Seringkali kita dengar tentang bagaimana peningkatan suhu terjadi di beberapa tempat. Kejadian bencana alam atau bahkan perubahan iklim kian hari makin memprihatinkan. Fenomena ini bisa disebut sebagai pemanasan global.
Pemanasan global adalah kejadian meningkatnya suhu rata-rata atmosfer, laut, dan daratan bumi yang disebabkan oleh meningkatnya emisi gas rumah kaca. Dampak yang ditimbulkan pun di antaranya adalah peningkatan suhu bumi. Suhu yang hangat akan mencairkan es yang berada di kutub dan menyebabkan peningkatan debit air laut. Apabila pemanasan global ini terus berlangsung, maka beberapa wilayah di dunia diprediksi akan tenggelam.
Kegiatan industri menjadi salah satu faktor yang menimbulkan pemanasan global. Produk-produk industri pun banyak yang menggunakan energi fosil yang unsur pembuangannya adalah karbondioksida, sebut saja kendaraan bermotor yang kerap berlalu lalang. Belum lagi limbah-limbah yang dihasilkan dari produk fast fashion.
Perkembangan fast fashion yang kian masif membuat kuantitas barang yang diproduksi berlebih sehingga dapat menimbulkan risiko pada lingkungan. Nantinya, akan terjadi penumpukan sampah pakaian dan kain disertai pencemaran yang dihasilkan dari limbah tekstil.
Beberapa hal tersebut merupakan sebagian kecil dari penyebab pemanasan global. Memang kemajuan industri secara tidak langsung memberikan manfaat dan membantu aktivitas manusia sehari-hari. Namun, bagaimana jika kemajuan industri justru menjadi malapetaka bagi kehidupan manusia itu sendiri?
Pendidikan bisa dijadikan salah satu opsi antisipasi dari dampak pemanasan global. Dengan pendidikan, masyarakat akan mendapatkan sebuah edukasi bagaimana menjaga lingkungan yang lebih baik khususnya bagi anak muda yang duduk di bangku sekolah. Namun sayangnya, apabila kita berkaca pada pendidikan Indonesia saat ini, edukasi terkait lingkungan hidup dan pemanasan global masih dirasa kurang. Siswa belum mampu berpikir kritis akan dampak apa saja yang dapat ditimbulkan dari kegiatan industri. Pendidikan hanya sebagai pencetak “tenaga kerja” di pasar kapitalisme industri.
Sebenarnya, kritik akan pendidikan kapitalisme ini pernah dibahas oleh Bowles dan Gintis. Melalui bukunya “Schooling in Capitalist America : Educational Reform and the Contradictions of Economic Life” (1976), Bowles dan Gintis menjelaskan bahwa pendidikan hanya dijadikan sebagai alat pemenuh hal-hal kapitalis. Selain itu, pendidikan khususnya sekolah mempersiapkan siswa sebagai pekerja masa depan yang tereksploitasi, mereproduksi angkatan kerja, dan melanggengkan ketidaksetaraan kelas. Hal inilah yang membuat daya pikir kritis siswa tidak terasah dan justru malah “memenjarakan” siswa itu sendiri.
Daya kritis yang kurang akan memunculkan suatu ketidakpekaan. Pedagogi kritis sebagaimana dirumuskan oleh Giroux, hendak melawan kecenderungan semacam itu. Pedagogi kritis dapat membuat individu melakukan kritik terhadap pandangan-pandangan lama yang sudah ketinggalan zaman dan merumuskan pandangan baru tentang manusia dalam hubungannya dengan lingkungan sosial. Apabila siswa dilatih daya pikirnya maka dapat membangun sebuah kesadaran dan menciptakan perubahan sosial.
Tentunya siswa merupakan salah satu aset dan harapan untuk generasi pada masa yang akan datang. Salah satunya adalah perannya dalam isu pemanasan global. Mobilisasi yang dilakukan siswa bisa menjadi motor tekanan politik bagi pemerintah untuk merancang kebijakan-kebijakan khususnya mengenai lingkungan hidup. Sayangnya, tidak banyak siswa yang paham akan isu ini ditambah suara para siswa yang kerap kali dikesampingkan.
Saya harap pendidikan di Indonesia bisa jauh lebih baik ke depannya. Pendidikan harus melatih nalar-nalar kritis untuk perubahan yang lebih baik di kemudian hari. Perlu kita ketahui bahwa menjaga lingkungan hidup dari pemanasan global tidak hanya didedikasikan bagi lingkungan itu sendiri, melainkan didedikasikan bagi umat manusia agar dapat hidup lebih lama di bumi yang kita sayangi ini.