Di Klaten, terdapat ritual ganti nama yang biasanya dilakukan untuk ruwatan atau ganti nama sebelum menikah. Selumbari, saya menyaksikan ritual ganti jeneng dilakukan. Dalam hal ini, pergantian nama digunakan untuk ruwatan bayi.
Ganti nama dalam kultur Jawa memang disebabkan oleh beberapa faktor, salah satunya adalah dirasa tidak idealnya nama yang diberikan kepada si jabang bayi, sehingga perlu diganti untuk menemukan keidealan. Dalam kasus yang saya jumpai, istilah “kabotan jeneng” kiranya patut untuk dituliskan. Sebab, istilah inilah yang ideal digunakan agar tidak mengurangi nilai dan makna dari penyebab ritus ini.
Bermula dari peristiwa yang dialami oleh si jabang bayi: sering sakit-sakitan, tidak mau terlepas dari gendhongan sang ibu, tidak mau berjalan meskipun sudah waktunya berjalan, dan peristiwa-peristiwa lain. Ibu dari si jabang bayi berkeyakinan bahwa nama dari si jabang bayi menjadi salah satu faktor penyebab peristiwa-periswa terpapar terjadi.
Dalam maksud lain, si jabang bayi tidak mampu mengampu sematan nama yang diberikan. Akhirnya, sang ibu memutuskan untuk mengganti nama dari si jabang bayi yang kemudian bertujuan untuk memutuskan peristiwa-peristiwa yang dialami oleh si jabang bayi.
“Nama dari si jabang bayi sebelumnya adalah Dara Maheswari yang memiliki makna Dara: darah; Maheswari: dewi yang maha agung. Keseluruhan maknanya adalah aliran darah dari dewi yang maha agung. Syahdan, namanya diganti menjadi Ida Sri Lestari yang mempunyai makna Ida: perempuan; Sri: Subur, Dewi Sri; Lestari: Asri, ngrembaka. Secara keseluruhan artinya adalah perempuan yang subur dan ngrembaka". (Wawancara Sulis selaku ibu).
Nama yang digunakan kiwari mempunyai maksud agar si jabang bayi segera beranjak dari peristiwa-peristiwa yang sebelumnya menuju kelestarian yang dimaksud (sesuai atas nama yang diberikan). Selain itu, seusai diganti namanya, si jabang bayi tidak lagi menempuh peristiwa sakit-sakitan, tidak lagi selalu minta digendhong, serta mau berjalan kaki.
Ritus
Mendung menjadi penyaksi akan peristiwa selumbari. Asap dupa beriringan naik menuju langit. Gelak tangis si jabang bayi mengisi kesenduan sekaligus memecah ketegangan ritus itu. Sesekali, gaungan sapi menyela di telinga. Dengan baju dan peci lusuh, celana pendek, serta kacamata tua, tertampak sikap sila mengarah ke timur yang dilakukan oleh Simbah Yakub. Diyakini, bahwa arah timur adalah kelahiran laiknya surya yang terbit tiap waktu di kala fajar. Pun, untuk kehidupan yang menyandang nama baru. Kedua tangan menungkup di depan dada, jemarinya mengapit tiga buah dupa. Teriring, lantunan doa terlontar dari bibir Mbah Yakub.
Di depannya, terdapat sesaji yang digunakan sebagai sarana penebusan akan ritus yang dilakukan: buah-buahan, jajanan pasar, sego liwet, jenang-jenangan, air kembang yang terkandung dalam sebuah wadah tanah liat dan panci, serta beberapa dedaunan. Di samping kiri Mbah Yakub, duduk sang ibu yang memangku si jabang bayi. Desak tangis tercoret di wajah sang bayi, air matanya menetes hingga di leher. Dekapan sang ibu senantiasa menyelimuti, hangat jemarinya selalu mengusap air mata yang kian menetes. Peristiwa ini menjadi panorama awal dari rentetan peristiwa ritus.
***“Katur dhateng jabang bayi Dara Maheswari, kanthi sarana ingkang sampun katoto, mugyo dados sarana cekap anggen ngolah-alih asma kanthi asma Ida Sri Lestari. Lepat-luput anggenipun kulo matur, paringono samudro pangaksomo” Demikian kiranya lantunan doa yang diucapkan.
