Memaafkan Tanpa Syarat, Benarkah sebagai Obat Mujarab?

Hernawan | Yunita Purnamasari
Memaafkan Tanpa Syarat, Benarkah sebagai Obat Mujarab?
Ilustrasi tolong menolong (Unsplash/Austin Kehmeier)

Bulan Ramadhan merupakan momentum untuk saling memaafkan. Lisan yang tak bertulang ini mudah sekali melontarkan guyonan yang tanpa sengaja bisa melukai perasaan orang lain. Apalagi sekarang, tempat tinggal umat manusia terbagi menjadi dua alam. Alam nyata dan alam maya. Siapa yang menjamin kita tak melakukan kekhilafan satu pun? Mumpung di bulan penuh berkah, umat Islam berbondong-bondong meminta maaf. Namun, benarkah kita telah benar-benar memaafkan?

Saya teringat akan sebuah seminar ESQ yang meminta para pesertanya untuk mengingat-ingat perasaan buruk yang pernah menimpanya. Kemudian tarik napas panjang dan keluarkan perlahan sambil dalam hati berucap “aku ikhlas dengan masa lalu itu”. Kemudian tap di bagian titik tertentu pada wajah: dahi dan dagu. Ulangi beberapa kali.

Beberapa peserta banyak yang tidak merasakan perubahan itu. Saat ditanya bagaimana perasaanya, mereka menjawab bahwa masih tetap marah dengan seseorang itu. Kemudian pemandu ESQ meminta beberapa peserta untuk melakukan ritual niat terlebih dahulu. Niat dalam hati dengan berucap “saya akan memaafkan si fulan yang pernah menyakiti hati saya”. Tak beberapa lama kemudian ruangan seminar riuh dengan isak tangis peserta. Mereka menahan perasaan karena “wajib” hukumnya memberi maaf agar jiwa raga sehat.

Benar adanya, alim ulama pernah menuturkan dalam kajiannya bahwa manusia itu juga diuji perasaannya. Kadang ada seseorang yang Tuhan izinkan untuk menyakiti perasaan kita. Namun, jika kita rela memaafkan, maka kita dan mereka bagaikan kawan dekat yang seolah tak pernah ada perselisihan.

Kemudian, jika ingin sehat hatimu, maka jaga lisanmu jangan sampai menyakiti perasaan saudaramu. Karena salah satu tanda seseorang yang hatinya sakit adalah keluar kata-kata tak baik melalui lisannya. Bahkan disebutkan juga bahwa obat dari penyakit hati itu adalah diri orang itu sendiri. Tidak mau memaafkan seseorang yang pernah bersalah kepada kita juga termasuk di dalam kategori yang hatinya sedang sakit. Segala perasaan negatif di dalam hati merupakan bibit penyakit yang jika dibiarkan akan semakin bertumbuh subur.

Memaafkan itu sejatinya untuk kebaikan diri kita sendiri. Memaafkan memiliki efek domino yang dahsyat.  Sekali memutuskan untuk memaafkan, maka pintu ketenangan telah dibuka. Aktivitas harian menjadi mudah. Sejak pagi hingga malam dan bergegas tidur akan diliputi kekuatan berkreasi dan berinovasi. 

Selain itu, pembenci akan takluk dihadapan pemaaf. Sikap memaafkan yang tulus akan memberi aura positif bagi diri kita. Lingkungan sekitar akan merasakan ketenangan ketika berdekatan dengan orang yang senang memaafkan kesalahan orang lain.

Seorang pemaaf akan selalu bahagia, sehingga akan memiliki detak jantung yang tenang, stabil dan  aliran darahnya mengalir sesuai ketentuan. Tidur pasti nyenyak tanpa berpikir buruk yang merusak jiwanya. Makan pun menjadi nikmat. Jika sudah demikian dengan rahmat Tuhan Yang Maha Pemurah tentu akan jauh dari penyakit. Memaafkan dengan tulus, tanpa syarat bagaikan obat yang mujarab. Dan obat itu tak ada di apotek mana pun, tetapi hanya ada pada diri kita sendiri. 

*Yunita Purnamasari, S.Pd, Guru SD Al Falah Darussalam Sidoarjo

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak