Dalam kacamata Politik Lingkungan, masyarakat adat merupakan salah satu aktor yang turut mengambil peran dalam keadaan lingkungan, walaupun power dan influence yang mereka miliki sangat berbanding jauh dengan negara selaku pemegang kedaulatan penuh atas wilayahnya.
Dengan kearifan lokal yang dimilikinya, masyarakat adat mampu untuk mengelola lingkungan yang mereka tempati. Biasanya masyarakat adat memiliki keterkaitan spiritual dengan lingkungan sekitarnya seperti hutan, sungai, gunung dan lain-lain.
BACA JUGA: Kajian Hukum Pengelolaan E-Waste di Berbagai Negara: Perspektif Global
Nilai-nilai spiritual tersebutlah yang membuat masyarakat adat sangat serius dalam menjaga lingkungannya. Munculnya kepercayaan akan roh yang menempati lingkungan serta konsekuensi dari “murkanya” para roh apabila lalai dalam menjaga lingkungan juga turut menjadi alasan mereka.
Ketergantungan masyarakat adat dengan lingkungan juga menjadi alasan tersendiri soal keseriusan mereka dalam menjaga lingkungan. Alasan ini semakin mempertegas bahwa masyarakat adat memiliki peran yang besar dalam menjaga kelestarian lingkungan.
Salah satu contoh masyarakat adat yang bisa diambil adalah masyarakat Lindu dari Nusa Tenggara Timur di mana mereka sangat menggantungkan kehidupan mereka pada hutan.
Dengan semboyan yang mereka miliki yakni “Ginoku Katuhuaku” yang berarti “Tempat ini (hutan) adalah kehidupan kami” masyarakat Lindu sampai membuat aturan tersendiri tentang pemanfaatan dan pengelolaan hutan dengan menyertakan sanksi adat bagi yang melanggar.
Bahkan mereka sampai membagi hutan menjadi 5 zona dengan masing-masing zona memiliki aturan tersendiri dalam pemanfaatannya. Masyarakat Lindu juga membentuk Majelis Adat Ngata Lindu (Totua Ngata) yang memiliki tupoksi untuk mengawasi pengelolaan hutan dan memberikan hukuman bagi siapapun yang melanggar.
Sedangkan di benua lain menurut laporan dari Food and Agriculture Organization (FAO) dan Fund for the Development of the Indigenous Peoples of Latin America and the Caribbean (FILAC), menyatakan bahwa masyarakat adat mampu mengurangi deforestasi hingga di bawah 50%.
FAO dan FILAC merekomendasikan 3 kebijakan yang melibatkan masyarakat adat dalam konservasi lingkungan. Pertama ada kebijakan Hutan Kemasyarakatan di Meksiko (The Petcacab Ejido di Quintana Roo). Kebijakan ini mendukung masyarakat adat untuk mengelola hutan, memberikan bantuan dana dan menghapuskan konsesi penebangan hutan oleh perusahaan.
Hasil dari kebijakan ini adalah terlindunginya hutan dari deforestasi yang masif dan disaat bersamaan juga menambah pendapatan dari komunitas masyarakat adat Maya Petcacab di Quintana Roo itu sendiri.
Kebijakan kedua berasal dari Ekuador dengan program yang disebut Socio Bosque di mana program ini bertujuan untuk melestarikan hutan, mengurangi emisi serta meningkatkan taraf hidup masyarakat.
Program ini dilaksanakan dengan memberikan dana kepada masyarakat untuk menjalankan sejumlah proyek lokal. Selain itu, pemerintah juga membuat perjanjian dengan masyarakat untuk tidak menebang pohon, bertani atau berburu di daerah tertentu dalam jangka waktu dua puluh tahun.
Yang ketiga ada kebijakan dari Brazil yang mengatur prosedur pengelolaan kebakaran hutan. Dalam kebijakan ini pemerintah Brazil melakukan kerja sama dengan masyarakat adat yang menempati kawasan-kawasan hutan.
