasalahan korupsi selalu menjadi fokus utama pemerintah untuk diselesaikan dan rakyat pun turut menuntut agar KPK selalu diperkuat.

Pada akhir tahun 2019, publik dikejutkan dengan munculnya draf revisi UU KPK yang kemudian disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK. Publik dan lapisan masyarakat lainnya menganggap undang-undang ini cacat secara formil maupun materil, terlebih KPK sebagai lembaga yang akan terdampak langsung atas disahkannya UU ini tidak dilibatkan sama sekali dalam proses pembentukannya.

Pemerintah ketika itu mengklaim bahwa ini merupakan langkah penguatan KPK. Namun, hal ini mendapatkan tanggapan berkebalikan dari publik yang menganggap UU tersebut merupakan upaya pelemahan KPK secara sistematis. Begitu banyak langkah perjuangan yang ditempuh oleh berbagai pihak, mulai dari demonstrasi hingga pengajuan judicial review ke MK, dengan maksud agar UU ini ditinjau kembali.

Dua tahun sudah UU ini menjadi dasar bagi KPK berkegiatan menjalankan tugasnya, penting bagi publik melihat secara objektif sejauh mana implikasi UU Nomor 19 Tahun 2019 terhadap penegakan pemberantasan korupsi, khususnya lembaga KPK itu sendiri. 

Kinerja KPK setelah adanya UU No. 19 Tahun 2019

Pasca amandemen UU No. 30 Tahun 2002 menjadi UU No. 19 Tahun 2019, pelaksanaan tugas KPK menjadi sedikit lebih sulit, dengan dibentuknya dewan pengawas pada UU No. 19 Tahun 2019. Tugas dewan pengawas antara lain memantau pelaksanaan tugas dan wewenangnya.

Artinya, penerbitan atau tidak dikeluarkannya izin penyadapan, izin penggeledahan atau penyitaan untuk menjalankan tugas dan wewenang KPK. Hal yang paling menonjol setelah revisi undang-undang KPK adalah jumlah operasi tangkap tangan (OTT) menurun secara signifikan.

Sejak amandemen undang-undang mulai berlaku, KPK hanya menerapkan dua OTT. Misalnya, KPK melakukan 32 OTT pada 2018, 20 di antaranya dilakukan dengan partisipasi pemerintah daerah. Pada 2019, ada 16 OTT, 7 di antaranya terkait intervensi pemerintah kota. 

Independensi KPK setelah adanya UU No. 19 Tahun 2019

Dengan adanya TWK, justru dianggap oleh kebanyakan masyarakat sebagai bagian dari melemahkan status KPK sebagai lembaga yang bergerak dalam memberantas kasus korupsi di Indonesia. Dengan diubahnya status pegawai KPK menjadi anggota ASN, justru dianggap sebagai bentuk independensi dari  kinerja KPK itu sendiri.

Aadanya perubahan status pegawai ini menjadi sorotan oleh banyak tokoh politik dan masyarakat. Banyak pihak yang menganggap ada tujuan terselubung dari diberhentikan sebagai pegawai KPK. Peneliti pada lembaga ICW yaitu Kurnia Ramadhana mengatakan bahwa ada setidaknya tiga potensi resiko yang akan nantinya dirasakan dan dapat melemahkan kerja penyidik KPK setelah beralih statusnya menjadi ASN. Berikut tiga potensi resiko yang akan terjadi:

  1. Terkikisnya nilai independensi KPK. Salah satu ciri lembaga negara independen adalah sistem kepegawaiannya yang dikelola secara mandiri. Akan tetapi, kebijakan peralihan status pegawai KPK menjadi ASN mengindikasikan tidak lagi tercerminnya independensi pada tubuh KPK.
  2. Alih status pegawai KPK menjadi ASN memungkinkan terganggunya penanganan kasus. Dengan berstatus ASN, pegawai KPK bisa dipindahkan ke lembaga negara lainnya kapan saja. 
  3. Alih status pegawai KPK berpotensi memunculkan konflik kepentingan saat menangani perkara. Dalam pasal 7 ayat (2) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) disebutkan bahwa PNS berada di bawah koordinasi dan pengawasan kepolisian dalam menjalankan tugasnya. Hal ini akan membuka celah yang mengganggu independensi pegawai KPK ketika menangani perkara yang melibatkan anggota kepolisian.

Public Trust masyarakat kepada KPK setelah adanya UU No. 19 Tahun 2019

Pemerintah yang tetap mengukuhkan UU 19/2019 ditengah banyaknya penolakan dari kalangan masyarakat membuat kepercayaan publik kepada lembaga KPK semakin melemah. Hal ini tercermin dari dari survei Indikator Politik Indonesia yang menyatakan hanya 65 persen tingkat kepercayaan publik kepada KPK. Ini menempatkan KPK pada posisi ke-4 setelah TNI, Presiden, dan Polri sebagai lembaga publik yang dipercaya masyarakat. Berbagai berita yang menyorot KPK belakangan ini, seperti Kontroversi mengenai TWK, pelanggaran kode etik dari ketua KPK, dan menurunnya OTT, juga mengambil peran turunnya kepercayaan publik kepada KPK. 

Dua tahun berjalan telah terlihat dampak dari diimplementasikannya UU Nomor 19 Tahun 2019. Penurunan angka penyelidikan, OTT, kepercayaan publik, berubahnya status pegawai KPK menjadi ASN serta adanya tes wawasan kebangsaan untuk proses peralihan status pegawai KPK tersebut, menjadi sebagian indikator yang menggambarkan undang-undang ini belumlah sepenuhnya tepat untuk diterapkan. Jika memang dirasa UU sebelumnya sudah tidak relevan, maka revisi layak untuk dilakukan. Revisi yang dimaksud tentunya harus memperhatikan kaidah-kaidah pembentukan undang-undang yang ada menurut UU Nomor 12 Tahun 2011. 

Segala kritik yang terjadi di tahun 2019 dapat dijadikan pembelajaran bagi pemerintah khususnya DPR RI dalam menyusun revisi undang-undang KPK. Dengan melibatkan banyak pihak terutama KPK sebagai lembaga yang akan terdampak langsung, tentunya akan meningkatkan partisipasi publik. Hal ini akan berdampak kepada UU yang ideal serta mendapatkan persetujuan publik nantinya ketika diterapkan.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak