Jepang, Disabilitas, dan Ketenagakerjaan

Hernawan | Puteri Syarfina
Jepang, Disabilitas, dan Ketenagakerjaan
Ilustrasi Fasilitas Publik Penyandang Disabilitas (pixabay.com/devexcelsure)

Disabilitas —menurut Undang-Undang Dasar untuk Penyandang Disabilitas— adalah orang-orang yang menghadapi hambatan dalam melakukan kegiatan sosial sehari-hari akibat disabilitas fisik, mental, dan intelektual. Berdasarkan pengertian tersebut, disabilitas dapat diartikan pula sebagai suatu halangan yang dialami seseorang untuk melakukan hal-hal yang sewajarnya dilakukan oleh orang yang bukan penyandang disabilitas.

Akibat hal ini, penyandang disabilitas cenderung dikesampingkan atau bahkan didiskriminasi oleh masyarakat sebab dianggap tidak mampu melakukan aktivitas sebagaimana mestinya. Penyandang disabilitas bahkan juga dianggap beban dan tidak mampu melakukan apapun.

Akibat hal ini, sebagian besar penyandang disabilitas menolak untuk keluar rumah dan sungkan untuk melakukan atau menghasilkan sesuatu, padahal kekurangan fisik, mental, maupun intelektual seharusnya tidak menjadi penghalang bagi seseorang untuk berkarya dan melakukan aktivitas sebagaimana mestinya. Para penyandang disabilitas harusnya bisa mendapatkan dan melakukan pekerjaan sebagaimana orang yang bukan penyandang disabilitas.

Penyandang disabilitas di Jepang tercatat sebanyak 5,9% dari populasinya, atau satu dari setiap dua puluh penduduk di Jepang merupakan penyandang disabilitas. Jika dijabarkan lagi, dari seratus dua puluh tujuh juta penduduk jepang, 3,5 juta orang merupakan penyandang disabilitas fisik (physically disabled / shintai shougai), 2,5 juta orang mengidap disabilitas atau penyakit mental (mentally ill / mentally disabled / seishin shougai) seperti skizofrenia, alzheimer, dan gangguan bipolar, sedangkan 500 ribu orang mengalami disabilitas intelektual (intellectual disabled / chiteki shougai) seperti Down Syndrome.

Dalam usaha mengakomodasi penduduk yang merupakan penyandang disabilitas, pemerintah Jepang memberikan fasilitas-fasilitas khusus demi memudahkan akses para penyandang. Akses yang dimaksud seperti di elevator, toilet khusus, serta tempat khusus dalam kendaraan umum seperti kereta dan bus.

Namun, walaupun ditujukan untuk mempermudah penyandang disabilitas untuk mengakses dan melakukan kegiatan umum, masih banyak penyandang disabilitas yang tidak menggunakan fasilitas sebagaimana disediakan akibat merasa malu.

Tidak hanya itu, beberapa fasilitas umum yang ditujukan untuk penyandang disabilitas masih memiliki perlindungan yang kurang memadai untuk penyandang disabilitas itu sendiri. Hal ini pernah terjadi di stasiun Itchome-Aoyama di mana seorang pria penyandang tuna netra berusia 55 tahun tewas karena tidak ada pagar pembatas pada platform. Menurut hasil survey yang dilakukan oleh Federation of The Blind pada tahun 2011 di Tokyo, sekitar empat puluh persen penyandang tuna netra pernah jatuh dari platform akibat tidak adanya pagar pembatas.

Penyandang disabilitas memiliki hak serta tanggung jawab untuk bekerja sesuai dengan tingkat disabilitas yang dimiliki. Para penyandang disabilitas sebagian besarnya sangat menginginkan kehidupan yang setara dengan orang yang bukan penyandang disabilitas.

Tak hanya dalam ranah ketenagakerjaan, namun dalam fasilitas umum penyandang disabilitas juga berharap pemerintah tidak terlalu membeda-bedakan mereka dengan yang bukan penyandang disabilitas. Dalam hal ketenagakerjaan, penyandang disabilitas menganggap ketenagakerjaan tidak hanya memberi penghasilan untuk mereka, namun juga memberikan kesempatan bagi penyandang disabilitas dalam partisipasi sosial, kehidupan yang bermartabat, juga kesempatan menjadi produktif. 

Para penyandang disabilitas di Jepang pun turut diberi kesempatan kerja oleh pemerintah Jepang. Bahkan dalam undang-undang mengenai promosi kerja bagi penyandang disabilitas, setiap perusahaan diharuskan atau wajib memiliki tenaga kerja penyandang disabilitas.

Bagi berbagai perusahaan yang gagal memenuhi keharusan ini, maka pemerintah Jepang menerapkan sejenis “denda pajak” yang dipungut sebesar 50 yen per bulan untuk setiap orang di bawah kuota tenaga kerja yang ditentukan.

Dengan adanya undang-undang ini, Jepang dapat dikatakan sebagai negara yang memiliki penerapan lebih maju perihal pemberdayaan para penyandang disabilitas dibandingkan negara-negara lain di kawasan Asia. Bahkan di Indonesia juga belum diterapkan undang-undang yang mengatur detail mengenai pemberdayaan penyandang disabilitas dalam dunia kerja, meskipun Indonesia sudah memiliki undang-undang perihal penyandang disabilitas.

Meskipun dikatakan memiliki penerapan lebih maju perihal pemberdayaan para penyandang disabilitas dibandingkan negara-negara lain di kawasan Asia, apabila dibandingkan dengan negara maju lainnya, Jepang termasuk yang baru mengeluarkan undang-undang mengenai anti diskriminasi terhadap penyandang disabilitas. Namun, adanya undang-undang ini pun tidak senantiasa melenyapkan diskriminasi penyandang disabilitas di Jepang begitu saja.

Dalam survey yang dilakukan oleh pemerintah perfektur Chiba, masih banyak masyarakat yang tidak mengetahui perihal keberadaan undang-undang yang membahas mengenai penghapusan diskriminasi terhadap penyandang disabilitas. Keberadaan undang-undang ini pun tidak menjadi penetral bagi tindak diskriminasi penyandang disabilitas yang terjadi di wilayah sekitar. 

Menurut hasil survey yang dilakukan oleh Shogaisha Research Institute mengenai tempat terjadinya diskriminasi, diskriminasi terutama yang dialami penyandang disabilitas sebagian besar terjadi di tempat kerja. Contoh nyatanya dapat dilihat dari pengakuan seorang responden survey ini yang merupakan penyandang disabilitas, di mana ia pernah dipecat hanya karena melakukan kecerobohan.

Selain itu, masih banyak diskriminasi yang terjadi pada pekerja penyandang disabilitas. Diskriminasi ini pun terjadi dalam berbagai bentuk seperti diskriminasi yang dilakukan dengan sengaja (penghinaan, pemisahan, penghindaran, maupun serangan fisik), diskriminasi yang dilakukan tanpa sengaja yang menimbulkan tidakan diskriminasi secara ambigu, diskriminasi yang terlihat membantu namun merugikan target diskriminasi, dan diskriminasi statistik yang paling sering terjadi pada ruang lingkup pekerjaan. 

 Dalam hal ini, tentunya diperlukan peran pemerintah Jepang dalam menghadapi kasus dan tindak diskriminasi yang masih terjadi meskipun undang-undang anti diskriminasi sudah ditetapkan. Kesadaran dan keinginan masyarakat untuk menghilangkan kebiasaan yang ditakutkan merujuk pada budaya diskriminasi juga merupakan hal yang harus dilakukan demi kepentingan bersama. Penyandang disabilitas yang memiliki kekurangan akibat kedisabilitasannya bukan berarti berhak untuk mendapatkan perilaku diskriminatif dari siapapun. 

Sumber:

Wafanda, Nadia (2018) Diskriminasi Pekerja Disabilitas Di Jepang Dalam Film Door To Door Karya Yoshida Ken. Sarjana thesis, Universitas Brawijaya.

Cita, Pertiwi (2017) Penyerapan Tenaga Kerja Penyandang Disabilitas Di Jepang. Other thesis, Universitas Darma Persada.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak