Perkembangan media sosial telah melahirkan profesi baru yang menarik yakni bookfulencer atau book-influencer. Mereka adalah individu yang menggunakan platform seperti Instagram (dikenal sebagai Bookstagram) dan TikTok (BookTok).
Tujuan uama dari para book-influencer tersebut adalah untuk merekomendasikan, mengulas, dan mendiskusikan buku. Fenomena ini telah mengubah cara buku dipromosikan dan dikonsumsi oleh masyarakat luas.
Ulasan buku, yang dulunya merupakan ranah bagi para kritikus sastra, kini juga menjadi milik para komunitas digital yang dipimpin oleh book-influencer.
Secara ekonomi, para book-influencer telah menjadi kekuatan pemasaran yang tidak bisa diremehkan. Mereka berhasil membangun model monetisasi yang beragam, apalagi bagi para book-influencer yang telah memiliki nama dan branding yang besar.
Salah satunya adalah kerja sama berbayar dengan penerbit, penulis, atau toko buku. Mereka dibayar untuk membuat unggahan promosi, mengadakan giveaway, atau memberikan ulasan buku.
Selain itu, afiliasi marketing juga menjadi sumber penghasilan, di mana mereka mendapatkan komisi dari setiap penjualan buku yang terjadi melalui tautan atau kode khusus yang mereka bagikan.
Model bisnis ini tentunya tidak hanya menguntungkan influencer tetapi juga memberikan dampak langsung pada industri penerbitan.
Fenomena "BookTok made me buy it" menjadi bukti nyata bagaimana video viral bisa mendorong penjualan buku, bahkan untuk judul-judul buku lama yang sudah tidak lagi populer.
Dilansir dari shopify.com "BookTok made me buy it" menjadi salah satu tagar tren populer yang bisa mengubah strategi bisnis kecil yang menggunakan platform TikTok.
Melalui ulasan produk yang positif, dan tekstimoni yang sesuai dengan kondisi konsumen cenderung akan meningkatkan visibilitas dan penjualan.
Penerbit kini melihat para book-influencer sebagai bagian integral dari strategi pemasaran, sering kali lebih efektif daripada iklan tradisional.
Pada dasarnya, Bookstagram dan BookTok memiliki karakteristik dan dinamika yang berbeda namun saling melengkapi. Bookstagram cenderung menekankan estetika visual.
Unggahan di platform ini sering kali berupa foto-foto buku yang artistik yang diiringi dengan ulasan berupa teks yang terstruktur.
Sebaliknya, BookTok mengandalkan konten video pendek yang lebih dinamis dan viral. Dengan durasi yang singkat, fokusnya lebih pada reaksi emosional, alur cerita yang memancing rasa penasaran, dan cuplikan yang membuat penonton merasa relatable.
Misalnya, sebuah video yang menunjukkan reaksi emosional saat membaca adegan plot twist bisa viral dan memicu lonjakan penjualan buku tersebut.
Kedua platform ini berhasil menciptakan komunitas membaca virtual yang kuat. Ulasan buku tidak lagi didominasi oleh kritikus profesional, melainkan didemokratisasi oleh pembaca biasa yang bisa berbicara dengan bahasa yang lebih santai dan jujur.
Hal ini membuat ulasan sebuah buku juga terasa lebih otentik dan mudah dijangkau. Namun, pergeseran budaya ini juga membawa tantangan. Salah satunya adalah isu etika dan transparansi.
Banyaknya ulasan berbayar memunculkan pertanyaan tentang objektivitas. Apakah book-influencer tetap jujur jika mereka tidak menyukai buku yang dibayar untuk diulas?
Selain itu, dinamika ini juga dapat membuat sebuah pandangan di mana pembaca hanya terpapar pada buku-buku yang sedang viral atau genre yang serupa, sehingga membatasi eksplorasi mereka terhadap buku-buku lain.
Meskipun begitu, tidak bisa dipungkiri bahwa peran book-influencer dalam mendorong tingkat literasi dan mempopulerkan kembali kegiatan membaca di kalangan anak muda sangatlah signifikan.
Fenomena book-influencer adalah cerminan bagaimana media sosial telah mengintervensi industri konvensional dan mengubahnya menjadi ekosistem baru yang sesuai dengan tantangan dan perkembangan zaman.
Mereka bukan hanya pembuat konten, melainkan juga pendorong ekonomi dan pembentuk budaya. Masa depan industri buku akan semakin bergantung pada bagaimana penerbit dan book-influencer terus berkolaborasi, dengan catatan, tetap mengedepankan transparansi dan integritas.