Salah satu hal yang paling penting dalam pembangunan adalah pendidikan. Pendidikan memegang peranan yang penting dalam pembangunan negara, khususnya bagi negara berkembang seperti Indonesia. Ditambah lagi, saat ini Indonesia sedang berusaha menyukseskan SDGs atau Sustainable Development Goals.
SDGs adalah suatu rencana aksi global yang disepakati oleh para pemimpin dunia, termasuk Indonesia, untuk mengakhiri kemiskinan, mengurangi kesenjangan dan melindungi lingkungan. SDGs berisi 17 Tujuan dan 169 target yang diharapkan dapat dicapai pada tahun 2030.
Salah satu target SDGs adalah pendidikan yang bermutu. Caranya dengan memastikan terlaksananya pendidikan yang inklusif dan berkualitas setara, serta mendukung kesempatan belajar seumur hidup bagi semua orang.
Pemerataan pendidikan yang dimaksud tentu bukan hanya pemerataan di desa atau kawasan terpencil saja. Namun, juga pemerataan pendidikan baik bagi perempuan ataupun laki-laki di Indonesia. Seperti yang kita tahu, budaya patriarki di Indonesia sudah mengakar kuat. Berbagai penelitian dalam literatur menunjukkan bahwa citra, peran, dan status perempuan telah diciptakan oleh budaya menyeluruh. Sejak lahir, hidup perempuan sudah diatur oleh masyarakat. Alur hidup perempuan dianggap hanya sebatas lahir, bersekolah, bekerja, menikah, dan melahirkan.
Masyarakat kita sering menyebut bahwa itu adalah kodrat perempuan. Padahal kodrat perempuan hanyalah menstruasi, mengandung, melahirkan, dan menyusui. Terlepas dari hal itu, perempuan memiliki kesempatan yang sama dengan laki-laki termasuk dalam bidang pendidikan.
Perempuan dianggap tidak perlu sekolah tinggi karena pada akhirnya mereka hanya akan menjadi ibu rumah tangga. Perempuan juga seakan tidak diizinkan untuk berada di sektor publik. Apabila ada keluarga yang hanya bisa membiayai satu anak untuk menempuh pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, dapat dipastikan bahwa kesempatan tersebut akan diberikan pada anak laki-laki.
Diskriminasi perempuan dalam sektor pendidikan akibat dari budaya feodal patriarki menyebabkan tingginya angka putus sekolah pada perempuan di Indonesia. Di daerah pesisir Madura misalnya. Masyarakat pesisir Madura menganggap bahwa posisi perempuan berada di bawah laki-laki.
Menurut hasil penelitian, para orang tua berpendapat bahwa tidak ada gunanya memberikan akses pendidikan bagi anak perempuan hingga ke perguruan tinggi. Sebab, nantinya mereka akan menikah dan ikut dengan suami yang bekerja sebagai nelayan. Mereka hanya perlu mengurus kebutuhan rumah dan anak. Karena pemikiran itulah, di daerah pesisir Madura masih banyak terjadi pernikahan dini khususnya pada perempuan yang berasal dari keluarga miskin.
Contoh lainnya adalah diskriminasi perempuan pada sektor pendidikan yang terjadi di Kecamatan Majalaya Kabupaten Karawang. Menurut peneliti, ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya diskriminasi pada perempuan dalam pendidikan yaitu, akses sekolah yang cukup sulit, kontrol orang tua yang kuat di mana keputusan dalam keluarga masih didominasi oleh laki-laki.
Selain itu, tradisi menikah di usia muda yang ada di Kecamatan Majalaya juga merupakan faktor kuat terjadinya diskriminasi perempuan dalam pendidikan di daerah tersebut. Terlebih lagi, semakin tinggi jenjang sekolah, semakin tinggi juga biaya yang harus dikeluarkan. UU PT No.12 Tahun 2012 adalah bentuk pelepasan tanggung jawab negara pada sektor pendidikan dan melepaskannya pada sistem pasar. Undang-undang tersebut tentu mempersulit masyarakat khususnya perempuan untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi.
Pembangunan khususnya pembangunan sektor pendidikan tidak bisa berjalan lancar apabila masyarakat tidak bisa mendapatkan akses yang semestinya. Serta, pembangunan tidak akan terjadi apabila tidak ada kolaborasi antar gender. Baik perempuan maupun laki-laki, harusnya memiliki kesempatan yang sama untuk berada di berbagai sektor. Stereotip dan pengotakan bahwa perempuan hanya berada di sektor domestik dan laki-laki di sektor publik harus mulai dihilangkan.