Front Pembela Islam (FPI) sempat menjadi sorotan, terlebih setelah pemerintah membubarkan ormas yang sempat dipimpin Habib Rizieq Shihab.
Semenjak Habib Rizieq kembali dari Arab Saudi, gerakan agama khususnya agama Islam meningkat di tanah air. Ribuan orang antusias menyambut kepulangannya.
Habib Rizieq dipandang oleh sejumlah masyarakat sebagai orang yang keras, terlebih saat dia menyampaikan pendapatnya pada pihak yang beseberangan dengannya.
Salah satu ajaran islam yaitu amar ma’ruf nahi munkar berarti menuju yang baik dan mencegah yang buruk dipraktikan oleh sebagian besar organisasi islam dalam bersuara.
Cara Habib Rizieq mengubah tujuan menyebarkan ajaran agama islam menjadi kiat yang ‘keras’ tentunya tak luput dari bagaimana ia menunjukkan kewibawaannya untuk memperbesar pengaruhnya.
Mantan Wapres Jusuf Kalla sempat berpendapat bahwa kepopuleran Habib Rizieq sebagai pemimpin didukung oleh karakternya yaitu karismatik.
Pemimpin karismatik disebut memiliki keahlian untuk mengubah pengikutnya dengan mengalihkan tujuan, cara, dan proses.
Habib Rizieq seringkali menyuarakan narasi berupa doa, ceramah, dan protes secara keras dengan tujuan untuk mengobarkan semangat kebersamaan islam ke pengikutnya.
Sejak dahulu, masyarakat Indonesia memang menyukai orasi yang menggelegar seperti Bung Tomo pada peristiwa 10 November atau Ir. Soekarno. Hal ini menunjukkan bahwa sikapnya yang keras dan lantang memberikan semangat yang berapi-api kepada pengikutnya untuk turut menyuarakan dengan cara yang serupa.
Pemimpin yang karismatik memiliki kekuasaan yang bersumber dari pribadi orang tersebut. Hal ini seringkali disebut kekuasaan referensi, yaitu kekuasaan yang berasal dari kepribadian pemimpin yang unik atau dapat mempengaruhi banyak orang.
Karismatik dapat lahir apabila pemimpin tersebut memiliki potensi. Perlu ditelusuri bahwa gelar ‘habib’ yang terpatri dalam namanya merupakan sebutan untuk seorang yang memiliki ilmu mendalam mengenai agama, dakwah, dan menjadi teladan bagi masyarakat.
Tidak semua orang mendapat gelar habib, apabila dikorelasikan dengan pendidikan dan gelar habib yang diemban Habib Rizieq, hal itu secara eksplisit menunjukkan karismanya dalam menyebarkan ajaran Islam sebagai orang yang berpendidikan.
Menurut Robbins dan Judge (2015), kepemimpinan karismatik tidak selalu bersifat stabil dan membawa pengaruh baik secara menyeluruh. Pengaruh mereka yang besar berpotensi untuk memberikan mereka keleluasaan untuk sewenang-wenang dalam mencapai tujuan organisasi.
Habib Rizieq pernah dilaporkan kepada pihak berwenang kasus menodai lambang serta norma dasar pancasila dan menghina martabat proklamator kemerdekaan Indonesia, Ir. Soekarno.
Saat itu seruan Habib Rizieq mampu menggiring perspektif baru pengikutnya akan tiang pedoman Indonesia.
Meski sudah diberi klarifikasi bahwa hal tersebut hanya berupa kritik, sebagai seorang pemimpin seharusnya ia paham mengenai dampak dari opininya dan mengganti kata-kata yang tak senonoh menjadi lebih baik.
Kontroversi yang Habib Rizieq lakukan tak menyurutkan jumlah pengikutnya, bahkan ketika kasus yang menyeret namanya kian meningkat.
Berdasarkan teori Effendy (1989), pengikut yang didasari agama merupakan pengikut yang berani fanatik dan berani mati karena mereka percaya bahwa pemimpinnya adalah orang yang dapat dipercaya dan mengedepankan nilai agama.
Fanatisme ini dibuktikan dengan kepercayaan mereka pada Habib Rizieq meski berkali-kali berhadapan dengan lembaga hukum.
Kebanyakan pengikut Habib Rizieq selalu meyakini akan dakwahnya, mengingat pendidikan dan gelar yang diberikan kepadanya. Padahal, pernyataan yang disampaikan Rizieq kerap bertentangan dengan norma dan nilai negara.
Selain fanatisme, hal ini juga menunjukkan bahwa pengikutnya mencerminkan sifat konformis, yaitu pengikut yang aktif namun tidak kritis. Apapun yang dikatakan oleh Habib Rizieq selalu diyakini kebenarannya tanpa memperdulikan rasionalitasnya.
Tingginya pengikut Habib Rizieq juga dilatarbelakangi atas pemimpin Indonesia yang tak bisa merangkul seluruh golongan masyarakat.
Banyak pihak menggolongkan umat Islam sebagai kelompok yang radikal dan teroris.
Habib Rizieq hadir sebagai kelompok oposisi yang berani menentang pemerintah dan ketidakbenaran akan stigma tersebut.
Isu sensitif seperti penindasan, kriminalisasi, dan ketimpangan yang dirasakan oleh masyarakat muslim kerap disampaikan oleh Habib Rizieq. Sosoknya yang tegas, lantang, dan berani melawan yurisdiksi pemerintah menciptakan sense of belonging atas masyarakat Indonesia yang secara sistematis telah tertindas oleh pemerintah.
Terlepas dari bagaimana baik dan buruknya, gaya kepemimpinan Habib Rizieq harusnya dapat dijadikan refleksi untuk pemerintah dimana seorang pihak oposisi mendapatkan atensi yang tinggi dari masyarakat, khususnya umat Islam.
Tanpa jabatan strategis dalam pemerintah, Habib Rizieq mampu mengambil hati masyarakat.
Hal ini sudah seharusnya menjadi evaluasi dari tata kelola pemerintah untuk menilik kembali bagaimana karakteristik pemimpin yang baik untuk diterapkan di Indonesia.
Referensi:
Elen, Trismaya. (2020). Fenomena Habib Rizieq Shihab dalam Krisis Kepemimpinan di Indonesia. Retrieved from https://yoursay.suara.com/news/2020/11/10/164954/fenomena-habib-rizieq-shihab-dalam-krisis-kepemimpinan-di-indonesia
Muchtarom, Zaini. (2011). Konsep Max Weber tentang Kepemimpinan Karismatik. Jurnal Refleksi, 2 (3), 17-21.
Robbins and Judge. (2015). Perilaku Organisasi Edisi 16. Jakarta: Salemba Empat.
Budiarto, Yohanes. (2005). FOLLOWERSHIP : SISI LAIN KEPEMIMPINAN YANG TERLUPAKAN. Jurnal Psikologi, 3 (1), 19-22.