Seusai doa ini terlontar, ditancapkanlah ke tiga dupa ke tanah. Syahdan, Mbah Yakub membenarkan pecinya, diambilah air kembang di depan kanannya. Dari air ini, si jabang bayi kemudian dibasuh di mukanya. Ajaibnya, si jabang bayi terdiam dari isaknya. Lambat laun, sumringah lekas merekah dari rona si jabang bayi.
Dengan gelas, air dibasuhkan ke tubuh sang bayi. Tangis tidak lagi mewarnai peristiwa yang terjadi. Sebaliknya, senyum riang terpancar ketika air mulai membasuh tubuh sekujurnya. Mimik sang ibupun nampak tersendu. Anak yang sebelumnya sering menangis, yang lengket dengan gendongannya, akhirnya mampu tertawa, mampu lepas dari gendhongannya, bahkan mau berlama-lama berdiri dengan telapak kakinya sendiri. Beberapa tetes air mata sang ibupun turut membasuh ke dalam tubuh sang anak. Sungguh pemandangan yang mengharukan!
Mbah Yakub berjongkok untuk mengambil segepok daun. Daun jaranan masyarakat sekitar menamainya. Dengan daun itu, Mbah Yakub memecut si jabang bayi dari belakang. Dengan beberapa kali pecutan, si jabang bayi melangkangkahkan kaki ke depan, tentu melalui bantuan sang ibu (tetah: melatih anak berjalan). Sembari berjalan, pecutan tetap dilakukan hingga kira-kira lima meter perjalanan. Keajaibanpun saya jumpai untuk ke dua kalinya. Jabang bayi yang sebelumnya tidak atau belum mau berjalan, melalui ritus ini ia mau berjalan. Selain itu, saya terbesit pemahaman ihwal daun jaranan yang digunakan dalam ritus. Barangkali, penggunaan duan jaranan menyesuaikan atas nama dari daun tersebut. Harapannya, agar si jabang bayi mampu berjalan, bahkan berlari laiknya kuda.
*** “Kanthi pecahing aron, sirep-sirep-sirep, sumingkiro sukertane!” Teriak Mbah Yakub.Dengan lantang, Mbah Yakub berteriak sembari memegang sebuah wadah dari tanah liat di tangan kanannya. Wadah itu ia angkat lebih tinggi dari kepalanya. Dengan ancang-ancang yang terbatas, dibantinglah wadah tersebut hingga pecah. Peristiwa ini menyimbolkan tentang hancurnya ‘kotoran’ yang melekat dalam tubuh si jabang bayi. Dengan hilangnya ‘kotoran’, harapnya si jabang bayi mampu beranjak dan ‘kotoran’ yang menghambat tumbuh-kembang si jabang bayi juga menghilang.
Kiranya, simbol semacam ini seringkali dijumpai pada tradisi di Jawa, seperti pemecahan genting rumah/gelas dan piring ketika ada upacara kematian. Pemecahan tersebut dilakukan ketika jenazah akan diberangkatkan. Makna dari pemecahan tersebut juga sama, yakni menghilangkan ‘kotoran’ agar turut terbawa dan terkubur ke dalam liang. Terakhir, air kembang yang tersisa digunakan untuk memandikan si jabang bayi. Sesaji yang digunakan sebelumnya dibagi-bagikan kepada anak-anak lain yang ada di sekitar rumah.
*** Ganti jeneng sudah menjadi tradisi yang turun-temurun dilakukan di Jawa, meskipun keberadaannya kian tergerus, eksistensi dari tradisi ini juga kian usang; namun makna serta cerita dari tradisi ini patut untuk dikisahkan dari generasi ke generasi. Karena, tradisi ini sudah menemani masyarakat Jawa dalam berkehidupan sejak lampau. Dengan adanya tradisi ini, doa saya pribadi kepada jabang bayi Ida Sri Lestari, semoga mampu beranjak atas peristiwa lalu. Mampulah lestari laiknya namamu yang tersemat doa dari ibumu. Semoga dengan pergantian namamu, ukiran baru yang lebih baik dapat terukir. Amin!