Pada bulan Juni 2022, dunia pendidikan di kejutkan dengan kabar yang menyedihkan. Terjadi kasus kekerasan yang dilakukan sejumlah siswa kepada siswa lainnya, di salah satuan pendidikan di Kotamobagu. Kasus kekerasan tersebut bahkan mengakibatkan korban meninggal dunia. Korban sempat bercerita dugaan penganiayaan terjadi di dalam area satuan pendidikan pada siang hari selepas ujian. Kasus ini telah ditangani oleh pihak kepolisian.
Kekerasan di sekolah bukan pertama kali ini terjadi. Berdasarkan data yang ada, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat sebanyak 17 kasus kekerasan dengan melibatkan murid dan guru terjadi selama 2021. Kasus kekerasan tersebut terjadi di dalam lingkungan sekolah, tapi ada juga kekerasan berbentuk tawuran pelajar; terjadi di luar sekolah namun melibatkan murid sekolah (tirto.id).
17 kasus kekerasan bukanlah jumlah yang sedikit, karena idealnya kasus kekerasan sama sekali tidak terjadi atau 0 kasus kekerasan. Perlu dicermati pula bahwa tahun 2021, sebagian aktivitas belajar mengajar dilakukan dengan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) di mana siswa belajar dari rumah dan keberadaan di sekolah lebih sedikit dibanding sebelum pemberlakukan PJJ, sehingga seharusnya kasus kekerasan di sekolah dapat ditekan atau dihilangkan sama sekali.
Pada tahun 2019, di mana aktivitas belajar mengajar masih berjalan normal, kasus kekerasan yang diketahui jumlahnya jauh lebih besar. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menerima 153 pengaduan kekerasan fisik dan psikis di lingkungan sekolah sepanjang 2019. Kasus kekerasan di sekolah bahkan menimbulkan korban jiwa baik siswa maupun guru (Anadolu Agency).
Tindak kekerasan di sekolah juga berdampak buruk bagi siswa yang menjadi korban tindak kekerasan. Menurut Pedoman Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Sekolah Dasar yang diterbitkan oleh Direktorat Sekolah Dasar, semua jenis kekerasan terhadap anak akan menyebabkan gangguan psikologis, emosional dan terkadang fisik, terutama jika terjadi dalam jangka waktu panjang.
Semakin dini anak mengalami kekerasan, mereka akan semakin tinggi risiko terdampak dari kekerasan tersebut. Kekerasan fisik yang parah dapat menyebabkan kerusakan otak, kecacatan fisik, kesulitan belajar dan kelambatan pertumbuhan. Penelantaran dapat menyebabkan kegagalan atau terhambatnya perkembangan dan pertumbuhan anak. Kekerasan seksual yang parah dapat menyebabkan kerusakan fisik selain juga masalah psikologis yang serius. Jika anak dibiarkan berada dalam situasi kekerasan, hal ini akan memberikan dampak yang serius terhadap masa depan dan perkembangan emosional, sosial, pendidikan dan psikologis mereka.
Sebagai langkah pencegahan dan penanggulangan kasus kekerasan di sekolah, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah membuat regulasi yaitu dengan menerbitkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 82 tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan.
Peraturan tersebut mengatur upaya pencegahan, penanggulan dan juga sanksi bagi pelaku tindak kekerasan. Adapun yang dimaksud tindak kekerasan pada peraturan tersebut antara lain adalah pelecehan, perundungan, penganiayaan, perkelahian, perpeloncoan, pemerasan, pencabulan, pemerkosaan, tindak kekerasan atas dasar diskriminasi terhadap SARA, dan tindak kekerasan lainnya seperti yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Meski peraturan tentang pencegahan dan penanggulangan tindak kekerasan di satuan pendidikan telah diterbitkan, kasus kekerasan masih saja terjadi dari tahun ke tahun. Hal ini menjadi pekerjaan rumah bagi dunia pendidikan untuk menyelesaikannya. Dalam perspektif kebijakan publik, untuk menyelesaikan sebuah permasalahan publik dibutuhkan upaya mencari penyebab permasalahan sesungguhnya. Apa yang tampak menjadi permasalahan saat ini adalah sebuah gejala yang perlu dianalisis untuk mencari akar masalah dan merumuskan rekomendasi kebijakannya.
Salah satu penyebab terjadinya kekerasan secara umum adalah pelaku merasa leluasa untuk melakukan tindak kekerasan. Hal ini terjadi karena pengawasan yang lemah. Kembali ke konteks tindak kekerasan di sekolah, pengawasan yabg lemah juga menjadi salah penyebab terjadinya tindak kekerasan di sekolah. Hal ini seperti yang dikatakan oleh Arief Rahman, seorang tokoh pendidikan, menurutnya tindak kekerasan di sekolah terjadi lantaran minimnya pengawasan sekolah.
Senada dengan hal tersebut, Menteri Pedayagunaan Perempuan dan Perlindungan Anak meminta satuan pendidikan tidak perlu menunggu terjadinya kekerasan, untuk memperketat pengawasan terhadap potensi perundungan di sekolah. Menurutnya pihak yang terlibat dalam pengelolaan satuan pendidikan bertanggung jawab untuk menjamin hak-hak anak dalam lingkungan sekolah terpenuhi. Jangan menunggu ada kasus kekerasan, baru pengelola satuan pendidikan menyadari perlunya melakukan pengawasan (medcom).
Namun bukan hanya sekolah yang dapat berperan dalam melakukan pencegahan dan penanggulangan tindak kekerasan di sekolah. Pemerintah Daerah dan Pemerintah mempunyai andil untuk meujudkan dunia pendidikan tanpa tindak kekerasan. Hal ini seperti yang tertuang dalam Permendikbud 82/2015 yang menyebutkan peran Pemerintah Daerah dan Pusat dalam hal pencegahan, penanggulangan, dan juga sanksi terhadap tindak kekerasan di satuan pendidikan.
Dengan demikian pengawasan yang dilakukan adalah pengawasan yang berjenjang oleh satuan pendidikan, Pemerintah Daerah, dan Pemerintah. Satuan pendidikan dapat melakukan pengawasan terhadap aktivitas di sekolah maupun kegiatan sekolah di luar satuan pendidikan untuk menjamin keamanan, keselamatan dan kenyamanan bagi peserta didik dalam pelaksanaan kegiatan/pembelajaran di sekolah.
Pengawasan juga dapat dilakukan satuan pendidikan dengan menciptakan lingkungan satuan pendidikan yang bebas dari tindak kekerasan. Hal tersebut dapat dilakukan dengan memperketat pengawasan melalui CCTV terutama pada bangunan sekolah yang didesain secara tertutup, gelap, serta jauh dari keramaian.
CCTV juga dapat ditempatkan pada area yang banyak diakses publik seperti gerbang masuk, tempat parkir, perpustakaan, lapangan, ruang laboratorium, ruang guru, dan di dalam kelas. Lalu bagaimana dengan satuan pendidikan yang belum mampu menghadirkan fasilitas CCTV? Satuan pendidikan dapat memaksimalkan peran tim pencegahan tindak kekerasan yang telah dibentuk Kepala Sekolah. Tim pencegahan tindak kekerasan dapat melakukan pengawasan ekstra dengan melakukan patroli pada tempat-tempat dan waktu yang rawan akan tindak kekerasan di sekolah.
Pemerintah Daerah dapat berperan dengan melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan tindakan pencegahan, penanggulangan dan pelaksanaan sanksi yang telah di lakukan satuan pendidikan di wilayahnya. Pemerintah Daerah dapat memastikan antara lain apakah sekolah sudah membentuk tim pencegahan tindak kekerasan, sudah menyusun dan menerapkan prosedur operasional standar pencegahan tindak kekerasan, melaporkan kepada aparat penegak hukum setempat apabila terjadi tindak kekerasan yang mengakibatkan luka fisik yang cukup berat/cacat fisik/kematian, dan memberikan sanksi kepada pelaku tindak kekerasan. Ini rangka pembinaan berupa teguran lisan/teguran tertulis/tindakan lain yang bersifat edukatif. Pengawasan yang dilakukan dapat disertai sanksi apabila satuan pendidikan tidak melakukan hal yang menjadi tugasnya.
Pemerintah Pusat dapat melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan tindakan pencegahan, penanggulangan dan pelaksanaan sanksi yang telah dilakukan Pemerintah Daerah di wilayahnya. Pemerintah Pusat dapat memastikan antara lain apakah Pemerintah Daerah telah membentuk gugus pencegahan tindak kekerasan, membentuk tim penanggulangan untuk melakukan tindakan awal penanggulangan tindak kekerasan yang dilaporkan oleh satuan pendidikan atau pihak lain yang mengakibatkan luka fisik yang cukup berat/cacat fisik/kematian, dan memfasilitasi satuan pendidikan dalam upaya melakukan penanggulangan tindakan kekerasan. Pengawasan yang dilakukan dapat disertai sanksi apabila Pemerintah Daerah tidak melakukan hal yang menjadi tugasnya.
Pentingnya pengawasan juga ditekankan oleh KPAI. KPAI mendorong Pemerintah untuk melakukan monitoring dan evaluasi terkait implementasi dari Permendikbud Nomor 82 tahun 2015 tentang pencegahan dan penanggulangan kekerasan di satuan pendidikan. Karena dari hasil pengawasan KPAI di sejumlah sekolah yang terdapat kasus kekerasannya ternyata pihak sekolah tidak mengetahui Permendikbud tersebut.
Selain itu Dinas-Dinas Pendidikan dan Kantor Kementerian Agama di kabupaten dan kota dan Provinsi untuk melakukan pembinaan dan pengawasan secara berkala terhadap sekolah, madrasah, pondok pesantren untuk memastikan perlindungan anak-anak dari berbagai bentuk kekerasan di satuan pendidikan (klikmataram).
Pengawasan berjenjang diharapkan akan berhasil menekan angka kekerasan di sekolah atau bahkan menghilangkannya sama sekali. Pemberian sanksi yang tegas berdasarkan hasil pengawasan dapat menjadi lecutan agar semua pihak dapat berupaya maksimal mencegah dan menanggulangi tindak kekerasan di sekolah.