Walau Ayah Ibu Produksi Gula Merah, Tapi Saya Memilih Tidak Melanjutkannya

Candra Kartiko | Budi Prathama
Walau Ayah Ibu Produksi Gula Merah, Tapi Saya Memilih Tidak Melanjutkannya
Ilustrasi Produk Gula Merah. (Dok. Probadi/budhiprataman)

Buah jatuh juga bisa jauh dari pohonnya. Begitupun dengan pekerjaan ayah ibu tidak selamanya akan tertular atau sama dengan anaknya. Ngomongin soal pekerjaan, tentu itu sudah ada yang atur dan semua ada rezekinya masing-masing. Tinggal sudah sejauh mana usaha kita untuk bekerja dan bisa menikmati hasil kerjaan. 

Ada orang yang ayah ibunya bekerja sebagai PNS, tapi anaknya malah memilih jadi petani, begitu pun sebaliknya. Pekerjaan orang tua tidak selamanya bisa diteruskan oleh sang anak, saya pikir hukum itu perlu kita sepakati bersama. 

Saya sendiri keturunan anak petani, tetapi belum tentu saya akan bakalan jadi petani, khususnya pada pekerjaan produksi gula merah. Bukan berarti membenci pekerjaan pembuat gula merah atau pekerjaan buat gula merah itu jelek, melainkan karena ada beberapa alasan yang membuat saya tidak cocok bekerja pada bidang itu. 

Kalau diraba-raba sih, justru itu adalah pekerjaan mulai, termasuk bagian dari pekerjaan pertanian yang juga dinilai sebagai pekerjaan telah mampu memberi manfaat kepada banyak orang. Tapi mari kita tengok sedikit, masalah pertanian sampai hari ini masih menjadi problem terbesar bagi negara. Tentu kita bisa melihat, makin hari tanah rakyat malah dirampas dengan iming-iming pembangunan, stabilitas harga pertanian juga tak menentu dan sedikit keberpihakannya kepada petani. 

Terkait dengan gula merah, di kampung saya di desa Todang-Todang, kabupaten Polewali Mandar, termasuk penghasil gula merah yang berjalan sudah sejak lama. Namun, hal yang tak pernah berubah adalah proses pencetakan masih manual dan pendistribusian pun masih mengandalkan pedagang lokal. Mengapa saya tidak ingin menjadi pembuat gula merah walau orang tua pembuat gula merah? Alasannya akan saya uraikan pada paragraf berikut. 

1. Termasuk pekerjaan berat dan butuh banyak personil

Bagi yang bekerja sebagai pembuat gula merah, tentu akan merasakan betapa beratnya pekerjaan tersebut. Hal yang mesti diandalkan tentu adalah tenaga, karena harus siap memikul air pohon aren dan terlebih memikul  kayu bakar yang digunakan untuk memasak gula merah. 

Pekerjaannya bukan main-main, di kampung saya pembuatan gula merah mesti harus siapkan waktu pagi dan sore hari untuk mengambil air pohon aren bahan dasar pembuatan gula merah. Di samping itu, ketersediaan kayu bakar juga sudah mulai berkurang, sehingga menyebabkan para pembuat gula merah harus rela melawati jalanan yang sulit ditempuh walau jalan kaki, namun tak ada pilihan lain demi bisa mendapatkan kayu bakar. 

Pembuatan gula merah tidak cukup hanya satu orang saja, supaya tidak terlalu memaksakan diri. Mengingat pembuat gula merah mesti ada yang panjat pohon aren, membuat gula aren, dan ada yang bertugas mengambil kayu bakar. Selain itu, ketika air dari pohon aren tidak rutin diambil juga bisa mengalami kerusakan. 

2. Stabilitas harga tidak menentu

Hampir setiap pekerjaan pada bidang pertanian mengalami masalah stabilitas harga yang tak menentu. Jangankan stabilitas harga, kelayakan harga atas kerja yang dilakukan petani pun kadang tak sebanding. Hal itu disebabkan karena selalu mengikut pada harga pasar, dan harga pasar pun kebijakannya ditentukan oleh pemerintah. 

Penjualan gula merah di desa Todang-Todang masih mengandalkan pedagang atau tengkulak. Para pembuat gula merah hanya bisa pasrah dengan harga yang ditentukan oleh tengkulak, walaupun ketika gula merah itu sudah sampai di pasaran, justru mengalami perbedaan harga yang sangat jauh. 

Problem ketidakstabilan harga dan ketidakseimbangan kerja dengan harga gula merah masih menjadi problem bagi pembuat gula merah di desa Todang-Todang. Padahal, kita tahu bahwa pekerjaan membuat gula merah bukanlah pekerjaan yang mudah. 

3. Rawang konflik keluarga

Kalau yang ini tentu tidak semua daerah atau orang merasakannya, tetapi kalau di kampung saya konflik keluarga gegara pohon aren masih marak terjadi. Hal ini disebabkan karena kadang ada saling klaim bahwa pohon aren milik nenek mereka, alhasil terjadi pertentangan antara anggota keluarga yang sama-sama ingin memiliki pohon aren tersebut. 

Hal ini disebabkan karena para orang tua tidak melakukan pembagian kepada anak-anaknya sebelum meninggal, di samping itu juga memang stok pohon aren sudah mulai terbatas. Di keluarga saya sendiri, hanya adik saya yang bungsu dan kebetulan sudah menikah bekerja sebagai pembuat gula merah. Pikirku, cukup adik saya yang melanjutkan pekerjaan itu dan saya jangan, mengingat memang stok pohon aren mengalami kekurangan dan jangan sampai terjadi konflik saudara hanya gegara pohon aren, jelas itu tindakan yang sangat memalukan. 

4. Memang bukan hobi

Kalau alasan hobi sih, sebenarnya masih bisa dipelintir. Tetapi, alangkah lebih baiknya kalau pekerjaan yang kita geluti sekaligus kita hobi atas pekerjaan tersebut. Jelas itu sangat mendukung semangat kita bekerja dan hasilnya pun dapat kita nikmati dengan maksimal. Saya pribadi keturunan dari pembuat gula merah, tetapi tidak hobi buat gula merah. Kebetulan juga saya kadang gemetar kalau panjat pohon aren, makanya saya memutuskan untuk tidak bekerja seperti itu. 

Itulah alasan dari saya kenapa tidak ingin bekerja sebagai pembuat gula merah, walau orang tua bekerja sebagai pembuat gula merah. Tetapi yang jelas, pekerjaan buat gula merah adalah pekerjaan mulia, pekerjaan yang memberi banyak manfaat kepada banyak orang. Saya pun bangga bisa menjadi anak dari pembuat gula merah. 

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak