Haruskah Kasus Pelecehan Seksual di Lingkungan Kampus Terjadi Lagi?

Hikmawan Muhamad Firdaus | Reyhan Aldy Wibowo
Haruskah Kasus Pelecehan Seksual di Lingkungan Kampus Terjadi Lagi?
Ilustrasi korban kekerasan seksual. (Pixabay/Favor)

Saat menyeruput kopi sambil menonton TV sore hari ini, terusik pikiran saya saat melihat berita tentang kasus pelecehan seksual di kampus yang menyeruak ke khalayak ramai. Pikiran pun melayang ke suatu memori tentang peristiwa yang terjadi di negara adikuasa di tahun 2015 silam.

Erica Kinsman, mantan mahasiswi Universitas Negeri Florida, akhirnya bisa menyelesaikan gugatannya terhadap mantan universitasnya sebesar 950.000 dolar (Rp 13,5 miliar) untuk kasus perkosaan yang dialaminya di tahun 2015. Walaupun begitu, ia hanya bisa pasrah karena sang pelaku - seorang quarterback FSU bernama James Winston, bisa melenggang dengan bebas. Tiga tahun lamanya ia berjuang karena kasusnya salah ditangani selama bertahun-tahun oleh administrasi yang kikuk, yang bermaksud melindungi program sepak bolanya.

Kasus pelecehan yang dialami oleh Kinsman di atas, juga terjadi di Indonesia. Dari penelusuran penulis, di tahun 2021 ini saja setidaknya sudah terungkap beberapa kasus pelecehan seksual yang terjadi di institusi pendidikan. Kasusnya bervariasi, bisa antar mahasiswa, dosen dengan mahasiswa maupun antara dosen sendiri. Modusnya bisa antara mahasiswa senior dengan juniornya atau dosen dengan mahasiswa pada saat bimbingan skripsi, atau saat sedang mengajar.

Menggunakan kuasa dosen sebagai pembimbing skripsi dan pembimbing penelitian, seorang dosen dapat melakukan pelecehan seksual secara fisik dan non fisik di tengah bimbingan skripsi. Contohnya adalah kasus yang saat ini tengah viral, yaitu kasus pelecehan seksual yang dialami oleh seorang mahasiswi UNRI. Seorang Dekan di universitas tersebut disinyalir melakukan pelecehan seksual kepada salah seorang mahasiswinya saat sedang melakukan bimbingan skripsi. Akibat dari perbuatan tersebut akhirnya korban melaporkan Dekan FISIP tersebut ke Polresta Pekanbaru. Saat ini terdakwa masih dalam proses penyelidikan.

Di tahun yang sama, kasus serupa terjadi pada seorang mahasiswi UNSRI, dimana dosen A di Universitas Sriwijaya, Sumatera Selatan, melakukan pelecehan seksual pada mahasiswinya tersebut di Laborotarium Kampus UNSRI di Indralaya saat penyelesaian skripsi. Dosen A diketahui menjabat sebagai Kepala Laboratorium di kampus, bukan sebagai Kepala Jurusan. Pasca kejadian itu, A sudah dicopot dari jabatan Kepala Laboratorium.

Sebelumnya, ada juga kasus pelecehan seksual yang terjadi di IAIN tahun 2020, yaitu kasus pelecehan seksual di Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (IAIN ). Diduga kasus ini dilakukan oleh dosen bertitel Doktor yang melecehkan seorang mahasiswi bernama Fitri, yang juga dilakukan saat sedang melakukan bimbingan skripsi, namun kasus tersebut tidak masuk ke ranah hukum.

Penyelesaian kasus pelecehan seksual yang terjadi di institusi pendidikan, terkesan seperti dilakukan setengah hati. Lambannya penanganan kasus kekerasan seksual di kampus menjadi buktinya. Penanganan kasus yang lama dan berbelit-belit dari pihak kampus justru menghambat korban untuk mendapatkan keadilan. Kepentingan untuk menyelamatkan image atau reputasi kampus kadang diutamakan daripada sekadar kasus pelecehan seksual yang dianggap belum tentu kebenarannya.

Biasanya tuduhan dari pihak kampus bahwa tindakan tersebut karena didasari oleh suka sama suka. Tindakan yang ditempuh pihak perguruan tinggi pun masih sebatas mengamankan nama baik kampus. Tindakan administrasi biasanya dipakai menjadi hukuman paling ampuh yang paling sering dipakai untuk menyelesaikan kasus kekerasan seksual di kampus. Jika perguruan tinggi yang menjadi tempat kalangan orang terdidik saja masih tidak memiliki perhatian penuh dalam penyelesaian kasus kekerasan seksual di dalamnya maka sulit untuk mendapatkan keadilan bagi korban.

Apa yang dapat dilakukan?

Menurut penulis, ada dua hal yang bisa dilakukan untuk meminimalisasi kasus pelecehan seksual baik di institusi pendidikan maupun di tempat lain. Dari sisi institusi pendidikan sendiri misalnya, pihak kampus seharusnya perlu ada penegakan hukum dan kemudahan bagi korban untuk melaporkan kejadian pelecehan seksual yang di alami. Pihak kampus dapat menyediakan portal hotline tersendiri untuk melaporkan kasus kekerasan seksual yang di terjadi lingkungan kampus. Dalam portal tersebut dijelaskan mulai dari prosedur pelaporan ke pihak kampus, jaminan kerahasiaan pelapor, hingga jaminan bahwa kampus akan membawa laporan ke ranah hukum disertai dengan pendampingan psikologis bagi korban. Pihak perguruan tinggi kemudian memberikan dukungan dan membuat prosedur yang tegas dan jelas untuk menindak pelakunya.

Dari sisi undang-undang, Pemerintah Indonesia dan DPR bisa bekerja sama untuk merevisi undang-undang yang ada dengan memberikan hukuman yang lebih berat. Misalnya memberikan vonis yang lebih berat seperti hukuman penjara yang lebih lama atau hukuman yang lebih menakutkan seperti hukuman kebiri. Hal ini untuk menimbulkan efek jera, karena hukuman sosial bagi pelaku dipandang masih terlalu ringan.

Perlu diketahui, rata-rata korban pelecehan seksual mengalami trauma psikologis yang cukup berat. Tak sedikit korban pelecehan seksual mengalami cedera fisik dan luka batin usai kejadian memilukan tersebut dan, dapat memengaruhi kualitas kehidupannya.

Dalam hal ini penulis merasa perlu mengapresiasi Mendikbud Ristek Nadiem Makarim yang mengusulkan Rancangan Undang-Undang n0. 30 tahun 2021/Permendikbud 30 tentang Tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi. Undang-undang ini dibuat untuk mengisi kekosongan dasar hukum yang melindungi kasus kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi. Yang pada akhirnya bertujuan agar institusi pendidikan menjadi sarana edukasi bagi masyarakat yang aman dan baik yang menjunjung tinggi nilai moral dan keberadaban .

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak