Dunia pangan kita sedang heboh, namun sayangnya kabar ini bikin kita ngelus dada. Kementerian Pertanian baru saja mengungkap temuan adanya 212 produsen beras yang terindikasi melakukan praktik oplosan.
Kata Menteri Pertanian Amran Sulaiman, masalahnya klasik, mulai dari kualitas berasnya yang tidak sesuai standar, volumenya dikurangi, dan harganya dimahalin.
Jadi ya, beras yang harusnya premium ternyata biasa saja, berat yang harusnya 5 kg ternyata cuma 4,5 kg. Dan harganya naik sekitar Rp3.000 per kilogram. Kalau kita beli 10 kg, kita sudah kehilangan 30 ribu. Lalu kalau se-Indonesia? Kerugian masyarakat bisa tembus Rp100 triliun per tahun.
Seratus triliun! Itu bukan angka main-main, lho. Itu uang yang bisa dipakai untuk bangun sekolah, rumah sakit, jalan tol, atau bahkan modal usaha bagi jutaan UMKM. Tapi, malah lenyap begitu saja di kantong-kantong oknum produsen beras.
Hal yang bikin makin geram, kejadian seperti ini bukan sekali-dua kali. Dan bukan cuma beras. Masih ingat minyak goreng oplosan, gas 3kg yang katanya dikurangi takaran, Pertamax yang dirumorkan dicampur, hingga layanan publik yang makin mahal tapi miskin kualitas?
Kalau semua sektor ada trik tersembunyi-nya, maka kita sedang hidup dalam sistem yang memaklumi pengoplosan, dan ini adalah bukti ketidakjujuran struktural yang membayangi negeri kita.
Kita sebagai masyarakat tentu merasa dibohongi. In this economy, rakyat bukannya dibantu, malah disodori berbagai praktik curang yang merugikan. Masyarakat telah menjalankan kewajiban dengan membayar pajak, tapi hak mereka untuk mendapatkan produk dan pelayanan yang layak seringkali diabaikan. Maka jangan heran kalau setelah ini kepercayaan masyarakat benar-benar tak bersisa.
Kementerian Pertanian dan Satgas Pangan telah menjalankan tugasnya, dan kita mengapresiasi itu. Tapi kalau kasusnya sudah sebanyak ini, wajar jika publik bertanya, ke mana pengawasan selama ini? Mengapa bisa sampai 212 produsen yang tertangkap? Berapa banyak lagi yang belum terdeteksi?
Kasus beras oplosan ini juga menjadi bukti lemahnya sistem dalam rantai pasok pangan kita. Dari petani ke penggilingan, ke distributor, hingga sampai ke konsumen, ada banyak mata rantai yang rawan dimainkan oknum yang tak bertanggung jawab.
Dan ini bukan hanya tanggung jawab Kementerian Pertanian, tapi juga kementerian dan lembaga lain yang terkait, termasuk Kementerian Perdagangan, Badan Pangan Nasional, dan tentu saja, aparat penegak hukum.
Menteri Pertanian bilang masalah ini sudah dilaporkan ke Kapolri dan Kejaksaan Agung. Tapi masyarakat butuh kepastian. Produsen-produsen ini harus diberi sanksi yang setimpal, bukan cuma denda kecil atau teguran.
Kalau perlu, cabut izin usahanya, publikasikan namanya, agar ada efek jera. Karena kita sudah terlalu sering melihat kasus besar yang viral seminggu, lalu hilang tanpa jejak bulan depannya.
Dan lagi-lagi, di tengah deretan lembaga yang anggarannya terus bertambah setiap tahun, kenapa kasus-kasus seperti ini masih luput dari perhatian? Apakah kita memang sedang membiayai sistem yang tak pernah benar-benar melindungi kita?
Kita bisa bilang yang dioplos ternyata bukan hanya isi karung beras, tapi juga wacana perlindungan konsumen, retorika keadilan sosial, hingga janji-janji pemerintahan. Kita sudah lelah hidup dalam ekosistem yang setengah jujur dan setengah licik.
Dan ketika rakyat mengeluh? Jawabannya paling, "Sudah kami proses," atau "Akan kami evaluasi."
Mari kita berharap semoga laporan ke Kapolri dan Kejaksaan Agung ini bukan sekadar formalitas, tapi awal dari pembersihan besar-besaran agar beras di meja makan kita benar-benar sesuai standar, tanpa oplosan, dan tanpa tipuan.
Jangan biarkan kerugian Rp100 triliun per tahun ini terus berlanjut. Sebagai rakyat, kita harus mulai berani menuntut transparansi, dan menyuarakan ketidakadilan, bahkan untuk hal yang tampaknya sepele seperti beras di piring kita.