Selama ini, energi bersih seolah menjadi milik kota. Dibicarakan di seminar dibahas di kampus dan sering dipakai sebagai jargon pembangunan. Padahal, ketika konsep-konsep itu masih sebatas diskusi desa-desa kecil justru lebih dulu membuktikannya lewat tindakan.
Panel surya yang dianggap mahal dan rumit, kini sudah jadi bagian hidup warga desa. Bukan sebagai proyek besar, tapi sebagai kebutuhan yang dijawab dengan inisiatif lokal.
Yang terjadi di Desa Donoharjo Sleman, bisa jadi bukti paling konkret. Dilansir dari laporan Universitas Gadjah Mada tahun 2023, pemanfaatan PLTS atap di bangunan publik desa itu telah menurunkan emisi karbon lebih dari 1.500 kilogram per tahun, serta menghemat pengeluaran listrik hampir Rp1,8 juta tiap tahunnya.
Tapi lebih dari sekadar angka, keberhasilan itu menciptakan rasa percaya diri baru di masyarakat. Energi bukan lagi sesuatu yang harus ditunggu dari luar. Mereka bisa mengelolanya sendiri, dan hasilnya nyata: terang di malam hari, produktivitas meningkat, dan rasa memiliki terhadap fasilitas publik juga tumbuh.
Penelitian lain oleh Kodo et al. (2024) di Desa Bismarak, Nusa Tenggara Timur, menunjukkan bahwa sistem PLTS off-grid yang dirancang komunitas bisa menyuplai lebih dari 11.000 Wh per hari. Dalam studi tersebut dijelaskan bahwa sistem terdiri dari 155 panel, baterai, dan inverter lokal yang mampu bekerja dengan efisiensi lebih dari 70 persen. Ini bukan sekadar proyek teknis, tapi bukti bahwa desa bisa menyusun sendiri solusi energinya—tanpa perlu menunggu proyek dari pusat.
Energi seperti ini mengubah cara hidup. Di Bengkulu, berdasarkan pengabdian masyarakat yang ditulis oleh Handayani dkk. (2022), sebuah PLTS mini berkapasitas 1000Wp digunakan sebagai "rumah charging" untuk perangkat wisatawan di Desa Rindu Hati. Hasilnya? Desa yang sebelumnya minim listrik kini menjadi lokasi wisata mandiri energi yang ramah lingkungan.
Energi terbarukan tak hanya menciptakan terang, tapi membuka ruang ekonomi menarik wisatawan dan menumbuhkan rasa bangga atas identitas desa yang modern tapi tetap kontekstual.
Tentu, masih banyak kendala. Biaya awal tinggi, akses teknisi terbatas, dan minimnya regulasi pendukung sering jadi batu sandungan. Tapi cerita-cerita tadi membuktikan bahwa desa bukan tidak bisa.
Mereka hanya butuh ruang untuk bergerak dan sedikit pengakuan bahwa mereka mampu menyalakan masa depan dengan caranya sendiri. Panel surya di desa bukan simbol gaya hidup ia adalah simbol bahwa kedaulatan bisa dibangun dari bawah.
Jika dukungan teknis dan regulasi yang ramah diberikan, desa-desa ini bisa melampaui ekspektasi. Mereka punya modal sosial yang tak bisa dibeli: gotong royong, kedekatan antarkeluarga, dan kemampuan bertahan dalam keterbatasan. Itulah yang membuat mereka lebih siap menghadapi perubahan asal diberi kepercayaan dan ruang untuk berinisiatif.
Sayangnya, keberhasilan desa sering kali baru diakui ketika sudah berhasil. Padahal, sejak awal mereka bisa dilibatkan bukan hanya sebagai pelaksana tapi juga sebagai perancang masa depan energi Indonesia.
Panel surya yang mereka pasang bukan sekadar pengganti PLN. Ia adalah pernyataan bahwa desa juga bisa modern tanpa kehilangan jati dirinya. Bahwa kemajuan tidak selalu identik dengan urbanisasi. Dan bahwa revolusi energi tak harus dimulai dari pusat kekuasaan.
Ketika terang datang dari atap rumah sendiri, bukan dari proyek bertahun-tahun yang tak kunjung sampai, maka yang menyala bukan hanya lampu melainkan keyakinan bahwa perubahan bisa diusahakan, bahkan dari tempat yang paling jarang dilihat.
Sebab dalam terang itu ada cerita yang selama ini tak terdengar. Tentang kepala desa yang nekat menyisihkan anggaran untuk beli panel pertama. Tentang para pemuda yang belajar teknis instalasi dari YouTube karena tak ada pelatihan formal. Tentang ibu-ibu yang akhirnya bisa mengolah hasil panen sampai malam karena tak lagi takut listrik padam.
Semua itu bukan program bukan proyek besar. Tapi keputusan-keputusan kecil yang dilakukan berulang kali oleh warga yang muak bergantung pada ketidakpastian.
Apa yang dilakukan desa-desa ini sebetulnya bukan teknologi tinggi. Mereka tidak sedang bicara tentang kecerdasan buatan atau sistem jaringan canggih. Mereka bicara tentang nyala lampu di ruang tamu. Tentang kulkas yang bisa menyimpan makanan lebih lama. Tentang pompa air yang tetap berfungsi meski PLN padam semalaman. Sederhana, tapi nyata. Dan di balik kesederhanaan itu, ada perubahan mendasar: mereka tak lagi menunggu.
Itulah yang membuat panel-panel surya di desa terasa begitu penting. Bukan karena panelnya, tapi karena makna yang dikandungnya. Setiap kilowatt yang dihasilkan dari atap rumah sendiri adalah bentuk perlawanan terhadap ketimpangan infrastruktur.
Bentuk pembuktian bahwa pembangunan tak harus selalu datang dari atas. Dan lebih dari itu, ia adalah pengingat bahwa kadang tempat yang dianggap tertinggal justru paling dulu bergerak maju tanpa bising, tanpa kamera, tapi benar-benar sampai.