Kerjasama ini dilakukan dengan dialog antara pemerintah dengan tetua adat tentang prosedur pengelolaan kebakaran hutan melalui cara yang tradisional. Melalui metode ini, penanganan kebakaran hutan menjadi lebih terkendali dan minim akan resiko. Terbukti dalam tiga tahun pertama pelaksanaan program ini, kebakaran hutan berhasil berkurang hingga lebih dari setengahnya di tiga wilayah besar.
Studi lain mencatatkan bahwa pemberian pengakuan kepemilikan wilayah hutan adat kepada masyarakat adat secara keseluruhan telah berhasil menurunkan total deforestasi tahunan sebanyak 66% dalam ancaman deforestasi di hutan Amazon.
Stockholm Environment Institute (SEI) serta The Council on Energy (CEEW) turut menyarankan pengakuan yang lebih serius terhadap pengetahuan tradisional asli dan mendukung hak-hak adat agar kegiatan konservasi hutan bisa terlaksana dengan lebih efektif.
Pada akhir forum pertemuan Stockholm+50 terbentuk sebuah deklarasi yang dicetuskan perwakilan masyarakat adat dari seluruh dunia sebagai upaya meminta pengakuan dan dukungan partisipasi masyarakat adat dalam pengelolaan lingkungan.
Mereka juga berharap agar masyarakat adat tidak lagi menjadi kelompok yang dimarginalkan dan dianggap remeh karena masyarakat adat telah terbukti mampu untuk mengambil peran penting dalam pengelolaan lingkungan.
Di Indonesia sendiri keterlibatan masyarakat adat dengan lingkungan sudah diakui dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) dimana dalam Undang-Undang ini dijelaskan bahwa pengelolaan dan perlindungan lingkungan harus membawa prinsip-prinsip kearifan lokal dan lingkungan.
Konsep-konsep kearifan lokal yang dipegang teguh oleh masyarakat adat mengedepankan prinsip bahwa manusia harus hidup selaras dengan alam. Berbeda dengan negara yang berorientasi pada kepentingan nasional, masyarakat adat lebih mengedepankan filosofi hidup selaras dengan alam.
Dalam teori Ekosentrisme, ketergantungan antara entitas satu dengan yang lainnya menjadi alasan mengapa tidak boleh ada satu entitas yang mendominasi termasuk manusia. Dengan adanya dominasi dari entitas tertentu maka akan muncul ketidakseimbangan dalam lingkungan yang bisa menyebabkan kerusakan masif dalam lingkungan di kemudian hari.
Kearifan lokal yang dimiliki masyarakat adat adalah salah satu contoh dari implementasi nilai-nilai Ekosentrisme di mana mereka mengedepankan keseimbangan dalam mengelola alam. Mereka memiliki metode sendiri tentang bagaimana memanfaatkan alam tanpa merusaknya, sehingga mereka tetap bisa memanfaatkan alam sekaligus menjaga keberlangsungannya.
BACA JUGA: Dampak Buruk yang Tersembunyi dari E-Waste: Kasus Kabut Elektronik di Cina
Hal ini berbanding terbalik dengan ide-ide yang dicetuskan dalam teori Antroposentrisme yang memberi kekuasaan lebih terhadap manusia dalam pengelolaan lingkungan sehingga sering terjadi kerusakan pada lingkungan di kemudian hari.
Contoh dari perilaku Antroposentrisme adalah pada saat negara melakukan eksploitasi alam secara berlebih. Atas nama kedaulatan, negara rela melakukan eksploitasi besar-besaran demi kepentingannya tanpa menghiraukan dampaknya demi kemudian hari.
Oleh karena itu, peran masyarakat adat sangat dibutuhkan sebagai penyeimbang kedudukan negara dalam mengelola alam agar eksploitasi alam yang masif dan tidak memperhatikan dampak buruknya bisa diminimalisir atau bahkan dihilangkan.