Pentingnya Mengesahkan RUU PKS bagi Keselamatan Korban Kekerasan Seksual

Ayu Nabila | Maulidya Putri Mustafa
Pentingnya Mengesahkan RUU PKS bagi Keselamatan Korban Kekerasan Seksual
Ilustrasi korban kekerasan seksual (pexels)

Belakangan ini di beberapa daerah banyak dijumpai kasus kekerasan seksual yang dialami anak-anak dan remaja, mayoritas dialami oleh perempuan. Permasalahan mengenai kekerasan dan pelecehan seksual di Indonesia tidak hanya terjadi sekali dua kali saja. Pelaku kekerasan dan pelecehan dapat ditemukan di mana saja dan bisa terjadi kapan saja tanpa mengenal gender, status, usia, tempat, pendidikan, dan jabatan. Mirisnya, kekerasan seksual pada dasarnya banyak dan seringkali terjadi di tempat menimba ilmu seperti sekolah, kampus dan pondok pesantren.

Segala bentuk kekerasan kepada perempuan adalah suatu tindakan yang sangat tidak manusiawi, perempuan berhak mendapat perlindungan hukum Hak Asasi Manusia (HAM) dan keleluasaan asasi di seluruh aspek. Pelaku kekerasan seksual rata-rata berusia 13-17 tahun baik kontak fisik, verbal, dan tertulis. Kekerasan seksual verbal dapat berbentuk candaan atau pandangan tentang perempuan sebagai objek seks yang membuat tidak nyaman atau merendahkan perihal penampilan, bentuk tubuh, pembicaraan bernuansa seksual. Sementara, kekerasan seksual tertulis seperti mempertunjukkan gambar perempuan sebagai objek seks, mengirim pesan, gambar bernuansa seksual secara manual atau elektronik.

Kekerasan seksual secara fisik contohnya menyentuh bagian tubuh tertentu yang tidak diinginkan seperti memegang tangan korban, mencolek, mencium dsb. Pelaku bisa datang dari keluarga, teman sebaya, pasangan, orang dewasa baik yang dikenal ataupun yang tidak dikenal. Secara psikologis akibat yang ditimbulkan dari kekerasan seksual korban bisa depresi karena menganggap dirinya kotor, tidak berharga hingga menyalahkan dirinya sendiri serta muncul rasa curiga terhadap orang lain dalam waktu yang cukup lama. Untuk korban pemerkosaan yang mengalami tekanan mental sangat hebat, ada kemungkinan memiliki keinginan untuk bunuh diri. Dari beberapa penelitian hasilnya menunjukkan bahwa 30% dari perempuan yang diidentifikasi mengalami pemerkosaan bermaksud untuk bunuh diri, 31% mencari psikoterapi, 22% mengambil kursus bela diri, dan 82% tidak dapat melupakan.

Perjalanan pergerakan perempuan, kelompok yang sering digolongkan sebagai ”second class citizens” telah sangat panjang dalam mengusahakan hak-hak mereka agar sepadan dengan kaum laki-laki. Beragam badan dan pranatapun telah dibentuk untuk melaksanakan pemberdayaan atas perempuan. Hingga kini, Indonesia belum memiliki suatu undang-undang secara khusus mengatur atas penghapusan seluruh bentuk kekerasan terhadap perempuan. Hukum yang digunakan saat ini jika terjadi aksi kekerasan terhadap seorang perempuan adalah Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT). Namun faktanya, UU tersebut sangat jauh dari kata melindungi perempuan, mengingat sangat banyak kasus kekerasan seksual yang dibiarkan terluntah di "tengah jalan."

Kasus kekerasan seksual harus mendapatkan perhatian serius dari negara selaku penanggung jawab yang memberi perlindungan untuk perempuan dan anak. Hal paling terpenting , yakni kebijakan yang menyangkut kekerasan seksual, baik dalam hal pencegahan, perlindungan, ataupun penanganan, termasuk di internet, untuk menciptakan ruang aman bagi perempuan dan anak perempuan. Seharusnya negara tidak menunda-nunda kebijakan Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Sesksual (RUU PKS) serta segera memberlakukan R-KUHP menjadi KUHP Nasional, supaya para pelaku pelecehan dapat dipidana sesuai dengan ancaman pidana yang telah diatur dalam R-KUHP. 

Negara harus menindaklanjuti kekerasan dan pelecehan yang dilakukan terhadap perempuan dan anak perempuan  serta tidak bernaung dibalik pertimbangan adat atau keagamaan. Upaya preventif yang perlu dilakukan yaitu:

1. Mendorong Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan Kementerian Agama memasukkan pendidikan kesehatan reproduksi dan seksualitas (pendidikan seksualitas komprehensif) ke dalam kurikulum yang dimulai dari pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar dan menengah sesuai tujuan 3, 4 dan 5 SDG’s. Dalam upaya menjamin perlindungan perempuan pembela HAM, yaitu mendesak Kementerian Koordinator Politik Hukum dan Keamanan dan Kementerian Hukum dan HAM menjamin perlindungan perempuan pembela HAM melalui perlindungan perempuan pembela HAM.

2. Mendorong Komisi III DPR RI merevisi undang-undang HAM dengan menuangkan mekanisme perlindungan perempuan pembela HAM.

3. Mendorong komisi perlindungan anak indonesia (KPAI) untuk aktif mensosialisasikan serta melaksanakan pengawasan terhadap perlindungan anak yang mana tercantum di undang-undang tentang perlindungan anak.

4. Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) perlu bekerja sama dan melakukan sosialisasi dalam mencegah kekerasan seksual pada anak di semua sekolah, institusi kesehatan, termasuk guru dan orang tua sebagai sasaran.

Sementara untuk tindakan represif korban harus berani berbicara ke keluarga atau orang terdekat supaya kejadian tersebut bisa dilaporkan ke pihak yang berwenang untuk menegakkan hukum yang adil dan pelaku tidak mencari korban selanjutnya. Oleh karena itu sebagai korban kekerasan seksual, jangan pernah takut untuk berbicara dan melaporkan tindakan asusila. Berani berbicara untuk melindungi diri sendiri. Berani berbicara karena kita benar.

Kemudian, untuk urusan melindungi korban kekerasan seksual di ranah lingkungan, sangat diperlukan mematahkan budaya playing victim atau menyalahkan korban yang langgeng di masyarakat. Masyarakat harus meningkatkan rasa kepedulian terhadap para korban atau penyintas, karena partisipasi dari masyarakat dapat memunculkan harapan meminimalisir pelaku melakukan tindak kejahatan kekerasan dan pelecehan seksual.

Mari berpatisipasi untuk selamatkan ibu pertiwi dari segala bentuk kekerasan seksual, terutama yang banyak menimpa perempuan sebagai korban! Kami bersama korban!

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak