Menggagas Pembelajaran Bahasa melalui Teori Konstruktivistik

Candra Kartiko | Octavian Muning_UNY
Menggagas Pembelajaran Bahasa melalui Teori Konstruktivistik
Pembelajaran tematik bermuatan Bahasa Indonesia di SDN Pujokusuman 1 (dokumentasi pribadi penulis)

“Tanpa mempelajari bahasa sendiri pun orang takkan mengenal bangsanya sendiri”.

-Pramoedya Ananta Toer-

Jika seseorang ingin tetap eksis dalam sebuah peradaban sebuah masyarakat, maka dia harus menguasai bahasa yang digunakan lingkungan setempat. Keberadaan bahasa sangat strategis digunakan sebagai alat komunikasi dan interaksi di lingkungan masyarakat. Indonesia sendiri menetapkan Bahasa Indonesia sebagai bahasa negara, bahasa persatuan, dan bahasa nasional.

Penetapan tersebut memberikan ruang Bahasa Indonesia sebagai bahasa yang wajib dikuasai warga negara Indonesia. Tak ayal jika Bahasa Indonesia merupakan salah satu mata pelajaran wajib dalam pembelajaran di sekolah. Namun walaupun Bahasa Indonesia dipelajari secara formal oleh anak sejak bangku sekolah dasar, namun masih saja muncul problematika di dalam pembelajarannya. 

Seharusnya Bahasa Indonesia yang notabene berfungsi sebagai alat komunikasi harus dikuasai dengan baik oleh siswa. Kurangnya penguasaan keterampilan berbahasa akan menjadikan siswa terasing di lingkungannya. Bagi anak sekolah dasar yang juga seorang pembelajar bahasa hendaknya senantiasa mengembangkan kemampuan berbahasa tersebut agar menjadi pembelajar yang mahir.

Hal ini mengharuskan pendampingan guru serta orangtua secara lebih kreatif dan inovatif. Bagaimana peran guru dan orang tua dalam mengajarkan Bahasa Indonesia pada anak-anak inilah yang akan dibahas. 

Banyaknya perkembangan teori belajar akan memberikan masukan yang beragam pada guru dan orangtua. Mulai dari behavioristik, kognitif, humanistik, dan konstruktivistik. Semuanya tentu memiliki karakteristik disertai dengan kelemahan dan kelebihannya masing-masing. Namun sebagai pendamping anak dalam belajar hendaknya guru atau orangtua berpegang pada salah satu aliran agar mudah dalam mencapai tujuan belajar bahasa. 

Salah satu teori yang akan dibahas kali ini adalah teori konstruktivistik. Teori ini lahir sebagai perkembangan dari teori—behavioristik, humanistik, kognitivistik— yang sudah lahir sebelumnya. Teori konstruktivistik Vygotsky lebih menitikberatkan interaksi dari faktor-faktor interpersonal (sosial), kultural-historis, dan individual sebagai kunci dari perkembangan manusia.

Vygotsky mengungkapkan beberapa gagasan penting dalam teorinya yaitu anak-anak secara aktif membangun pengetahuan dan pemahaman mereka. Dalam teori Vigotsky, anak-anak lebih sering digambarkan sebagai makhluk sosial, agak berbeda dengan teori Piaget. Mereka mengembangkan cara-cara mereka dalam berpikir dan pemahaman, terutama melalui interaksi sosial.

Perkembangan kognitif mereka bergantung pada alat yang disediakan oleh masyarakat, dan pikiran mereka dibentuk oleh konteks budaya tempat mereka tinggal. Jika dibandingkan teori Piaget anak berkembang dari kemampuannya sendiri sedangkan menurut Vigotsky anak berkembang karena dibantu oleh lingkungan sekitar mereka.

Bahasa dan Konstrukstivistik

Belajar bahasa menggunakan teori konsturkstivistik Vygotsky memberikan penekanan pada bagaimana anak diajak untuk membangun pengetahuan bahasa dengan cara mereka. Lingkungan berperan sebagai stimulus dalam kegiatan interaksi berbahasa. 

Pembelajaran Berbasis Proyek

Pembelajaran berbasis proyek adalah salah satu model pembelajaran yang mengajak anak untuk berpikir dan membangun pengetahuan mereka guna menciptakan dan menyelesaikan proyek yang akan dikerjakan. Anak diberi tanggung jawab mulai dari penemuan ide, pelaksanaan, sampai presentasi pada teman lain mengenai proyek yang dikerjakan.

Dalam pembelajaran Bahasa Indonesia, hal ini dapat dilakukan dengan proyek membuat poster, iklan, cerpen, puisi, wawancara tokoh masyarakat, dan lain-lain. Melalui kegiatan tersebut, anak juga akan terasah kemampuan interaksi sosial dengan orang lain. Peran guru dalam hal ini hanya sebagai fasilitator saja. Guru tidak boleh terlalu ikut campur pada proyek yang dibuat siswa.

Begitu juga orang tua di rumah, mereka hanya sebagai pengarah jika itu memang diperlukan. Berikan saja scaffolding atau pembimbingan seusia dengan level kinerja siswa. Jika memang dirasa anak bisa dilepas, maka jangan segan untuk membiarkan mereka bereksplorasi sendiri mengembangkan pengetahuan yang dimiliki.

Karena menurut Vygotsky masing-masing anak mempunyai Zone Proxcimal Development (ZPD). ZPD dimaknai sebagai sebuah perbedaan tentang apa yang dapat dilakukan sendiri oleh anak dan apa yang perlu bantuan dari orang lain ataupun dari orang dewasa. Pembelajaran ini akan lebih mengena pada diri anak, daripada sistem menjejali pengetahuan secara satu arah (guru ke siswa).

Pembelajaran berbasis Masalah

Melalui penghadiran masalah yang disajikan ke dalam pembelajaran, anak akan diajak untuk peka terhadap permasalahan yang ada. Masalah yang diberikan pada anak adalah masalah yang dekat dengan kehidupan mereka sehari-hari. Kegiatan ini akan mengembangkan daya kritis dan analitis siswa.

Jika dikaitkan dengan pembelajaran Bahasa Indonesia di sekolah dasar, kegiatan bisa dilakukan dengan memberikan pemantik berupa permasalahan yang sedang hangat di tengah masyarakat. Kemudian, berdasarkan permasalahan tersebut, siswa diminta membuat teks eksplanasi. Lalu bagaimana dengan peran guru? Guru bisa melakukan scaffolding atau pembimbingan sesuai dengan level kinerja siswa. 

Pembelajaran Kolaboratif

Pembelajaran kolabarotif berusaha melibatkan keterampilan sosial yang dimiliki anak. Berkolaborasi berarti bekerja sama dengan orang lain untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Interaksi sosial yang melekat pada kolaboratif sangat sejalan dengan pemikiran di mana Vygotsky mengemukakan bahwa proses berfikir yang kompleks sangat tergantung pada interaksi sosial anak.

Dalam pembelajaran Bahasa Indonesia bisa dilakukan dengan bekerja secara berkelompok dalam menemukan ide pokok atau berkerja kelompok dalam menemukan pesan dongeng yang dibaca. Kegiatan membaca bersama, membaca berpasangan, juga merupakan contoh kegaitan kolaborasi dalam pembelajaran Bahasa Indoensia di SD. 

Penulis berharap melalui diskusi ini, guru di sekolah mampu memberikan pembelajaran Bahasa Indonesia yang menarik siswa. Apalagi saat ini Bahasa Indonesia tengah berjuang dalam pusaran globalisasi sehingga harus diutamakan di dalam pembelajaran atau kehidupan sehari-hari.

Tentunya salah satu cara dalam menghadirkan pembelajaran Bahasa Indonesia yang menyenangkan dan bermakna adalah dengan mengaplikasikan teori konstruktivistik. Harapannya melalui konstruktivistik anak akan lebih aktif terlibat sehingga akan lebih mengena pada ranah kogitif anak.  

*Octavian Muning Sayekti, seorang mahasiswa Pendidikan Dasar S3. Penulis bekerja sebagai Dosen di PGSD FIP UNY. Bidang keahlian penulis adalah Pendidikan Bahasa Indonesia SD.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak